Global-News.co.id
Ekonomi Bisnis Indeks Metro Raya

BI: Tak Ada Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Virtual Currency 

Kepala Perwakilan BI Jawa Timur Difi Ahmad Johansyah (kiri) dan Yosamartha dari Fintech Office BI.

SURABAYA (global-news.co.id) Bank Indonesia kembali mengingatkan resiko penggunaan virtual currency sebagai alat pembayaran. Salah satunya tidak adanya bagi perlindungan konsumen.

Yosamartha dari Fintech Office Bank Indonesia menjelaskan virtual currency atau uang virtual bertujuan mempercepat pembayaran tanpa ada otoritas pengelolanya. “Konsepnya berkarakteristik, tidak terdapat pengaturan termasuk pengaturan terhadap pengelolaan algoritma juga tidak mengikuti standar internasional, kepemilikannnya legal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk aktifitas ilegal serta tidak ada perlindungan konsumen bila ada keluhan atau komplain,” papar Yosamartha dalam acara ‘Edukasi Publik Kebijakan Bank Indonesia terhadap Virtual Currency’ di Surabaya, Kamis (18/1/2018).

Dijelaskan lebih lanjut, dalam ekosistem virtual currency,terdapat empat pelaku, yakni minning, payment, wallet dan exchange. “Memiliki resiko yang tinggi sekali pada area sistem pembayaran dan sangat merugikan masyarakat khususnya masyarakat kecil, yang ingin memiliki investasi yang besar, serta dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan, rawan resiko penggunaan untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme juga berpotensi merugikan konsumen,” ujar Yosamartha.

Dalam kesempatan tersebut Difi  Ahmad Johansyah, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Timur juga menjelaskan, virtual currency semacam salah satunya Bitcoin, bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia. “Alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah Rupiah,” tegas Difi.

Kata Difi, uangvirtual seperti Bitcoin tidak ada payung hukum, hanya bisa menabung tapi tidak bisa keluar. “Artinya saat butuh uang tidak bisa diuangkan, dan sulit dilacak, tidak ada sentralnya, tidak bisa dikontrol, silsilahnya tidak jelas,” papar Difi.

Bitcoin, kata Difi, sebenarnya hanya dilakukan di dunia maya, semacam inovasi teknologi informasi yang merupakan aplikasi komputer yang digerakkan oleh mesin,  jadi bukan salah satu alat pembayaran dalam paparannya.

Bitcoin sudah beredar sejak 2012 dan BI sudah sejak 2012 mencegah dan melarang Bitcoin, sebelum negara-negara seperti Korea Selatan, Kanada, China dan Singapura. “Hanya saja untuk menindak agak kesulitan karena tidak ada korban yang melapor yang merasa dirugikan atas Bitcoin,” ujar Difi.

Difi menjelaskan, kalau Bitcoin sudah pasti terdaftar di Indonesia. Oleh karena itu di Indonesia ada lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan memantau kejelasan suatu perusahaan demi keamanan masyarakat. “Di sini yang bisa saya tekankan ulang bahwa, pembayaran yang sah di Indonesia hanya menggunakan Rupiah,” tegas Difi mengakhiri.(win)

 

baca juga :

OJK Peringati Hari Santri Nasional 2022, Momentum Peningkatan Literasi dan Inklusi Keuangan

Redaksi Global News

Larangan Mudik Diterapkan dalam 3 Skenario Kebijakan Lebaran

Redaksi Global News

Bupati Lumajang Sebut Bawang Merah Jadi Alternatif Komoditas Yang Menjanjikan