SURABAYA (global-news.co.id) – Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) menggelar acara pengajian Maiyah di kampusnya Jl. Nginden Intan Timur Surabaya, Selasa (23/7/2024) malam. Namun, acara Maiyaan di kampus yang mencetak wartawan andal ini tidak dihadiri langsung oleh Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun) yang menginisiasi lahirnya pengajian yang dulu dikenal sebagai Padhan Mbulan di Menturo Jombang tersebut. Acara Maiyah di Kampus Stikosa-AWS ini dihadiri Sabrang Mowo Damar Panuluh atau biasa dikenal dengan Noe Letto.
Noe Letto yang dikenal sebagai musisi dan penyanyi asal Yogyakarta kelahiran 19 Juni 1979 merupakan putra Mbah Nun dari istri pertamanya, Neneng Suryaningsih. Hadir pula dalam kesempatan itu, Jokhanan Kristiyono (Ketua Stikosa-AWS), Himawan Mashuri (Ketua Yayasan Pendidikan Wartawan Jatim), dan Suko Widodo, serta para mahasiswa dari Stikosa-AWS sendiri dan dari perguruan tinggi lain.
Dalam acara itu, Sabrang bercerita soal Maiyah, yang jamaahnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk soal guyub rukunnya jamaah pengajian tersebut. Tidak ada iri dengki. Nihil syuudzon.
“Ketika ada teman naik pangkat misalnya, pasti ada yang iri. Ini tidak baik. Semuanya bisa diselesaikan dengan komunikasi langsung seperti di Maiyah ini. Di Maiyah tak ada syuudzon,” kata Sabrang yang antara lain meluncurkan album bersama Letto berjudul Truth, Cry, and Lie dan Don’t Make Me Sad ini.
Secara etimologis, Maiyah berasal dari bahasa Arab, yaitu maa yang berarti bersama. Sementara itu arti Maiyah sendiri adalah kebersamaan. Nantinya, kebersamaan yang dibangun harus selalu berpijak pada kebersamaan Segitiga Cinta antara Allah, Rasulullah, dan setiap makhluk.
Seperti dilansir dalam laman resmi caknun.com, Maiyah yang diinisiasi oleh Mbah Nun menjadi sebuah fenomena gerakan sosial budaya baru yang memberikan harapan kebangkitan Indonesia. Maiyah dianggap sebagai oase di tengah berbagai dahaga sosial, kebudayaan, agama, dan krisis keadilan Indonesia. Sebab, semua permasalahan itu diolah dan dicarikan titik terang bersama menjadi energi kreatif yang menyiratkan prospek masa depan Indonesia lebih baik lagi.
Selain itu, Maiyah juga dapat dikatakan sebagai sekolah gratis terbuka atau universitas jalanan untuk berbagai lapisan masyarakat atau mirip dengan pesantren virtual. Maiyah seperti menjadi laboratorium sosial yang melatih logika berpikir dan seni manajemen kehidupan.
Semuanya boleh datang ke Majelis Masyarakat Maiyah, tanpa memandang status, keyakinan, dan sisi politiknya.
Seperti sering dikatakan Mbah Nun, Maiyah merupakan dinamika tafsir terus-menerus. Meskipun Maiyah dipandang sebagai gerakan sosial budaya, agama, bahkan gerakan sufi, tetapi menurut Mbah Nun, Maiyah mengambil posisi penting sebagai majelis ilmu sehingga dapat menyokong segala organisasi, pergerakan, ataupun institusi di masyarakat.
Maiyah juga selalu berupaya di titik seimbang, sebagai penengah, tidak memihak kepada siapa pun, baik kekuasaan, ormas, mazhab agama, dan kelompok atau aliran apa pun. (Erfandi Putra)