Oleh Masdawi Dahlan
SEBELUM memasuki puasa Ramadhan tahun 1444 Hijriyah ini, muncul diskursus perlunya pelarangan bagi para politisi atau tokoh masyarakat menggunakan masjid sebagai arena kepentingan politik. Alasannya kehadiran tokoh tersebut di tempat peribadatan bisa memicu terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Tentu saja tuduhan ini karena bulan puasa Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan terdekat dengan pelaksanaan Pemilu serentak Februari 2024 mendatang. Sangat mungkin pada puasa Ramadhan ini politisi atau kandidat calon pempinan berlomba-lomba menggunakan momentum suci ini untuk kampanye atau mencari simpati umat Islam.
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) H Muhammad Yusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa yang dilarang di masjid adalah apabila ada pihak yang melakukan kegiatan politik praktis di masjid. Misalnya datang ke masjid untuk mengajak jamaah agar memilih dirinya dalam momentum kontestasi pemilu. Tapi jika orang datang ke masjid dengan maksud untuk beribadah, maka hal itu tidak boleh dilarang, karena datang ke masjid untuk melaksanakan salat adalah kewajiban. Dia menegaskan jangan karena kecurigaan lantas orang tertentu dilarang datang ke masjid.
“Orang ke masjid, jangan karena kecurigaan lalu tidak boleh, sekali lagi jangan, siapa pun jangan mudah melarang orang yang ke masjid. Yang dilarang bukan ke masjidnya, yang dilarang jika kampanye. Bahwa orang ke masjid dapat perhatian itu biasa saja, kalau ada gubernur tokoh masyarakat lalu jadi perhatian warga itu biasa. Jangan curiga pada orang yang datang ke masjid, “ kata JK saat menjadi nara sumber dalam sebuah acara talkshaw di TV One beberapa hari lalu.
JK menegaskan masjid memang tempat berkumpulnya banyak orang Islam untuk beribadah. Karena itu mereka tidak perlu dikontrol dan dia dengan tegas menyatakan tidak setuju jika orang datang ke masjid dipersoalkan. Yang tidak boleh, kata dia, jika datang ke masjid melakukan kampanye. Kalau bermaksud untuk ibadah siapa saja orangnya tidak boleh dilarang.
JK menegaskan hal itu terkait dengan munculnya kecurigaan pihak atau kalangan tertentu yang mempersoalkan, politisi, tokoh masyarakat atau calon pemimpin datang ke masjid, karena dicurigai melakukan tindakan terselubung, yakni adanya maksud dan tujuan politik atas kehadirannya di tempat ibadah tersebut.
Di antara pihak yang mempersoalkannya adalah Kapitra Ampera seorang politisi PDIP. Dalam acara talkshow di TV One beberapa hari lalu dia mengatakan bahwa ada tokoh tertentu yang datang ke masjid menggunakannya untuk kepentingan kampanye. Dia mengatakan hal itu berbahaya karena masjid bisa menjadi tempat benih perpecahan antar umat Islam. Karena itu dia meminta agar jangan sampai politisi menjadikan masjid untuk tempat panggung politik.
Kecurigaan Kapitra ini rupanya sangat terkait dengan manuver silaturrahmi Anies Baswedan calon presiden yang diusung Partai Demokrat, Nasdem dan PKS, yang selama ini rajin silaturrahmi dengan berbagai lapisan masyarakat, dan secara kebetulan di sela sela acara silaturrahmi itu dia menyempatkan untuk salat berjamaah di berbagai masjid sekitaran tempat atau lokasi acara silaturrahmi.
Salah satu contoh adalah kehadiran Anies saat salat Jumat di masjid Al Akbar Surabaya beberapa hari lalu. Kehadirannya menjadi perhatian dan mendapat sambutan luar biasa dari jamaah dan masyarakat. Setelah selesai salat, ribuan jamaah dan mungkin ada masyarakat sekitar masjid yang mengetahui Anies salat Jumat di masjid tersebut, datang bersalaman dengan Anies Bawedan. Di masjid itu masyarakat secara spontanitas menyapa menyalami dan bahkan minta foto bersama selfi dengan Anies dan bahkan ada yang meneriakkan kata “Anies presiden”.
