SURABAYA (global-news.co.id) – Tingginya jumlah janda usia sekolah (JUS) di Jawa Timur jadi pekerjaan rumah bagi Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jatim. JUS muncul akibat pernikahan dini, di mana pernikahan itu terpaksa terjadi lantaran adanya kehamilan yang tidak diinginkan.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jatim, Maria Ernawati, mengatakan, salah satu dampak negatif pernikahan dini adalah potensi perceraian yang tinggi. Sebab, mempelai yang masih berusia muda atau masih usia sekolah ini tingkat emosinya masih labil dan belum dewasa.
Padahal salah satu upaya pencegahan lahirnya bayi stunting adalah calon ibu yang sehat dan terus memperhatikan asupan gizi selama kehamilan. “Kehamilan yang terjadi pada remaja sangat berpotensi terjadinya kelahiran stunting,” imbuhnya dalam talkshow bertema “Ibu Sehat Cegah Stunting”, Selasa (30/1/2024).
Diungkapkan, jumlah pernikahan dini di Jawa Timur yang masih tinggi berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian. Akibatnya sukup banyak jumlah janda usia muda bahkan masih usia Sekolah.
“Istilah JUS ini kami ambil berdasarkan jumlah wanita yang menjadi kepala keluarga, dan itu tercantum di Kartu Keluarga karena tanpa ada nama suami. Dari Data Pendataan Keluarga tahun 2023 kemarin, di Jawa Timur jumlah JUS di bawah usia 15 tahun kurang lebih 856 orang, sedang JUS usia 15-19 tahun sebanyak 2.922 orang. Mereka menjadi JUS karena terpaksa menikah dini karena kehamilan yang tidak diinginkan. Setelah melahirkan mereka bercerai,” terang Erna.
Lantaran itulah BKKBN Jatim berharap semua pihak untuk bersama-sama menurunkan dan mencegah praktik pernikahan dini. Dan program preventif dari hulu, yang juga menjadi program strategis BKKBN, juga menjadi salah satu upaya percepatan penurunan stunting di Jawa Timur.
Di tempat yang sama, Ketua Kelompok Kerja Insan Jurnalistik Keluarga Berencana (Pijar) Jatim, Siska Prestiwati Wibisono mengatakan, melihat tingginya data pernikahan dini dan tingginya angka perceraian membuat pihaknya tergerak untuk bisa memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi kepada remaja. “Ini sebagai wujud preventif dari hulu,” ungkapnya.
Pada 2023 lalu, Pijar Jatim telah melaksanakan Pijar Jatim Goes to School yang melibatkan 600 pelajar MAN Kota Surabaya dan 1.000 pelajar SMKN2 Surabaya. “Para pelajar ini mendapatkan edukasi kesehatan reproduksi serta bagaimana risiko yang akan dihadapi bila menjalani pergaulan bebas,” papar Siska.
Bukan hanya edukasi tentang kesehatan reproduksi saja, pada kegiatan Pijar Jatim Goes to School ini juga dilakukan deklarasi stop pernikahan dini. Ini dimaksudkan agar para pelajar berani mengatakan “tidak” pada praktik pernikahan dini dengan menjalani pergaulan sehat dan merencanakan kehidupan mereka untuk masa depan. (ret)