Global-News.co.id
Ekonomi Bisnis Utama

Tren Energi Masa Depan, Peneliti Amerika Serikat Sarankan Pertamina Genjot Bisnis Green Hydrogen

Natarianto Indrawan, PhD (kanan), menyarankan PT Pertamina segera menangkap peluang besar bisnis hidrogen yang menjadi tren bisnis energy sekarang dan di masa depan. Foto lain: WKP Ulubelu Gunung Way Panas Lampung.

 

 

Pemerintah Indonesia berusaha mencapai Net Zero Emission tahun 2060. Bahkan bisa lebih cepat. Untuk mendukung program Pemerintah RI itu, PT Pertamina (Persero) pun menggencarkan program Dekarbonisasi Bisnis dan efisiensi energi. Terkait hal ini, Natarianto Indrawan, PhD., Founder dan President FlexiH, LLC, sebuah perusahaan rintisan dalam mendukung pengembangan Hidrogen Hub (H2Hub) di Amerika Serikat (AS), menyarankan agar PT Pertamina segera menangkap peluang besar bisnis hidrogen atau fuel cell yang menjadi tren bisnis energy sekarang dan di masa depan tersebut. 

 

Laporan: Gatot Susanto

 

PT Pertamina sudah mendukung program green energy yang dicanangkan Pemerintah Indonesia antara lain melalui pembangkit listrik ramah lingkungan, losses reduction, elektrifikasi armada, elektrifikasi peralatan statis, Carbon Capture Storage (CCS) dan low carbon fuel for fleets, sehigga kini perlu digencarkan pula peta jalan bisnis hidrogen hijau di Indonesia.

Seperti diungkapkan Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha Pertamina, Salyadi D. Saputra, ketika menjadi salah satu pembicara dalam kegiatan Nikkei Forum 28th “Future of Asia”, di Tokyo, Jepang, pada 26 Mei 2023 lalu, bahwa komitmen perusahaan energi pelat merah tersebut juga mendorong bisnis baru meliputi Energi Terbarukan, EV charging and swapping, Hidrogen Biru/Hijau, Nature-Based Solutions, Baterai dan EV, Biofuel, CCS/CCUS terintegrasi, dan Carbon Market Business. Indonesia saat ini, kata dia, memberikan perhatian lebih terhadap climate change, termasuk Pertamina.

Karena itu pihaknya melakukan upaya dekarbonisasi, yang dipetakan dalam roadmap dekarbonisasi yang terdiri dari dua pilar yaitu decarbonization dan new business building untuk renewable energy.

Selama ini kontribusi revenue Pertamina dari fossil fuel masih sekitar 82%. Maka diharapkan dengan bisnis baru di bidang renewable itu dapat menurun menjadi 60% di tahun 2030 dan 30-35% pada tahun 2060. Karena itu, untuk menggenjot capaian target tersebut, tidak ada pilihan lain, selain harus mengembangkan bisnis hidrogen biru atau hijau.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pun mendorong PT Pertamina mengembangkan bahan bakar masa depan itu. Bahkan, produksi dari hydrogen sendiri rencananya bakal diprioritaskan untuk pasar ekspor. PT Pertamina sendiri sudah menargetkan produksi pertama green hydrogen wilayah kerja panas bumi (WKP) Ulubelu mulai 2023. Produksinya ditargetkan mencapai 100 kilogram per hari. Lokasinya di WKP Gunung Way Panas, sekitar 125 Km dari Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung.

Untuk itu Pertamina Geothermal Energy (PGE) tengah melakukan kajian awal guna mengembangkan bahan bakar green hydrogen di WKP Ulubelu. PGE membutuhkan investasi awal di sisi hulu sekitar US$ 5 juta atau sekitar Rp 71,8 miliar.

Pertamina juga telah menjalin kerja sama dengan mitra strategis di Belanda untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yakni Pondera Wind Farm di mana produksi yang dihasilkan akan digunakan untuk produksi green hydrogen.

