Joice Ardina Henny bukan hanya berlatih menari sendiri, tapi juga mengajak suaminya yang seorang anggota polisi di Amerika Serikat dan anaknya untuk menggeluti kesenian tradisional dari negeri asalnya ini. Mereka antusias belajar menari meski baru bisa gerakan yang sederhana saja.
Oleh Gatot Susanto
SCOTT sangat antusias saat diajari menari. Namun kendalanya pria bule ini super sibuk lantaran tugasnya sebagai seorang polisi di Portsmouth New Hampshire–satu jam perjalanan dari Boston, Amerika Serikat. Selain itu, dua dunia itu bagi Scott berbeda. Bahkan bertolak belakang.
Polisi butuh tubuh kekar dan sikap tegas lantaran banyak menghadapi secara langsung orang biasa hingga pelaku kriminal. Sedangkan menari butuh keluwesan. Karena itu dia hanya latihan menari yang gerakannya sederhana. Kalau ditanya apa tertarik belajar tari Remo asal Surabaya, tentu dia tertarik, tapi masalahnya apa bisa?
Saat ini dia baru bisa menari tarian simple saja dengan durasi latihan pendek. Misalnya tarian dari Kalimantan, dan Betawi. Meski demikian tetap saja tidak seperti penari professional pada umumnya. Tapi itu tidak masalah. Yang penting keinginannya dan perhatiannya kepada budaya Indonesia ini layak diapresiasi.
Saya sendiri awal bergabung dengan Nusantara Kreasindo (NK) setelah diperkenalkan oleh seorang teman dengan Dian Tanjung Simanjuntak. Dian merupakan mantan penari tradisional dari Indonesia yang juga ikut dalam Misi Kesenian manca negara. Dian kemudian mendirikan NK tahun 2006 setelah hijrah ke Amerika.
Dari situ saya banyak belajar ragam tarian tradisional Indonesia hingga sering diajak pentas ke berbagai kota di USA, salah satunya atas undangan dari Diaspora Indonesia yang berada di Kanada untuk memperkenalkan budaya Indonesia. Kemudian NK juga berkesempatan performance di Havana, Cuba, tahun 2024.
NK sendiri dibentuk tahun 2006 yang mempunyai komitmen dan tingkat disiplin yang tinggi sehingga menjadikan NK mempunyai tim yang solid dalam latihan maupun saat performance. Hal ini juga membentuk jiwa dan semangat kami para anggotanya.
Di satu sisi, bergabung dengan NK juga bukan hal mudah, awalnya saya mengalami kendala saat latihan di mana saya harus menyesuaikan gerakan-gerakan tarian tradisional Indonesia yang luwes dan lentur. Padahal basic saya bukan penari.
Awalnya, seperti anggota pemula lainnya, saya harus menyesuaikan gerakan-gerakam tarian tradisional Indonesia yang memiliki gerakan mengikuti pakem atau aturan dasar yang mengandung filosopi lokal sehingga kami harus teràmpil, luwes dan lentur. Ini sulit. Namun saya terus berupaya dan beradaptasi yang pada akhirnya saya, suami dan anak-anak mampu menyesuaikan diri dan menjadi terbiasa. Ada istilah di Indonesia, bisa karena terbiasa, artinya sesuatu yang dilakukan terus menerus akan menjadikan kita mampu.
Dalam hal performance kami juga mengalami berbagai kendala, namun kami percaya setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya, seperti minimnya dana untuk keperluan transportasi, akomodasi, konsumsi, kostum, biaya crew, dan lain-lain. Hal ini kami siasati dengan mencari pendanaan dari anggota, dan donatur untuk itu bila ada dana lebih inilah sebagian besar kami tabung untuk pembelian kostum, dan lainnya. Performance yang diikuti NK biasanya bersifat nonprofit dan panitia tidak manjual tiket masuk alias free for public.
Akhir kata, saya bangga menjadi wanita Indonesia yang bisa menjaga dan melestarikan kekayaan seni dan budaya Indonesia di negara orang. Terlebih dengan upaya inilah saya dapat tetap mencintai Indonesia. Semoga cukup menginspirasi semua wanita Indonesia. Salam budaya! (*)