JAKARTA (Global News)-KEBIJAKAN pengampunan pajak atau tax amnesty dapat diberlakukan pada triwulan III-2016, yakni Juli. Meski demikian tidak tertutup kemungkinan diberlakukan lebih cepat, bulan depan.
Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak), Ken Dwijugeastiadi. ” Tax amnesty bulan depan memang kalau sudah selesai bisa diberlakukan,” kata Ken di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (20/4/2016).
Soal jangka waktu pemberlakuannya, Ken masih mengacu seperti tertera dalam RUU Pengampunan Pajak, di mana dilangsungkan selama satu tahun yang dibagi atas tiga periode. Bila dimulai Juli, berarti tiga bulan pertama adalah Juli-September, tiga bulan kedua Oktober -Desember dan enam bulan terakhir adalah Januari – Juni 2017.
Masing-masing periode memiliki tarif tebusan yang berbeda-beda. Tarif tebusan yang berlaku untuk pelaporan harta adalah 2% untuk tiga bulan pertama, 4% untuk tiga bulan kedua dan 6% untuk enam bulan selanjutnya. Sementara untuk tarif tebusan yang berlaku atas repratriasi adalah 1% untuk tiga bulan pertama, 2% untuk tiga bulan kedua dan 3% untuk enam bulan selanjutnya.
Ken yang merupakan perwakilan pemerintah dalam panitia kerja (panja) RUU pengampunan pajak, menilai hal tersebut masih menjadi usulan pemerintah. Ini bisa jadi akan berubah seiring dengan dinamika pembahasan dengan anggota dewan. “Saya berharap ini bisa bersama teman-teman anggota dewan. Saya nggak bisa menentukan, yang menentukan beliau-beliau di dewan,” jelasnya.
Dia mengaku siap untuk menjalankan kebijakan tersebut. Mulai dari peraturan turunan dari UU hingga sistem teknologi informasi untuk menyimpan dan mengelola data dari wajib pajak. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bisa dilangsungkan tahun ini. “Saya ingin secepatnya,” tegas Ken.
Skema Permohonan
RUU Pengampunan Pajak atau tax amnesty menampilkan skema pengajuan permohonan oleh wajib pajak (WP). Baik yang hanya melaporkan harta maupun yang juga melakukan repatriasi dana. Awalnya, wajib pajak mengajukan surat permohonan pengampunan pajak (SPPP) kepada Menteri Keuangan. Dalam pengajuan ini WP harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan.
Di antaranya adalah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), membayar uang tebusan, melunasi seluruh tunggakan pajak, mengalihkan harta yang sebelumnya di luar negeri ke dalam negeri melalui bank persepsi (bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan pajak), dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) 2015 bagi yang memiliki.
Surat permohonan yang diterima Menteri Keuangan akan diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk penelusuran lebih lanjut untuk mengecek pengisian laporan, kesesuaian harta yang dilaporkan dengan data, penghitungan dan pelunasan uang tebusan dan lainnya.
Penelusuran secara administrasi akan memakan waktu selama 30 hari. Kemudian dibutuhkan selama 14 hari kemudian untuk diterbitkan keputusan atas permohonan pengajuan dari wajib pajak. Bila ternyata wajib pajak tidak memenuhi persyaratan, maka surat keputusan pengampunan pajak tetap diterbitkan. Namun, perhitungan yang dipakai untuk pembayaran tebusan menggunakan data hasil penelusuran Ditjen Pajak.
Merepotkan
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank BRI Tbk Anggito Abimanyu menuturkan skema yang diajukan oleh pemerintah merepotkan wajib pajak. Seharusnya, tidak usah lagi adanya pemeriksaan lebih lanjut. “Harusnya tidak ada lagi pemeriksaan. Jadi di-freeze dulu saja,” kata Anggito saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi XI, di Gedung DPR, di acara yang sama.
Wajib pajak juga kemudian tidak diberikan klarifikasi atas keputusan oleh Menteri Keuangan. Sehingga dimungkinkan harapan dari pengguna fasilitas pengampunan pajak akan berbeda dengan implementasi pemerintah. “Kalau Kemenkeu temukan ada selisih dari harta bersih yang dilaporkan dengan hasil penelitiannya dia gunakan hasil penelitiannya. Seharusnya WP bisa klarifikasi,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tarif tebusan yang diberlakukan dalam RUU pengampunan pajak atau tax amnesty dinilai terlalu rendah. Sementara potensi orang yang ingin menggunakan fasilitas pengampunan pajak tersebut cukup besar. Kebijakan pengampunan pajak akan diberlakukan dalam kurun waktu satu tahun. Berdasarkan RUU, tarif tebusan yang berlaku untuk pelaporan harta adalah 2% untuk tiga bulan pertama, 4% untuk tiga bulan kedua, dan 6% untuk enam bulan selanjutnya.
Sementara untuk tarif tebusan yang berlaku atas repratriasi adalah 1% untuk tiga bulan pertama, 2% untuk tiga bulan kedua, dan 3% untuk enam bulan selanjutnya. “Kok murah sekali tarif yang berlaku sekarang? Saya usul kalau pun ini dilaksanakan, tarifnya dinaikkan,” kata Anggito.
Dia mengusulkan agar tarif tebusan untuk pelaporan harta adalah adalah 6% untuk tiga bulan pertama, 8% untuk tiga bulan kedua, dan 10% untuk enam bulan selanjutnya. Sementara untuk yang melakukan repratriasi, maka tarif tebusan yang seharusnya diberlakukan adalah 5% untuk tiga bulan pertama, 7% untuk tiga bulan kedua, dan 9% untuk enam bulan selanjutnya.
“Usulan ini saya berikan karena perbandingan dengan negara lain dan hasil kajian dari OECD,” jelas Anggito.
Apalagi pada 2018 telah disepakati untuk saling terbuka akan data perbankan antar negara atau yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI). Sehingga mendorong orang untuk lebih memilih pengampunan pajak dibandingkan kerahasiaannya terbongkar. “Uang itu pasti akan masuk, karena tidak akan lagi kerahasiaan bank,” katanya.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analys (CITA), Yustinus Prastowo, menyatakan dengan tarif yang diusulkan pemerintah maka perolehan untuk penerimaan negara terlalu kecil. Sementara ini butuh untuk penyelamatan APBN. Dalam perhitungan Prastowo, penerimaan dari pembayaran tebusan tersebut adalah Rp 60 triliun. Dengan asumsi sekitar Rp 3.000 triliun dana masuk ke dalam negeri.
“Saya memperkirakan penerimaan negara itu sekitar Rp 50 – 60 triliun. Saya nggak mau targetkan terlalu tinggi, apalagi bicara Rp 11.450 triliun itu ketinggian,” kata Prastowo. * jef/dtc