Global-News.co.id
Kesehatan Pendidikan Utama

Banyak Pemberitaan Kekerasan Seksual yang Belum Responsif Gender

Kepala DP3AK, Restu Novi Widiani (kanan) saat menyampaikan paparan.

SURABAYA (global-news.co.id) – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur menyoroti pemberitaan media terkait perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang belum responsif gender.

Kepala DP3AK, Restu Novi Widiani, mengakui masyarakat banyak yang cenderung menyukai berita sifatnya bombastis dan heboh, sehingga media meresponnya dengan memuat berita-berita demikian dengan harapan bisa menarik banyak pembaca dan untuk menaikkan trafik di media online.

“Kalau berita tentang kekerasan seksual itu disampaikan terlalu vulgar, justru tidak mendidik dan malah menimbulkan konotasi negatif pada korban,” ujar Restu Novi dalam Pertemuan Pemahaman Pengarusutamaan Gender dan Perlindungan Anak pada Media Massa Provinsi Jawa Timur pada Kamis (28/7/2022).

Menurut Restu Novi, seharusnya ada perlindungan kepada korban dalam pemberitaan yang disampaikan oleh media. Karena itu, pihaknya mengadakan pertemuan tersebut, yang diikuti para peserta dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pertemuan itu sendiri bertujuan untuk menyosialisasikan memberikan pemahaman tentang pemberitaan yang responsif gender kepada media massa dan peserta.  Ini menjadi penting karena bisa bersama membangun visi dalam penyampaian berita dengan perempuan dan anak sebagai subjek.

“Bukan berarti kita meminta stop pemberitaan tentang kekerasan. Justru kami senang berita itu semakin banyak  artinya kita sudah tahu bahwa banyak  teman-teman media yang sudah menjadi pelapor dan pelopor, banyak yang bisa menyuarakan ke media. Tinggal bagaimana SOP-nya agar pemberitaannya responsif gender,” ujarnya.

Restu menegaskan, pemberitaan yang responsif gender itu dimaksudkan untuk menghormati hak privasi terhadap perempuan dan anak.  Ada konteks perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban.

“Pemberitaan kekerasan seksual itu kan cenderung menyangkut harkat hidup anak, perempuan. Apa kita rela kalau anak atau saudara kita dibegitukan, diblow up dipertontonkan fotonya meski dikaburkan. Bagaimana perasaan dia kalau kita begini,” lanjut mantan Sekretaris Dinas Sosial Jatim ini.

Menurut Restu, pemberitaan di media massa semestinya memberikan efek jera terhadap pelakukan kekerasan, dan bukan malah menyudutkan korban. Apalagi saat ini ada Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), yang diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Untuk memberikan perlindungan dan penyelesaian kasus kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Pemerintah Kabupaten/Kota bahkan telah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak  (P2TP2A). “Di P2TP2A ini  tentunya selalu ada pendampingan, ada psikolog, ada pekerja sosial, yang mana mereka bisa membantu membuka suara korban,” tandasnya.

Media massa sebagai penyampai informasi kepada masyarakat luas, memiliki kemampuan dalam membentuk opini publik. Karena itu, Restu mengajak media untuk menyampaikan berita yang responsif gender dan mengimbangi dengan berita-berita yang positif.

“Media memang harus memberitakan berbagai peristiwa dan fakta. Tapi ayo diimbangi dengan berita-berita yang positif. Misalnya tentang prestasi yang dicapai seorang perempuan atau seorang anak,” katanya. (ret)

baca juga :

Cegah Resesi Tak Berlanjut, Disarankan Rombak Total Program PEN

Redaksi Global News

Ribuan Pengikut Tinggalkan Padepokan Dimas Kanjeng

Redaksi Global News

‘Night Zoo’ KBS, Legislator Sebut Bisa Jadi Sarana Penelitian Hewan Nokturnal

Redaksi Global News