Global-News.co.id
Opini Utama

Umat Islam dan Politik Identitas, Siapa Takut?

Masdawi Dahlan
Oleh Masdawi Dahlan
DI antara narasi yang masih terus mewarnai dinamika konstelasi politik tanah air adalah istilah politik identitas. Politik identitas adalah sebuah gerakan politik dari suatu kelompok tertentu seperti etnis, suku, budaya atau agama yang  bertujuan untuk melakukan perlawanan, memperjuangkan aspirasi atau sebagai alat untuk menujukkan jati diri.
Dalam konstelasi politik di Indonesia belakangan ini, penamaan politik identitas ditujukan kepada kelompok yang melakukan gerakan politik dengan menggunakan identitas atau simbol agama (Islam) sebagai acuan gerakan politiknya. Kelompok ini berupa komunitas masyarakat muslim atau dalam bentuknya yang lebih luas lagi berupa partai politik yang selalu meneriakkan tuntutan perubahan kebijakan politik negara yang menyimpang dari koridor demokrasi dan ajaran agama.
Politik identitas ini dipersoalkan karena dinilai sebagai gerakan politik yang dinilai menyimpang dari aspek demokrasi,  lantaran gerakannya mengunakan sentimen bahkan simbol agama dalam manuver politiknya. Bagi penolak kelompok politik identitas ini, manuver politik identitas harus dijauhi karena mengumbar sentimen keagamaan yang rawan menjadi pemicu perpecahan.
Gerakan politik identitas ini sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan, politik identitas muncul dalam bentuk partai politik yang merupakan gabungan organisasi masyarakat Islam yang bergabung dalam satu wadah partai politik bernama Masyumi. Lalu kemudian pada era orde baru muncul Partai Persatuan Pembangunan sebagai fusi dari berbagai ormas dan partai yang berasaskan Islam.
Kehadiran politik identitas melalui partai politik  sebenarnya juga mendapat kritikan, bukan hanya dari kalangan luar Islam, namun juga dari kalangan cendekiawan muslim sendiri. Diantara cendekiawan yang keras menolaknya adalah almarhum Prof Dr Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim Indonesia asal Jombang Jatim.
Guru Besar Peradaban Islam UIN Jakarta itu diawal pemerintahan Orde Baru pernah  mengeluarkan gagasan “Islam yes partai Islam no”. Inti dari gerakan ini adalah mengajukan agar umat Islam tidak hanya bernaung dalam satau partai politik saja, namun harus tersebar dalam banyak partai politik. Tujuannya agar gerakan dakwah Islam dan politik umat Islam bisa mewarnai dinamika politik nasional secara lebih leluasa.
Gagasan Nurcholish Madjid ini ternyata berhasil. Hingga kini semua partai politik yang ada di Indonesia sudah dimasuki oleh umat Islam. Lebih dari itu gagasan Islam yes partai Islam no juga telah membuahkan efek domino dengan terlibatnya kalangan umat Islam diberbagai bidang profesi kehidupan di Indonesia. Dibidang ekonomi, dunia industri, seni dan budaya, TNI-Polri dan diberbagai aktivitas pembangunan lainnya umat Islam telah banyak berperan positif.
Hadirnya politik identitas, sebenarnya merupakan buah atau konsekwensi dari demokrasi yang berlaku di Indonesia terutama sejak reformasi. Pasca reformasi masyarakat Indonesia dari berbagai elemen suku ras dan agama bisa menunjukkan identitas diri dan kecenderungan politiknya. Semua itu diperbolehkan  sebagai bagian dari demokrasi, selama dilakukan dengan tetap melalui aturan main dan perundang-undangan yang berlaku.
Kalau misalnya umat Islam, hadir untuk berserikat dan berkumpul sesamanya, lalu kemudian berpolitik menyuarakan tuntutan hingga membentuk partai politik maka hal tersebut merupakan hal wajar dan merupakan sebagian dari tuntutan demokrasi. Kalau ada pihak pihak tertentu yang mempersoalkannya berarti mereka tidak faham tentang demokrasi atau segaja memang untuk menjegal demokrasi.