Natarianto Indrawan, peneliti energi hidrogen di Amerika Serikat kelahiran Belitung, menegaskan, bahwa semua pihak harus mendukung bisnis baru PT Pertamina di bidang hidrogen hijau/biru ini. Mantan peneliti di Departemen Energi Amerika Serikat pada bidang gasifikasi dan produksi hidrogen bersih sejak 2018 itu juga berkomitmen untuk mendukung pengembangan energi hidrogen pada berbagai komunitas global dan regional termasuk di Tanah Air.

Dia pun memberikan sejumlah alasan mengapa bisnis hidrogen perlu segera dikembangkan di Indonesia. Pertama, saat ini hidrogen menjadi tren bisnis global. Selain kendaraan listrik, perusahaan otomotif besar di dunia sudah fokus mengembangkan kendaraan hidrogen.

Bahkan kendaraan hidrogen sudah meluncur di jalan-jalan kota besar dunia. Sebagai catatan, ada Toyota Mirai dan Hyundai Nexo. Bukan hanya Toyota, produsen otomotif lain juga menjajal energi hidrogen sebagai tenaga penggerak mobil produksinya. Sebut contoh Mercedes-Benz yang memasuki jalur hidrogen dengan GLC F-Cell SUV, BMW meluncurkan X5 bertenaga Hidrogen tahun 2022 dan Grup PSA meluncurkan Van berbahan bakar cell di tahun 2021.

Mobil Listrik Vs Mobil Hidrogen

Fenomena ini bukan tanpa alasan. Geliat mobil bertenaga hidrogen itu terjadi setelah mempelajari tingkat efisiensi mobil listrik. Semua tahu selama ini kelemahan mobil listrik ada pada baterai.

Natarianto Indrawan lalu memberi perbandingan kendaraan hidrogen versus kendaraan listrik. “Semua pabrikan kendaraan yang pemain utama di dunia saat ini fokus di kendaraan hidrogen. Seperti Toyota karena dianggap lebih mudah daripada kendaraan listrik dalam hal pengisian. Tapi mengapa sekarang masih jarang?  Itu karena bahan bakarnya, dalam hal ini stasiun pengisian bahan bakarnya, yang masih terbatas. Jadi bukan soal kendaraan mobilnya,” katanya.

Kedua, sebagai perbandingan, kata mantan peneliti di Departemen Energi Amerika Serikat pada bidang gasifikasi dan produksi hidrogen bersih sejak 2018 itu, untuk kendaraan listrik, yang paling canggih sekarang ini, menggunakan solid state battery. Sekarang mobil listrik sudah tidak lagi memakai baterai lithium (li-ion). Teknologi baterai solid-state, satu kali charging jarak tempuhnya bisa sampai 620 miles dengan membutuhkan waktu pengechasan kurang lebih 10-15 menit. Toyota sedang fokus meluncurkan produk pertamanya dengan teknologi solid state battery ini.

“Nah, untuk hidrogen, pengisiannya lebih cepat lagi. Hanya itungan detik. Tabung hidrogen, ada beberapa silinder, per silindernya bisa diganti, sudah selesai. Kendaraan bisa jalan lagi. Itu yang paling canggih sekarang ini. Yang normalnya seperti kita mengisi di pom (SPBU) bensin biasa. Seperti saat kita mengisi gasoline, bensin premiun, pertalite, dan lainnya. Waktunya sama. Sebab bahan bakunya sama, cair dan dipompa. Tapi yang paling mutakhir sekarang ini, yang kita amati, kendaraan hidrogen itu membawa silinder-silinder saja, kecil-kecil, dan tabungnya itu saja yang diganti kalau bahan bakarnya habis. Langsung bisa jalan lagi. Jadi kalau dibandingkan dengan kendaraan listrik, waktu pengisiannya lebih cepat hidrogen,” katanya kepada wartawan global-news.co.id, Gatot Susanto, Kamis (26/10/2023).

