Global-News.co.id
Mancanegara Sosok Utama

Suka Duka WNI Jadi Istri Polisi Pakistan, Sedih Tak Ada Sambal Terasi

ZARAA BADR dan suami.

Salah seorang diaspora Indonesia (WNI) di Pakistan, Zaraa Badr, merasa nyaman hidup mengikuti suaminya di negeri yang sempat berkonflik dengan India itu. Zaraa Badr yang asal Sidareja Cilacap Jawa Tengah sekarang tinggal di Kota Islamabad–ibukota negara tersebut.

Oleh Gatot Susanto

BAGI Zaraa Badr kampung halaman sekarang hanya tinggal kenangan. Sebab semua keluarga sudah hijrah untuk tinggal di Jakarta. Dan Zaraa sendiri pun akhirnya hidup di negeri orang mengikuti suaminya yang bertugas sebagai polisi di Pakistan. Saat ini dia tinggal di Islamabad yang hari-hari ini udaranya sangat dingin.

“Kalau di Cilacap sudah tidak ada rumah dan keluarga. Saya cuma ada rumah di Jakarta aja. Semua keluarga di Jakarta. Suami juga ketemunya di Jakarta. Pas ada undangan Kedubes Pakistan di Jakarta acara Armed Forces Day. Ya, semacam ‘Hari TNI’-nya Pakistan,” kata Zaraa Badr kepada Global News.

Sama dengan bersuamikan orang bule, memiliki suami orang Pakistan juga ada suka dukanya. Ada kesan bersuami lelaki Pakistan sangar, kasar, atau suka KDRT. Zaraa juga sempat ditanya demikian oleh teman media sosialnya soal pendamping hidupnya tersebut.

Tapi dia berusaha meluruskan kesan negatif yang berlebihan tentang negara yang merdeka pada 14 Agustus 1947 itu. Sebab, sama dengan pria Indonesia atau bule, lelaki Pakistan ada yang tidak baik, tapi banyak pula yang baik. Sang suami termasuk lelaki yang baik.

“Alhamdulillah saya sendiri aman, nyaman, di sini rukun satu dengan yang lain saling menolong. Dan yang pasti dukanya adalah gak ada jengkol, gak ada sambel terasi, gak ada ikan asin,” katanya.

Bahkan, kata Zaraa, pria Pakistan juga menjadi “seksi repot” dalam keluarganya. Artinya, pekerjaan yang di Indonesia biasa dikerjakan oleh perempuan, di Pakistan justru sebaliknya. Pekerjaan ibu-ibu itu banyak yang dikerjakan oleh kaum pria. Termasuk pak polisi pun mau turun tangan mengerjakan pekerjaan rumah para ibu.

“Kalau di sini yang seksi repot memang suami. Ya, belanja, bayar listrik, bayar gas, bayar sekolah, dan lain-lain. Kalau istri, dia di rumah aja. Hanya berbenah rumah, beberes, dan urusin anak,” ujarnya.

Lalu bagaimana profile polisi Pakistan? Apa seperti polisi India dalam film-film Bollywood yang sering terlambat menangani kasus? Atau sama dengan polisi Indonesia? Polisi di Pakistan, kata dia, Alhamdulillah bersikap tegas. Dan alhamdulillah jauh dari korupsi sebab di sini hukum sangat keras. Bila ketahuan korupsi tidak hanya dipecat tapi dipenjara minimal 10 tahun dan hartanya segera disita.

“Bisa kita lihat dengan kasus Nawaz Shariff (bekas PM Pakistan yang dipenjara karena kasus rasuah, Red.). Di mana separo hartanya telah disita negara dan tetap diadili walau dalam keadaan sakit,” katanya. Artinya, polisi Pakistan yang selama ini sering digambarkan oleh media Barat secara negatif, menurut Zaraa, itu tidak benar.

Sebagai istri polisi, Zaraa juga tergabung dalam perkumpulan para istri polisi di kotanya. Namun perkumpulan istri polisi ini tidak sama dengan Bhayangkari di Indonesia. Bhayangkari adalah organisasi istri anggota Polri yang lahir atas gagasan Ny HL Soekanto pada tanggal 17 Agustus 1949 di Jogjakarta.

“Perkumpulan istri polisi ada, tapi paling kita ketemuan kalau ada acara-acara besar aja. Misal hari besar Pakistan. Di sini gak seheboh di Indonesia sih. Di sini perkumpulan istri polisi biasanya mengadakan acara amal. Tujuan utamanya adalah zakat dan amal untuk janda dan anak yatim putra atau putri para polisi. Saya tidak tahu di Indonesia, kita di sini gak pakai iuran keanggotaan,” katanya.

Peran Ulama

Selain mengurus anak, Zaraa sendiri bisnis kecil-kecilan. Selain kuliah dan mengikuti suami, WNI di Pakistan banyak juga yang berbisnis. “Biasa di sini dagang kecil-kecilan. Misal bikin makanan Indonesia dan dijual secara online. Kami di sini maksudnya para istri PakMan, mixed marriage Indo-PakMan wives, punya group WA dan FB,” katanya. PakMan merupakan sebutan untuk suami Pakistan bagi WNI di negara tersebut.

Dan sebagai orang yang sudah lama tinggal di negeri yang menerapkan aturan Islam, mereka pun sudah biasa dengan transaksi syariah. “Bank Syariah di sini alhamdulillah lebih diutamakan dan konsep konvensional perlahan dihapus. Misal soal pinjaman, yang tanpa bunga,” katanya.

Kesan negatif juga sering dialamatkan pada penerapan hukum Islam yang ketat di negeri itu. Padahal tidak demikian. Media barat sering berlebihan bila menyoal penerapan hukum Islam di Pakistan.

“Hukum Islam memang tegas di sini, tapi alhamdulillah justru saya senang sebab di sini dengan tegasnya hukum Islam keadilan bisa terlaksana,” katanya.

Dia menegaskan bahwa masyarakat Pakistan juga terkenal ramah. Selain itu negeri ini aman dan nyaman. “Masyarakatnya friendly dan di sini aman. Kalau ada perspektif negatif ya biasa aja, maklum pandangan orang apalagi soal hukum Islam yang ketat, banyak yang mengira keras dan kasar. Sama kayak di Indonesia juga yang menjalankan hukum Islam dibilang radikal,” katanya.

Bahkan, kata Zaraa, pakaian menutup aurat lantas dibilang budaya Arab di Indonesia. Hal yang demikian tidak terjadi di Pakistan. “Bahkan ada kesan ulama didhalimi di indonesia,” katanya merujuk berita ulama dipersikusi bahkan ada yang dianiaya hingga meninggal dunia.

Menurut dia, di Pakistan kalau ada yang menistakan agama langsung dihukum qisos. Tidak pandang agama pelakunya, mau agama apa pun, pasti dikenakan hukuman tersebut. “Dan alhamdulillah di sini ulama dihormati baik yang pro atau bukan pro pemerintah,” katanya.

Dia juga mengirimkan link berita expresnews soal PM Imran yang selalu berkonsultasi dengan ulama. Sebab, kata dia, bisa dikatakan Ulama-lah “Pemimpin” negaranya. “Jadi kalo ada apa apa PM Imran Khan segenap lainnya minta nasihat ulama dulu,” katanya. (*)

 

baca juga :

Dhimam Abror Syukuran Gelar Doktor

gas

Guyub Rukun Tiga Pilar Balongbendo

SEA Games Vietnam, Menpora Sebut Hanya Kirim Atlet Potensi Prestasi