Para pihak yang mengkritik hadirnya politik identitas ini, sebenarnya tengah gamang dengan kekuatan umat Islam yang besar sebagai mayoritas. Fakta politik yang membuat mereka terus dihantui kekhawatiran akan politik identitas Islam adalah kekalahan Ahok atas  Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta. Mereka menuduh dan meyakini kekalahan itu karena Anies Baswedan menjadikan politik identitas untuk memenangkan pilkada  DKI Jakarta saat itu.
Para pihak yang menjadi musuh politik umat Islam itu akan terus berupaya menjadikan isu politik identitas untuk menjegal hadirnya tokoh Islam yang baik memimpin Indonesia dengan berbagai manuvernya. Sebagai contoh, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kini mendapat dukungan luar biasa dari banyak    elemen masyarakat untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia, kini juga tengah dituduh sebagai figur yang berasal dan akan membawa politik identitas.
Politik itu dinamis, berbagai manuver bisa dilakukan untuk menjadi pemenang dalam konstestasi politik. Kelompok kecil bisa menang pada kelompok besar jika cerdas memiliki metode rekrutmen politik yang bagus. Apalagi dalam era politik saat ini, politik Indonesia sudah bersifat transaksional, semuanya diukur dengan uang. Karena itu kekhawatiran pada gerakan politik identitas rasanya tidak realistis.
Apalagi, terlepas dari kontroversi dugaan adanya kecurangan, faktanya politik identitas kalah selama dua kali Pilpres. Yang menjadi pemenang dalam dua kali Pilpres terakhir di Indonesia justru koalisai kelompok yang tidak mengusung politik identitas, namun justru yang membuka lebar hadirnya kelompok dan elemen lain bergabung menjadi satu kekuatan politik besar dengan dana besar sehingga dengan segala kekuatan mereka bisa menghasilkan hasil yang besar pula.
Sekalipun demikian, hingga kini, kampanye untuk mendiskreditkan politik identitas akan tetap terus dijalankan oleh kekuatan politik tertentu. Karena upaya  itu merupakan sebagian dari metode ampuh untuk memecah dan melemahkan kekuatan umat Islam agar tidak bersatu. Jika umat Islam bisa bersatu dalam politik akan menjadi kekuatan besar yang tidak bisa terkalahkan di Indonesia.
Berbagai upaya dilakukaan untuk mempersoalkan hadirnya politik identitas ini, termasuk didalamnya menggunakan orang orang Islam sendiri yang menjadi alat pemukul dan memecah belah kekuatan politik identitas Islam. Harapannya agar terjadi pembelahan kekuatan politik umat Islam. Dengan kekuatan uang dan iming iming kekuasaan, upaya ini membuahkan keberhasilan.
Banyak cendekiawan muslim, tokoh agama dan politisi muslim yang menjadi tokoh terdepan dalam gerakan anti politik identitas ini.
Walhasil sekalipun umat Islam di Indonesia merupakan  mayoritas, yang secara teoritis seharusnya memenangkan kontestasi politik, namun ternyata umat Islam selalu kalah. Isu politik identitas dan kampanye masif untuk membencinya, telah menjadi bagian yang ikut mengantarkan musuh politik umat Islam membuahkan kemenangan. Mereka bisa merusak dan mencampakkan umat Islam di Indonesia hingga titik nadzir seperti sekarang ini. (*)
* Masdawi Dahlan adalah wartawan  Global News.

baca juga :

Pemprov Larang PNS Gunakan Mobdin untuk Mudik Lebaran

Pemakaian Dexlite Melonjak Selama Libur Natal

Redaksi Global News

Liga 1: Persik Perpanjang Kontrak Khanafi Tiga Musim

Redaksi Global News