Yang ketiga, kata dia, dalam hal jarak tempuh. Bila mobil listrik memakai solid state battery mencapai 500-600 miles, tapi kalau memakai hidrogen per sekali pengisian mencapai 845 miles. Itu mulai dari full tank sampai habis.

“Selain itu kendaraan listrik memiliki pengaruh ke lingkungan karena terkait limbah baterai setelah habis masa pakainya. Misalnya, battery lithium umumnya mengalami degradasi kinerja setelah 1000 cycle. Sementara solid state battery pada kisaran 2000-3000 cycle. Hanya solid state battery sekitar 39% lebih ramah lingkungan daripada teknologi lithium-ion karena jumlah material yang digunakan lebih sedikit dan memiliki stabilitas thermal lebih tinggi, alias tidak mudah terbakar jika terkena ekspos temperatur tinggi. Oleh karena itu upaya recycle battery solid state akan lebih mudah dan aman daripada lithium-ion,” katanya.

Dalam hal recycle inilah, kata dia, kendaraan fuel cell unggul jauh karena setelah habis masa pakai. Fuel stack dari kendaraan bisa direfurbish, sehingga performance bisa kembali menjadi seperti baru lagi. Teknologi refurbish fuel cell stack ini menjadi keunggulan tersendiri karena material akhir bekas pakai kendaraan fuel cell yang berakhir di tempat pembuangan akhir (landfill) akan sangat minim. “Jadi sangat ramah lingkungan,” katanya.

Karena itu dia mendukung PT Pertamina masuk bisnis hidrogen hijau. Sebab peluangnya sangat besar.
“Semua artikel yang saya tulis mulai dari awal hingga yang terbaru kemarin merupakan kompilasi dari berbagai upaya pengembangan hidrogen ekonomi yang dilakukan di Amerika Serikat. Ini babak baru ekonomi hidrogen yang akan menggantikan energi fosil, sebab energi fosil sendiri bisa langsung di-convert ke hidrogen. Karena itu kalau Pertamina merintis proyek hidrogen di Tanah Air itu harus didukung,” katanya.

Ilustrasi Program Hydrogen Hub di Amerika Serikat. (Sumber: Natarianto Indrawan)

Dia lalu menunjukkan salah satu artikel tulisannya membahas Proyek Hidrogen Hub (H2Hubs) Amerika Serikat (AS) yang sudah dimulai seiring dengan pengumuman pemenang atau penerima dana hibah Pemerintah Federal AS pada Jumat 13 Oktober 2023 lalu. Melalui Undang-Undang Infrastruktur Bipartisan (BIL), H2Hubs akan mempercepat penerapan hidrogen ramah lingkungan dalam skala komersial yang membantu menghasilkan energi bersih yang dapat dikirim (dispatchable), menciptakan sistem penyimpanan energi baru, serta dekarbonisasi sektor industri dan transportasi.

Proyek H2Hubs ini diprediksi akan mengurangi 25 juta metrik ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya, jumlah yang kira-kira setara dengan gabungan emisi tahunan 5,5 juta mobil bertenaga bensin, serta menciptakan puluhan ribu lapangan kerja di berbagai negara.

“Pengembangan energi hidrogen merupakan fokus utama Departemen Energi AS karena merupakan bahan bakar yang dapat digunakan untuk menjelajah antariksa dengan konsep energi nuklir fusi,” katanya.

Untuk itu, bila Indonesia ingin meniru langkah negeri Paman Sam dalam mengembangkan ekonomi hidrogen, Natarianto Indrawan memberi saran ke Pertamina, Pertama tentunya soal sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keahlian di bidang teknologi hidrogen.

“Rekan-rekan kita yang memiliki background teknologi produksi hidrogen termasuk fuel cell ini harus menjadi orang kunci di lembaga tersebut. Hal ini agar pada saat pemilihan teknologi, penerapan, hingga operasional kita tidak kalah dengan negara lain. Dan skill ini, seperti di Amerika, saat ini sedang demanding, di mana-mana sedang bermunculan proyek hidrogen, tapi orang-orang yang berkecimpung di bidang ini, masih sangat terbatas. Jadi PT Pertamina harus memperhatikan sumber daya manusia, yang memiliki background dalam produksi hidrogen,” katanya.

