Global-News.co.id
Nasional Pendidikan Utama

Mereka Para Perempuan Penjaga Hutan

Pinky Saptandari dalam diskusi buku Perempuan Penjaga Hutan, Jumat (10/11/2023)

SURABAYA (global-news.co.id) – Perempuan yang selama ini dikonotasikan lemah, ternyata memiliki kemampuan sebagai penjaga hutan. Mereka menginisiasi pengelolaan lahan taman nasional melalui skema perhutanan sosial (perhutsos). Dan gerakan para perempuan tersebut berhasil menciptakan berbagai dampak mulai dari pemulihan lahan hutan dari kerusakan lingkungan hingga pemberdayaan ekonomi.

Bagaimana upaya yang dilakukan para perempuan itu tercermin dalam buku bertajuk “Perempuan Penjaga Hutan, Gerakan Women Champion di Tiga Provinsi dalam Perhutanan Sosial”. Buku ini disusun Agung Putu Iskandar dari Agna Komunika dan sejumlah penulis dengan pendampingan dari civil society organization (CSO) yang selama ini bergerak bersama para perempuan penjaga hutan atau yang disebut sebagai women champion.

Bertepatan Hari Pahlawan 10 November, buku yang merekam gerakan women champion di bidang perhutanan sosial di 3 provinsi, Aceh Barat, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah tersebut diluncurkan. Dalam diskusi yang digelar terkait buku itu hadir pula 3 perempuan yang menjadi pemimpin gerakan di 3 provinsi tersebut. Mereka adalah Rita Wati –Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama, Desa Pal Delapan, Bengkulu, Velin –Sekretaris Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Masanang Himbiti, Rano, Sulawesi Tengah, serta Masdalina –Sekretaris Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru, Aceh.

Rita mengungkap bagaimana dia merintis perhutsos di desanya. Sepanjang hidup Rita dan warga desa, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah kawasan terlarang. Pengelola TNKS –yang mereka kenal sebagai polisi hutan– melarang warga menggarap lahan di kawasan hutan konservasi itu.

Selama ini hutan telah menopang kehidupan masyarakat desa. Namun, lanjutnya, masyarakat tak bisa bebas mengakses karena tidak boleh ada kegiatan apa pun di taman nasional.

Rita lantas membangun komunikasi dengan Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BBTNKS) yang menaungi kawasannya. Dengan pendampingan dari civil society organization (CSO) LivE melalui berbagai pengorganisasian masyarakat, Rita akhirnya berani menemui pihak BBTNKS. Dia bertanya, apakah lahan hutan dalam wilayah taman nasional bisa dia kelola. “Dari sana akhirnya kami memiliki akses untuk melakukan aktivitas pemberdayaan ekonomi di sana,” katanya.

Sementara Masdalina mengungkap bagaimana para perempuan di Damaran Baru Aceh Barat membentuk ranger alias kelompok patroli penjaga hutan. Menarik karena mereka menggagasnya di tengah budaya patriarki yang kuat di Aceh. “Kalau bapak-bapak biasa bekerja dengan otot, kalau kita perempuan dengan otak,” katanya yang disambut tawa peserta diskusi.

Di desa Rano Palu, ungkap Velin, perhutsos sudah mampu memiliki kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Kelompok tersebut memberdayakan masyarakat melalui pengolahan minyak kelapa. Sejak usia belasan tahun, dia sudah mulai melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat. Usia masih sangat muda, ditambah statusnya sebagai penyandang penyandang disabilitas, membuat tidak banyak masyarakat yang mau mengikuti jejaknya.

“Tapi, saat ini masyarakat sudah bisa memiliki pendapatan dari aktivitas ini. Dari awalnya diremehkan, akhirnya mereka percaya bahwa masyarakat bisa melakukannya. Dan ini tanpa harus melanggar hukum atau kucing-kucingan dengan petugas,” katanya.

