
Seorang diaspora Indonesia di negeri Belanda, Abbot Husin Halim atau biasa disapa Mas Abbot, melihat dengan kritis kondisi negeri asalnya. Salah satunya soal sistem pendidikan di Indonesia.
Oleh Gatot Susanto
MAS ABBOT dan keluarganya sekarang tinggal di Utrecht. Dia memutuskan tinggal di Belanda tahun 2008. Mas Abbot sendiri bertemu dengan istrinya yang orang Belanda di Yogyakarta.
“Saya dan istri memutuskan untuk tinggal di Belanda pada saat anak saya yang ketiga umur 4 tahun. Saat itu dia sudah siap untuk masuk TK, tahun 2008. Saya bertemu istri saya di Yogya,” katanya kepada DutaIndonesia.com, Rabu (9/4/2025).
Istri Mas Abbot merupakan putri dari seorang pria Indo-Belanda. Sekitar tahun 1950-an, mertuanya itu diberi pilihan oleh Pemerintah, apakah mau menjadi warga NKRI atau menjadi warga Belanda.
“Bapak dari istri saya juga orang Indo-Belanda, yang pada tahun 50-an datang ke Belanda, setelah ada pilihan mau ikut NKRI atau kembali ke Belanda. Saya ke Belanda dan tinggal di negeri ini, sebab istri saya orang Belanda. Dan saya lebih suka anak-anak sekolah di Belanda,” katanya.
Mengapa lebih suka menyekolahkan anak di Belanda? Kata dia, sebab sekolah di Belanda gratis dan tidak ada kewajiban memakai seragam sekolah. “Anak-anak di kelas tidak perlu duduk manis, tetapi banyak
pelajaran yang kreatif,” ujarnya.
Alasan lain, kata dia, sang istri yang saat itu berprofesi sebagai guru atau pendidik, ternyata sempat trauma dengan kejadian yang melanda dunia pendidikan di Indonesia. “Kala itu ada trauma dengan yang
terjadi di IPDN. Pelajar baru, yang juga calon-calon pegawai negeri, di IPDN diplonco, hingga ada yang tewas,” ujarnya.
Kasus plonco dan bully akhirnya menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal itu, kata Mas Abbot, tidak terjadi di negeri Belanda.
“Sistem pendidikan di Belanda saya pikir tidak ada plonco-ploncoan untuk junior atau pelajar yang baru masuk,” ujarnya. “Dan saya pikir, kurikulum tidak banyak berubah. Hanya ada penyesuaian atau perbaikan sistem saja. Sekolah di Belanda jamnya juga agak panjang. Dari jam 9 pagi hingga 3 sore.. Belajar di sekolah tidak ada PR,” katanya.
Bagaimana dengan Ujian Nasional (UN)? “Ujian saya pikir dari dulu sudah nasional. Sebab level pendidikannya sama di seluruh negara Belanda. Yang tidak lulus diberikan kesempatan untuk mengulang. Di Indonesia banyak peraturan yang juga diubah-ubah. Tetapi sarana pendidikan tidak diperhatikan. Banyak sekolah yang tidak layak bangunannya,” ujarnya.
Namun, di Belanda tentu ada masalah. Yang paling sering terjadi di Belanda tentang dunia pendidikan, adalah demo para guru yang menuntut kenaikan upah atau gaji. Kok bisa?
“Gaji guru di Belanda, saya pikir juga terjadi di semua negara, itu kecil, dibandingkan dengan profesi lainnya. Terkadang gaji saya di PostNL atau di DHL, lebih tinggi dari gaji guru. Padahal saya buruh biasa,”
ujarnya.
Sekarang Mas Abbot merasa bersyukur sebab anak-anaknya sudah mandiri. Bahkan anak yang paling kecil sudah lulus SMA dan menekuni bidang usaha sendiri menjadi wiraswasta. Dia tidak memaksakan kehendaknya pada anak-anak sebab mereka memiliki dunia sendiri.
“Anak saya ada tiga. Dan saya pikir, anak-anak saya menikmati hidup dan pekerjaannya. Sebab sukses tidak ada ukurannya. Mereka lebih memilih usaha sendiri, daripada kerja di bawah pimpinan atau bos,”
katanya.
Mas Abbot juga mengkritik aturan soal paspor bagi WNI di luar negeri. Aturan baru itu dia nilai tidak mencintai warganya sendiri meski mereka hidup di negeri orang.
“Ya, saya pikir peraturan Imigrasi itu ‘tidak cinta’ dengan orang sendiri. Selalu saja dipersulit. Perpanjang paspor di Belanda cuma bisa 5 tahun, dan di Indonesia bisa 10 tahun. Yang gampang dapat kewarganegaraan dan izin tinggal hanya pemain bola,” katanya.
Mas Abbot mengingatkan bahwa warga Indonesia di luar negeri yang berstatus turis adalah pekerja gelap. Namun mereka sebenarnya korban penipuan calo di Indonesia.
“Seharusnya pemerintah prihatin dan malu. Tidak sanggup memberantas calo di Indonesia tapi malah memberatkan korban yang tertipu,” katanya. (*)