Kedua, Natarianto menyarankan, perlunya internal research and development di Pertamina jika belum ada. Namun bila sudah ada harus dikembangkan lagi. Diisi dengan para pakar di bidang energi hijau ini termasuk fuel cell tersebut. Mereka harus menjadi ujung tombak kemajuan bisnis baru Pertamina tersebut.”Peluang ini harus segera ditangkap, sebab sudah demanding,” ujarnya.

Dia memberi contoh Australia juga gencar mengembangkan proyek hidrogen sehingga kebutuhan hidrogen di negara itu akan sangat tinggi. “Sudah demanding. Demand hidrogennya lebih tinggi dari supply. Dan Australia merupakan pasar paling dekat dengan Indonesia. Jadi Pertamina bisa menangkap peluang hidrogen market di Australia ini,” ujarnya.

Ketiga, kata dia, Pertamina perlu berkolaborasi. Dia juga menekankan kemampuan Pertamina melihat beberapa terobosan teknologi di luar. Sebab sekarang banyak sekali perusahaan rintisan atau start up di bidang hidrogen.

“Dan akan semakin jitu strategi yang dilakukan Pertamina bagi mereka, jika mereka mampu untuk melakukan investasi dari awal, membantu perusahaan start up itu untuk berkembang. Strategi ini sudah dilakukan perusahaan-perusahaan besar di Amerika termasuk Shell, Chevron, BP (British Petroleum), Microsoft. Mereka selalu membuka keran financing bagi para start up di bidang energi hidrogen meskipun baru pada tataran skala pilot. Sebagai contoh, tahun lalu Shell melakukan investasi jutaan dollar ke salah satu perusahaan startup Canada yang fokus pada produksi hidrogen berbasis microwave meskipun baru pada tataran bench scale (belum sampai skala pilot) selama upaya tersebut sesuai dengan visi misi perusahaan karena Shell berambisi untuk menjadi salah satu leading teknologi produksi hidrogen hijau di masa mendatang,” ujarnya.

Dia mengatakan, investasi di perusahaan – perusahaan teknologi ini merupakan cara paling smart karena bila teknologi itu berhasil dikembangkan, maka PT Pertamina bisa langsung menjadi salah satu stakeholder utama pada perusahaan rintisan tersebut.

“Hal ini sempat kita sampaikan juga kepada para rekan dan senior kita di Pertamina. Coba bapak, selain menggunakan conventional ways untuk business development, bisa lihat juga alternatif peluang teknologi baru, di luar sana, banyak sekali. Di perusahaan rintisan yang melakukan terobosan teknologi tapi mereka perlu partner untuk dapat back up financing agar dapat berhasil. Jadi itu termasuk kolaborasi, karena pada akhirnya teknologi itu nantinya akan bisa dibawa ke dalam negeri. Selain itu Pertamina juga perlu meningkatkan kerjasama riset dengan berbagai perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset yang ada, untuk mendorong riset di bidang teknologi hidrogen dan terkait lainnya,” katanya.

Kolaborasi Pertamina dengan lembaga riset dan institusi pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, kata dia, perlu digiatkan lagi untuk dapat menjadi leading ekonomi hydrogen di masa mendatang. Sebagai contoh, saat ini fokus kompetisi global berada pada teknologi produksi berefisiensi tinggi yang dapat mencapai target biaya produksi sebesar $1/kg hidrogen.

“Steam methane reforming yang dilengkapi carbon capture masih berada di kisaran $3-5/kg hidrogen hanya investasi kompleks dan berbiaya tinggi, tren ke depan akan ditinggalkan. Elektrolisis dengan efisiensi 75% saat ini berada di kisaran 36 kWh/kg hidrogen. Teknologi yang paling mutakhir saat ini berada pada 10.5 kWh/kg hydrogen. Jadi di sini fokus global saat ini, meningkatkan efisiensi proses produksi agar tercapai target biaya produksi $1/kg hidrogen. Departemen energi AS memberikan periode sebesar 8-12 tahun untuk mencapai ini,” kata Natarianto Indrawan.