Sementara Donsri, sebagaimana tertulis di buku itu, mengaku mengawali kegiatan mengelola hutan dengan relasi yang tidak harmonis dengan petugas BBTNKS. Beberapa kali dia harus bersembunyi setiap kali petugas melakukan patroli. Pernah dia bersembunyi dari petugas, tapi justru membuatnya bertemu dengan ular besar. Belum lagi kalau petugas menemukan lahan garapan mereka di hutan, lahan tersebut akan dirusak. Padahal, sekarang sudah ada skema bagi masyarakat untuk bisa mengelola hutan sekaligus menjaga kelestariannya.

Mujtaba Hamdi dari Wahid Foundation mengapresiasi buku tersebut. Diungkapkan, buku ini masih merekam sebatas aktivitas perempuan pejuang atau woman champion di tiga provinsi. “Yang hadir dalam kongres ini ada 14 provinsi. Bagaimana jika ada 14 kisah yang berbeda dari masing-masing provinsi,” katanya dalam acara peluncuran buku yang dilakukan di sela Konferensi dan Kongres Perempuan dan Generasi Muda Penjaga Hutan; Merawat Hutan, Memperkuat Kesetaraan, dan Menjaga Ketahanan Pangan Lokal yang berlangsung 7-10 November 2023.

Selain itu, lanjutnya, buku ini juga bisa dibahas melalui pendekatan isu, tidak sekadar kewilayahan. Misalnya perempuan Aceh yang kerap disindir karena profesinya sebagai guru ngaji tapi rela keluar masuk hutan. “Situasi yang sama saya yakin juga terjadi di daerah lain. Bagaimana agama dihubungkan dengan lingkungan hidup. Ternyata, ada masyarakat yang menentang,” katanya.

Acara yang dimoderatori oleh Heti Palestina Yunani, yang juga jadi editor dalam buku tersebut, juga menampilkan aktivis gender dan dosen Prodi Antropologi Unair, Pinky Saptandari.

Pinky mengatakan, buku ini adalah pembuktikan ketika perempuan dilibatkan dalam pelestarian hutan. “Itu tidak saja bermanfaat untuk melestarikan hutannya, tapi banyak hal yang bisa terpenuhi. Maka target SDGs (Sustainable Development Goals) seperti kelaparan, kemiskinan juga dapat tercapai,” ujarnya.

Dan perempuan itu, tandasnya, adalah agen pembaharu yang tidak pernah menyerah terhadap kondisi apapun. “Keterbatasan waktu, tenaga, hambatan-hambatan kultural yang tidak boleh, tidak pantas, tetap bisa mereka atasi dengan negosiasi, siasat. Tidak dengan otot tapi dengan otaknya, pakai strategi yang luar biasa,” lanjutnya.

Pinky menyebut ini merupakan pelajaran penting yang harus juga diakomodir oleh pemerintah. “Ketika bicara program kehutanan sosial, maka harus melihat dan melibatkan perempuan. Karena dengan begitu, kesinambungan program akan berjalan. Lalu yang kedua adalah, ada sesuatu yang tidak berhenti pada persoalan hutan. Tadi disampaikan ada ekowisata, penggunaan tanaman untuk minuman herbal. Jadi ada multiplier effect dari kegiatan satu, yaitu kehutanan sosial tapi bisa memberikan banyak manfaat yang berkesinambungan. Dan bukan untuk satu keluarga, tapi untuk masyarakat sekitarnya,” ujarnya.

Pinky juga menyarankan, buku ini tidak hanya diterbitkan dalam bentuk cetak, tapi juga dalam bentuk e-book. “Saya yakin konten kreator mereka bisa menulis dan menggambarkan dengan bahasa sederhana. Dan transformasi kultural bisa akan lebih tercapai kalau pelaku itu menuliskan sendiri. Jadi mereka itu bukan saja pelopor tapi sekaligus pelapor,” katanya.

Kongres yang digelar oleh PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Keci l) itu diikuti ratusan peserta dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Gender Focal Point (GFP), serta women champion dan youth champion yang berasal dari 14 provinsi (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua). (ret)

baca juga :

Liga 1: Digilas Dewa United, Borneo FC Perpanjang Tren Negatif

Redaksi Global News

Sua PSM, Laga Menentukan Persik Kediri

Redaksi Global News

Delapan Taman Aktif di Surabaya Dibuka Mulai Besok

Titis Global News