Global-News.co.id
Secangkir Kopi

Redenominasi Mencuat Lagi

Erfandi Putra
Pimred/Pemimpin Umum

Lagi. Dan lagi, wacana penyederhanaan rupiah atau redenominasi dilontarkan pemerintah. Kebijakan ini, hampir setiap tahun menjadi wacana. Akankah, wacana akan menjadi kenyataan? Yang jelas, Bank Indonesia (BI) akan kembali mendorong Rancangan Undang-undang (RUU) Redenominasi masuk ke program legislasi nasional (prolegnas).

Sebegitu mudahkan kita melaksanakan kebijakan tersebut? Sudah siapkan masyarakat kita menghadapi redenominasi dari Rp. 1.000 yang selanjutnya menjadi Rp 1 rupiah? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi yang sangat mungkin menjadi bahan pertanyaan, khususnya di kalangan masyarakat awam. Apalagi pada suatu kesempatan, Gubernur BI, Agus Martowardojo mengatakan, penyederhanaan mata utang bukan hal mudah. Butuh waktu minimal 7 tahun hanya untuk transisi mengubah Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Karena itulah, pemerintah sudah seharusnya berfikir matang dalam maslah ini. Masa transisi penyederhanaan rupiah adalah sosialisasi yang masif ke masyarakat akan menjadi kunci.  Bila hal ini serius akan dilaksnakan,  BI sudah seharusnya menyiapkan diri untuk mulai melakukan sosialiasi bila RUU Redenominasi mulai dibahas di DPR.

Pertanyaan selanjutnya, begitu mendesakkah redenominasi bagi Indonesia. Mengapa pertanyan ini harus dilontarkan? Karena, BI selama ini belum menunjukan keseriusannya atas rencana itu. Selama ini kebijakan yang mulai dilontarkan sejak sekitar 2013 ini, anggota masyarakat hanya mendengar statement saja. Sementara action untuk mengarah ke sana tidak tampak nyata.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, memang tak pernah ada negara yang mirip Indonesia yang melakukannya, sehingga tak mudah mengadopsinya begitu saja. Umumnya negara yang pernah melakukannya adalah negara yang relatif kecil, baik dari ukuran ekonomi, jumlah penduduk, maupun luas dan persebaran wilayah. Contoh kisah sukses adalah Turki dan beberapa negara Amerika Latin.

Ada argumentasi bahwa umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan inflasi tinggi, bahkan hiperinflasi (inflasi di atas 50 persen per bulan), seperti dialami Argentina (1980-an), Brasil (1980-an dan 1990-an), Zimbabwe (2010). Sementara di Indonesia inflasi sekarang justru rendah. Kalau begini fajtanya, sudah urgenkah redenominasi bagi negara ini?.

Inflasi kita kini memang rendah, tetapi jangan lupa, kita pernah menderita inflasi besar, 78 persen (saat krisis 1998) dan 17 persen (saat harga BBM naik 2005). Akibatnya, rupiah dari Rp 2.000 per dollar AS (1996) pernah merosot jadi Rp 17.000 (Januari 1998) dan kini menjadi kisaran Rp 13.000 per dollar AS. Sekali lagi pengkajian yang mendalam untuk melaksanakan kebijakan ini memang sangat diperlukan. (*)

baca juga :

Susi…Susi…Susi…

Redaksi Global News

Batubara ‘Mengancam’ Tarif Listrik

Redaksi Global News

Ayo Bersama Menahan ‘Lunglainya’ Rupiah

Redaksi Global News