Global-News.co.id
Secangkir Kopi

Ayo Bersama Menahan ‘Lunglainya’ Rupiah

 

GN/ilustrasi

Nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terus menguat terhadap Rupiah. Berdasarkan perdagangan Reuters nilai dollar pukul 16.00 WIB, Rbu ( 5/9/2018) tercatat Rp 14.930 atau lebih lemah dibandingkan perdagangan siang sebesar Rp 14.897. Angka ini hampir mendekati level Rp 15.000, kira-kira apakah bisa menembus psikologis baru itu?

Berbagai alasan mengapa Rupiah terus terkulai beberapa harui terakhir ini. Selain karena faktor global, faktor domestik juga bisa mempengaruhi hal tersebut. Misalnya, kondisi kinerja perdagangan Indonesia kurang optimal. Neraca perdagangan terus mengalami defisit. Kenyataan ini akan mempengaruhi defisit transaksi berjalan yang kuartal II 2018 tembus 3%.

Artinya tekanan nilai tukar diproyeksi akan berlanjut hingga tahun depan dan menembus batas psikologis Rp 15.000 pada akhir 2018, tahun 2019 harus diwaspadai juga kebijakan bunga acuan Fed yang akan naik tiga kali lagi. Ini yang bisa memicu pelemahan kurs lebih dalam. Tekanan terhadap Rupiah ini paling banyak dipengaruhi tekanan krisis Turki dan Argentina yang merembet ke negara berkembang menimbulkan kekhawatiran para pelaku pasar global.

Kondisi diperparah oleh rencana kenaikan Fed rate pada akhir September ini. Akibatnya investor melakukan fight to quality atau menghindari resiko dengan membeli aset berdenominasi dollar AS. Indikatornya US Dollar index naik 0,13% ke level 95,2. Dolar index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang lainnya.

Bila kita melihat ke belakang, dulu itu geraknya cepat sekali. Cepat sekali. Hanya dalam beberapa bulan dari kisaran Rp 2.000 di November 1997 jadi Rp 16.000 di 1998. Sekarang kan sedikit-sedikit, memang kita tidak bisa prediksi akan berhenti di mana, lagi-lagi karena faktor eksternal. Kondisi saat ini sangat jauh berbeda dengan periode 1997-1998. Saat itu inflasi tinggi, BI menaikkan bunga acuan terlalu cpat, Rupiah tidak terkendali, cadangan devisa RI tidak cukup.

Hal lain yang mempengaruhi cepatnya dollar AS menggerus rupiah waktu itu (1998), salah satunyanya, yakni, saat itu pengawasan penjualan dolar AS sangat longgar dan menyebabkan spekulan bisa memborong dolar. Jadi orang mau beli dollar AS itu gampang sekali. Kalau sekarang kan mau beli banyak ditanya dulu underlyingnya mana? Kalau butuh buat impor harus jelas dulu peruntukkannya apa. Kalau dulu susah, jadi meskipun bunga naik 60% itu ya tidak akan menolong karena orang tetap spekulasi. Kalau sekarang tidak seperti itu dan bisa dikendalikan.

Langkah-langkah yang diambil pemerintah seperti Bank Indonesia (BI) sudah berupaya untuk mengelola stabilitas nilai tukar dengan melakukan dual intervension di pasar valuta asing dan pasar obligasi. BI juga melakukan rapat koordinasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tapi semua itu akan bermuara bagaimana atau sebesar berapa kepemilikan dollar AS yang kita miliki?

Peran masyarakat juga vital di sini. Milasnya, kalau ada yang punya dollar AS bisa dijual dan ditukar ke Rupiah untuk membantu penguatan kurs. Masyarakat juga harus tetap percaya jika ekonomi Indonesia saat ini masih tetap terjaga. Karena pemerintah dan BI akan responsif dan memperkuat komunikasi. Jika ingin membantu penguatan Rupiah, masyarakat Indonesia bisa menahan dulu keinginan untuk jalan-jalan ke luar negeri. Masyarakat umum tidak perlu panik dan pelaku pasar diharapkan tidak melakukan aksi spekulasi yang akan mendorong penguatan dollar AS lebih lanjut lagi.(*)

baca juga :

Hormat Pakde

Redaksi Global News

Hati-hati Surabaya Raya

Redaksi Global News

Vaksin Gotong Royong

gas