Jika kehadiran Anies ke masjid Al Akbar saat itu dipersoalkan sungguh sangat tidak tepat, karena dia hadir untuk melaksanakan ibadah. Karena itu tidak dibenarkan kehadirannya dicurigai apalagi harus dihalangi. Terkait dengan hal itu JK mengatakan tidak boleh ada pihak yang melarang orang melaksanakan ibadah ke masjid.
Di media social juga viral bahwa pada momentum bulan puasa Ramadhan ini, Anies ternyata juga punya jadwal untuk salat di masjid di berbagai wilayah. Semua tampaknya berjalan aman dan lancar. Karena di dalamnya tidak ada kegiatan politik praktis. Sekali pun setelah pelaksanaan juga dilanjutkan dengan silaturrahmi dengan berbagai teman dekat kerabat dan tokoh masyarakat.
Secara politis bisa jadi sangat kental aroma politiknya kehadiran Anies ke sebuah masjid, karena dimana mana ada kedekatan dan dukungan warga bagi Anies sebagai calon presiden yang selama ini diketahui mendapat simpati luar biasa dari masyarakat. Belum ada figur calon presiden yang sekuat Anies mendapat sambutan nyata secara langsung dalam tatap muka dari masyarakat ketika dia berkunjung ke berbagai tempat.
Bagi pihak yang berseberangan kepentingan politiknya dengan Anies, pasti akan menilai kehadiran Anies ke masjid akan merugikan kelompoknya. Karena itu akan berupaya untuk melarang agar masjid tidak jadi ajang untuk mencari simpati politik. Kehadiran untuk beribadah bagi tokoh politik ketika berada di masjid, selama tidak mengajak dan berkampanye politik, tidak boleh disalahkan karena itu bagian dari HAM yang harus dilindungi.
Kehadiran Anies ke masjid untuk beribadah, sama juga dengan kegiatan politisi lain yang memberikan sedekah di masjid. Itu juga bagian dari ibadah yang tidak bisa dilarang selama tidak ada simbol, tindakan dan ucapan yang bernuansa politik praktis. Di sinilah sebenarnya semua pihak harus memahami secara dewasa tentang hubungan antara regulasi politik dengan kultur atau seni politik.
Terlebih dalam bulan suci Ramadhan, yang di dalamnya ada momentum kegiatan tambahan berupa ibadah sunnah salat tarawih di masjid dan memperbanyak amal sosial. Sebagai muslim para politisi dan figur calon pemimpin pasti akan hadir ke masjid untuk melaksanakan ibadah salat tarawih bersama warga, dan ada juga yang tertarik untuk memberi sedekah bagi yang berhak menerimanya.
Ikhtiar merebut simpati public dalam kontestasi politik menjelang pemilu mendatang memang sangat berbeda jauh dengan pemilu pemilu sebelumya. Partai politik atau figur politik tertentu harus matang mencari terobosan baru agar bisa melakukan komunikasi politik dengan warga di berbagai tempat. Dan kesempatan terbaik misalnya bersosialisasi di lembaga keagamaan. Selama dilakukan dengan tidak mengandung kampanye politik praktis formal maka kegiatan tersebut tidak boleh dicurigai apalagi dilarang.
Diskursus dugaan politisasi lembaga keagamaan oleh politisi tertentu belakangan ini, penyebabnya sangat jelas yakni berawal dari kepiawaiannya Partai Demokarat, Partai Nasdem dan PKS yang telah mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai capres lebih awal. Anies yang merupakan figur yang sukses meminpin Jakarta ternyata juga disenangi oleh masyarakat Indonesia, di mana dia sengaja disosialisasikan melalui berbagai momentum.
Sementara partai lain hingga kini masih belum memiliki calon yang pasti sehingga belum bisa berbuat banyak untuk melakukan sosialisasi figur di berbagai mementum kegiatan yang sebenarnya secara politik juga bisa dan halal untuk dilakukan, tanpa harus menyalahkan atau melarang pihak lain yang telah lebih dulu menemukan figur calon pimpinan yang telah disosialisasikan kepada masyarakat. (*)
* Penulis adalah wartawan Global News.