Ekonomi Hidrogen

Bisnis hidrogen hijau ini perlu digencarkan bukan hanya soal gerakan menyelamatkan bumi dari dampak perubahan iklim, tapi juga faktor keekonomian. International Energy Agency (IEA) mencatat bahan bakar hidrogen (hydrogen fuel) memiliki peran penting dalam mendukung transisi dari energi fosil ke energi baru-terbarukan (EBT).

Namun data tahun 2020 porsi penggunaan bahan bakar jenis ini masih di bawah 0,1% dari total konsumsi energi final dunia. Hanya saja porsinya ditargetkan terus naik dalam beberapa dekade mendatang. Apalagi mengingat proyeksi market hidrogen global pada 2050 adalah sebesar 2.5 triliun dollar, jadi harus benar-benar dipersiapkan dari sekarang jika PT Pertamina ingin menjadi leading pada ekonomi hidrogen di masa mendatang.

Karena itu, seperti di Amerika, ekonomi hidrogen perlu segera digalakkan di semua wilayah di Indonesia, karena masing-masing wilayah memiliki resource yang berbeda khususnya pada bahan baku produksi energi hidrogen ini. Sebagai contoh, wilayah yang memiliki kekayaan batubara dan biomassa, maka teknologi hidrogen akan berprioritas pada gasifikasi, sementara wilayah dengan sumber daya gas alam berlimpah, maka teknologi hidrogen bisa berfokus pada steam methane reforming atau methane pyrolysis, sedangkan wilayah dengan sumber daya pesisir pantai bisa memanfaatkan teknologi elektrolisis.

Semuanya, diperuntukkan untuk menangkap peluang ekspor jika demand di dalam negeri belum begitu besar. Saat ini sudah ada permintaan ekspor hidrogen Indonesia, antara lain dari Singapura. Sumber kekayaan alam terutama energi Indonesia yang melimpah membuat negara lain, seperti Australia, dipastikan juga melirik hidrogen dari Indonesia.

Maka kebutuhan hidrogen akan semakin besar. Belum lagi bila dimanfaatkan pula untuk kebutuhan otomotif, di mana sudah ada perusahaan otomotif yang akan memasarkan produknya ke Indonesia. Toyota Indonesia lewat PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) misalnya. Perusahaan ini sudah memasarkan secara global Toyota Mirai sejak 2014. Mobil yang menggunakan sel bahan bakar dengan mengubah hidrogen dan oksigen jadi listrik dan air itu pun segera meluncur di jalanan Tanah Air.

Data Kementerian ESDM tahun 2022, selama ini hidrogen telah dimanfaatkan di Indonesia dalam sektor industri, terutama sebagai bahan baku pupuk. Konsumsi hidrogen di Indonesia saat ini berkisar 1,75 juta ton per tahun, dengan pemanfaatan didominasi untuk urea (88%), amonia (4%) dan kilang minyak (2%). Kementerian ESDM dalam upaya mendukung pengembangan Hidrogen Hijau telah menyusun dokumen peta jalan nasional hidrogen dan amonia yang berisi rencana penerapan hidrogen di Indonesia hingga tahun 2060, yang mencakup regulasi, standar, infrastruktur, teknologi, supply-demand, dan lain-lain. Peta jalan nasional ini diharapkan semakin membuat perusahaan energi leluasa dan bergairah untuk berbisnis hidrogen baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. (*)

Penulis adalah wartawan Koran Global News dan global-news.co.id.

baca juga :

Mendag Serahkan Bantuan ke Provinsi Jatim

Redaksi Global News

Timnas Wanita Afghanistan Ungkap Kecemasan di Bawah Kuasa Taliban

Redaksi Global News

Libatkan 79 Bank, Bank Indonesia Lakukan Aktivasi Aplikasi PWD SKNBI

gas