Global-News.co.id
Politik Utama

Presiden Netral & Pilpres Tidak Curang

Oleh Masdawi Dahlan*

 

BANYAK sisi penafsiran yang bisa kita dapatkan dari pertemuan jamuan makan siang yang dilakukan Presiden Jokowi dengan para calon presiden (Capres), Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, di Istana Negara Senin (30/10/23) kemarin. Ada yang terkait dengan gestur tubuhnya, ada pula yang melihat dari baju yang dipakainya yang semuanya menggunakan batik motif berbeda.

Namun ada pula yang melihatnya dari sisi lain yakni dari materi pembicaraan yang dilakukan oleh para Capres tersebut dengan Presiden Jokowi. Yang menarik adalah materi pembicaraan yang dilakukan oleh Capres Anies Rasyid Baswedan. Sebagaimana disampaikan sendiri oleh Anies saat konferensi pers usai jamuan makan siang, dia meminta Presiden Jokowi dan aparatnya bersikap netral dalam Pilpres mendatang.

Anies mengungkapkan permintaan itu disampaikan kepada Presiden sebagai penyambung aspirasi yang dia temukan pada saat turun menemui masyarakat. Menurut dia masyarakat di bawah sangat berharap Presiden Jokowi untuk bersikap netral dan meminta aparat negara juga menjaga netralitasnya pada seluruh proses Pilpres mendatang.

Anies menyampaikan bahwa Presiden Jokowi menyambut positif permintaan masyarakat agar dirinya menjaga netralitas. Presiden Jokowi, kata Anies, juga mengaku telah mengumpulkan para pejabat terkait meminta jaga netralitas, bahkan juga berjanji hal yang sama akan dilakukan bagi kalangan TNI Polri dan aparat negara lainnya. Menurut Anies, Presiden Jokowi dan aparat terkait lainnya harus jaga netralitas agar Pilpres berjalan demokratis, aman, lancar, berkah dan berkualitas.

Jawaban Presiden untuk bersikap netral itu juga mendapat tanggapan Ganjar Pranowo, Capres yang diusung PDI Perjuangan. Menurut Ganjar Presiden Jokowi akan merespon aspirasi masyarakat dengan baik karena dia adalah orang baik yang demokratis. Dia mengatakan netralitas Presiden dan aparat sangat penting, karena tanpa netralitas, Pilpres tidak demokratis.

Netralitas Presiden dan aparat negara lainnya dalam Pilpres merupakan persoalan utama tiap kali momentum Pilpres. Selama Pilpres digelar secara langsung di Indonesia selama ini, masyarakat selalu merasakan adanya nuansa ketidaknetralan aparat negara. Dan kondisi inilah yang menjadi penyebab hingga saat ini Pilpres belum diyakini sebagai momentum rekrutmen kepemimpinan nasional yang legitimet dan bermoral, sehingga bisa menghasilkan pemimpin yang berintegritas berkualitas. Dua kali Pilpres terakhir tampaknya juga dipenuhi kecurigaan kuat dari publik akan ketidaknetralan aparat.

Netralitas aparat yang dimaksudkan adalah para pejabat dan petugas yang terkait dengan seluruh proses penyelenggaraan pemilu, apakah itu pihak keamanan, panitia, pengawas hingga aparat yudikatif yang bertugas mengadili sengketa pemilu. Ketidaknetralan aparat merupakan bagian dari cara licik dari sebuah rezim kekuasaan untuk memenangkan pemilu.

Ketidaknetralan itu merupakan cikal bakal kecurangan dalam sebuah Pemilu, bahkan ada pejabat di negeri ini yang mengatakan bahwa kecurangan itu adalah bagian demokrasi. Karena ketidaknetralan itu mengakibatkan terjadinya gangguan psikis bagi public yang berakibat pemilu tidak lagi demokratis dan bebas, dan tidak jarang pula berupa manipulasi data.

Permintaan Anies agar Presiden dan aparat untuk netral dalam Pilpres mendatang sebenarnya bisa dimaknai sebagai permintaan agar pemilu atau Pilpres tidak berjalan curang. Yakni menggerakkan aparat untuk memanipulasi data dan fakta politik untuk kemenangan pasangan tertentu, sekalipun tiap pemilu selalu potensial akan adanya kecurangan, baik yang terjadi dalam skala ringan hingga kecurangan yang terencana, masif dan sistematis. Modusnya dengan cara memanfaatkan berbagai fasilitas teknologi dan aparat negara termasuk aparat penyelenggara pemilu.

Praktik kecurangan yang dilakukan untuk memenangkan pasangan tertentu dalam kontestasi Pilpres sekarang, sebenarnya sejak awal sudah bisa dibaca dari berbagai gejala. Dengan kata lain kemungkinan akan terjadinya kecurangan atas pemilu yang akan datang sebenarnya sudah mulai terasa berjalan melalui berbagai manuver yang berusaha untuk menggagalkan calon pasangan tertentu, keinginan untuk membatasi pasangan Capres dan Cawapres hanya dua pasang saja, hingga publikasi hasil berbagai survey, yang diduga survey bayaran.

Lembaga survey yang diduga sebagai lembaga bayaran dari kelompok kepentingan politik tertentu itu selama ini bukan hanya diduga telah melakukan pembohongan bagi public, namun juga bisa dikategorikan sebagai bagian dari proses kecurangan, karena secara sistematis hasil lembaga survey itu dipublikasikan secara rutin dan terencana di berbagai media mainstream, dengan tujuan untuk memframming agar otak masyarakat meyakini kebenaran hasil lembaga lembaga survey tersebut. Tidak mengherankan jika pengamat politik Rocky Gerung dalam berbagai kesempatan menjadi nara sumber dalam dialog podcast Youtube dia menilai lembaga survey itu adalah lembaga tipu-tipu.

Ketika otak dan pikiran masyarakat membenarkan hasil lembaga survey, maka masyarakat telah termakan rekayasa bahwa hanya pasangan calon tertentu saja yakni yang memiliki persentase tertinggi yang layak didukung, karena pasangan tersebut dinilai banyak mendapat dukungan masyarakat. Langkah selanjutnya hasil survey itu diduga direkayasa untuk sama dengan hasil quick count hingga pada hasil penghitungan suara elektronik dan manual yang dilakukan oleh KPU.

Dengan kesamaan antara hasil survey dan hasil quick count dan penghitungan elektonik hingga perhitungan manual oleh KPU, maka aparat atau hakim majelis yang ada di lembaga yang menangani sengketa pemilu dan masyarakat umum digiring juga wajib mengakui kemenangan Capres dan Cawapres yang telah dipersiapkan. (*)

*Penulis adalah wartawan Global News Biro Pamekasan.

baca juga :

Pemprov Jatim Siap Vaksinasi Mulai 14 Januari, Tahap 1 Prioritas Surabaya, Gresik dan Sidoarjo

Redaksi Global News

Polrestabes Surabaya Distribusikan 100 Paket Sembako Melalui Cheng Hoo

gas

Kodam V Gelar Vaksinasi dan Booster di Masjid Cheng Hoo

gas