Global-News.co.id
Politik Utama

Antara Oposisi dan “Menolak Move On”

 

Masdawi Dahlan
Masdawi Dahlan

Oleh Masdawi Dahlan*

PASCA ditetapkannya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, sedikitnya ada dua pembicaraan yang ramai di ruang public. Pertama harapan agar pihak yang kalah dari hasil Pilpres segera move on atau legowo menerima hasil Pilpres. Setelah itu tinggal bersama membangun dan menatap masa depan Indonesia melakukan perbaikan dan perubahan.

Yang kedua adalah harapan agar pasangan yang kalah utamanya pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar tidak masuk atau bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Karena pasangan tersebut telah menyatakan sebagai kelompok oposisi dengan membawa jargon perubahan. Dan pernyataan tersebut disampaikan dalam banyak kampanye Pilpres dan dijanjikan akan terus dipertahankan sekalipun pasangan tersebut harus kalah dalam persaingan.

Bagi kalangan tertentu ada yang tidak mudah melakukan move on atas kekalahan Pilpres. Masalahnya bukan karena mereka tidak mau mengakui realitas untuk bersama membangun bangsa ke depan. Namun karena mereka tidak ingin move on dimaknai sebagai pembenaran atas berbagai dugaan kecurangan yang terjadi dalam Pilpres.

Kelompok ini berpikir move on harus dilakukan dengan penekanan agar masyarakat faham bahwa kecurangan dan berbagai pelanggaran pemilu tidak boleh ditoleransi dan dicatat sebagai tindakan yang salah dan jangan diulangi lagi.
Selama ini diyakini ketika masyarakat mulai move on maka seakan apa yang terjadi sebelumnya, kecurangan dan berbagai dugaan pelanggaran adalah hal yang wajar dan tidak perlu dipersoalkan lagi, semuanya sudah kehendak Tuhan atau takdir Allah SWT. Jika pemahaman seperti ini yang muncul, yang akan terjadi tiap pemilu akan terulang lagi praktik politik yang salah tersebut.

Begitu juga dengan tuntutan agar pasangan yang kalah agar tidak bergabung dengan pemerintahan. Tuntutan ini muncul sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap dukungan dan pengorbanan para pendukungnya, yang bersusah payah berkorban material dan non material untuk terciptanya sebuah perubahan. Kalau akhirnya jagoannya bergabung dengan pasangan terpilih, maka masyarakat pendukung akan menilai mereka telah dikhianati oleh pasangan tersebut.

Salah seorang tokoh intelektual yang bersuara keras dan meminta pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tidak bergabung dengan pemerintahan adalah Refly Harun. Sebagai aktifis yang mendukung penuh pasangan Anies-Muhaimin, pemilik Refly Harun Channel ini dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun TV swasta nasional mengatakan jika pasangan Anies-Muhaimin bergabung dengan pemerintahan Prabowo Gibran maka berarti mereka telah mengkhianati rakyat pendukungnya.

Di Indonesia tidak masuk dalam pemerintahan atau menjadi oposisi, bagi partai politik atau politisi tertentu merupakan masalah berat. Mengapa? Karena hingga sampai saat ini mayoritas partai politik masih menjadikan jabatan di eksekutif atau di pemerintahan sebagai ladang basah untuk mengumpulkan dan memperkuat pundi pundi pendanaan dalam membangun dan membesarkan partainya.
Sekalipun telah mendapat jatah kursi di legislatif, sebagai dukungan dari rakyat, tetap akan banyak partai politik yang masih tergiur dengan jabatan di eksekutif khususnya di kursi kabinet.

Sehingga pasca ditetapkannya pemenang pilpres, maka akan banyak partai politik yang mendekat ke pemenang Pilpres untuk berkoalisi. Tidak peduli dengan tuntutan dan suara masyarakat pendukungnya yang telah bersusah payah berkorban membesarkan partai dan memenangkan pasangan Capres-Cawapres yang diusungnya.

Pada titik inilah sebenarnya problem dasar pemilu dan partai politik yang terjadi di Indonesia selama ini. Yaitu masalah etika atau konsistensi partai politik atau para politisi atas nilai nilai dasar demokrasi luhur yang sebelumnya dijanjikan pada rakyat dan diperjuangkan bersama masyarakat pendukungnya.

Masyarakat selama ini dikecewakan oleh ketidakkonsistenan partai politik maupun para politisi dalam mempertahankan janji dan perjuangan pada masyarakat pendukungnya. Ini dibuktikan politisi dan partai politik yang tetap merapat pada kekuasaan sekalipun rakyat sangat tidak menginginkannya. Di sinilah sumber ketidakpercayaan masyarakat pada partai politik, dan kalau ini terjadi akan menjadi petaka besar demokrasi bahkan pemerintahan di kemudian hari, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada politisi dan partai politik, bahkan yang paling parah ketika masyarakat tidak lagi mempercayai pemilu sebagai institusi demokrasi.

Ngototnya partai politik untuk bergabung dengan kekuasaan, sungguh merupakan sikap yang sangat tak terpuji. Karena dari aspek pendapatan sebenarnya partai politik atau politisi telah mendapatkan gaji yang besar dari kedudukan para kadernya sebagai anggota legislatif. Tanpa gabung dengan eksekutif mereka akan sejahtera dengan gaji besar yang diterimanya dan masih bisa menjalankan roda partai politiknya. Ini bisa dibuktikan dengan pengalaman PDIP dan PKS yang pernah menjadi oposisi. Karena itu jika memaksakan bergabung dengan pemerintahan karena ingin memperkuat pundi pundi pendanaan partainya, merupakan pengkhianatan terhadap rakyat dan merupakan perilaku politik yang bertentangan dengan esensi dasar demokrasi bangsa Indonesia.

Jika dijalani dengan jujur dan adil, menjadi pelaksana pemerintahan dan menjadi oposisi sebenarnya sama-sama posisi mulia. Keduanya berada dalam ruang yang beda namun dalam satu tujuan terciptanya pemberian pelayanan yang bersih maksimal, jujur, adil dan amanah terhadap rakyat. Keduanya harus seimbang sama sama kuat. Jika hanya pemerintahan kuat, oposisi lemah, maka pemerintahan tak terkontrol dan rawan muncul korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. (*)

*Penulis adalah wartawan Global News Biro Pamekasan

baca juga :

Perlindungan JCH, Asrama Haji Embarkasi Surabaya Di-Fogging Tiap Akhir Pekan

PVMBG Sebut Gunung Semeru Masih Berstatus Waspada

Redaksi Global News

Liga 1: Gol Dedik Antarkan Arema Raih Kemenangan Perdana

Redaksi Global News