Oleh Masdawi Dahlan
PEMILU tahun 2024 masih tinggal dua tahun lagi, namun gemuruh menuju pemilu serentak yang baru pertama kali akan dilakukan itu sudah sangat terasa, terutama soal pemilihan presiden dan wakil presiden. Partai politik, kelompok masyarakat hingga rakyat secara umum sudah mulai terlibat dalam dinamika percaturan dan persiapan menuju pemilu tersebut.
Secara alami fenomena ini merupakan dinamika positif yang wajar sebagai bagian dari kepedulian masyarakat untuk memikirkan dan mempersiapkan menuju keberhasilan dalam menghadapi pemilu 2024 mendatang. Indonesia memang harus terus melakukan evaluasi atas perjalanan pesta demokrasi yang dijalaninya selama ini.
Harus diakui bahwa hingga kini pemilu sebagai metode rekrutmen kepemimpinan nasional masih belum membuahkan hasil yang efektif membuat bangsa ini semakin baik, justru sebaliknya yang terjadi bangsa ini makin terpuruk dan nyaris menunjukkan tanda tanda kehancuran karena munculnya benih perpecahan. Para pemimpin hasil pemilu, baik yang ada di legislatif, eksekutif, yang ada dilevel nasional hingga daerah banyak yang belum bisa memberikan perbaikan yang signifikan.
Bersamaan dengan munculnya euforia politik belakangan ini, seharusnya semua elemen bangsa melakukan introspeksi dan evaluasi total terhadap system maupun kultur atau budaya politik yang terjadi selama ini. Karena system dan kultur politik itulah yang selama ini membuat pelaksanaan pemilu dan berbagai kegiatan demokrasi lainnya tidak membuahkan perbaikan yang berarti terhadap kehidupan berbangsa.
Diantara kultur politik yang sangat merusak demokrasi tiap pemilu adalah munculnya politik transaksional, politik uang atau jual beli suara. Perilaku ini bukan hanya dilakukan oleh partai politik maupun para politisi, namun juga melibatkan elemen masyarakat pemilih secara umum. Perilaku politik transaksional ini telah merusak moralitas bangsa Indonesia menjadi ‘’bangsa penjudi’’.
Dr Nurul Ghufron salah seorang pimlinan KPK RI saat menjadi dosen tamu di Universitas Madura beberapa waktu lalu mengatakan bahwa praktik politik transaksional kini telah menjadi budaya yang dilakukan oleh semua stakeholder politik. Akibatnya ketidakadilan, ketimpangan, korupsi dan berbagai persoalan lain sulit diselesaikan, karena melibatkan semua elemen atau stakeholder terkait.
Dia menyarankan dalam menyelesaian masalah bangsa ini tidak berjalan parsial, namun harus komprehensif melibatkan semua elemen terkait. Bangsa ini, kata dia, dirusak bersama oleh pimpinan maupun rakyat secara berjamaah. Karena itu dia menyarankan tidak hanya saling menyalahkan salah satu pihak, namun harus bersama sama mengubah dan memperbaiki diri.
Dia memberikan contoh tentang hasil survei yang dilakukan oleh KPK pada saat pelaksanaan pemilu di berbagai daerah. Ketika para petugas KPK menemui warga masyarakat diperoleh pengakuan yang mengejutkan bahwa masyarakat tidak akan hadir menuju bilik suara pemilihan jika para calon pemimpin daerah yang bersaing belum memberikan uang kepada mereka.
Oligarki
Yang sangat berbahaya adalah politik transaksional yang terjadi di tataran partai politik dengan partai politik lain dan dengan penguasa, yaitu berupa konspirasi untuk membuat perundang undangan yang membatasi ruang gerak perilaku demokrasi, yang hanya menguntungkan partai politik atau kelompok pengusaha dan rezim saja.
Transaksi inilah yang kemudian melahirkan oligarki. Banyak perundang undangan khususnya dalam bidang politik dan ekonomi didesain sesuai dengan kepentingan oligarki tersebut.
Pengamat politik Rocky Gerung mengatkan demokrasi yang harus diperjuangkan bangsa Indonesia adalah demokrasi yang substansif dan tuntas.
Sistem maupun kultur politik harus diimplementasikan dengan teguh. Jika Indonesia mau maju dia menyarankan, Indonesia bukan hanya butuh figur yang bagus untuk memimpin negeri ini, namun juga figur tersebut harus terpilih melalui prosedur yang demokratis dan baik dari aspek system maupun kultur politiknya.
Politik transaksional saat ini besar kemungkinan terjadi merata diseluruh daerah di Indonesia. Sehingga asumsinya pemilu atau proses demokrasi lain yang berjalan di Indonesia selama ini telah menghasilkan pemimpin atau wakil rakyat yang diproses dari jalan yang tidak benar, secara politik mapun dari sudut pandang moralitas keagamaan.
Agama
Dalam sudut pandang keagamaan, praktek politik transaksional ini adalah perbuatan haram. Perilaku ini tidak akan membuahkan keberkahan dan kebaikan. Justru perilaku politik ini akan melahirkan kerusakan dan kehancuran. Karena politik transaksional adalah praktek politik perjudian, yang menolak perspektif etika dan moralitas. Politik macam ini akan melupakan aspek moral dan tanggungjawab pemimpin kepada rakyat yang memilihnya.
Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya mengatakan jika para pemimpin di sebuah negeri terpilih melalui proses yang bertentangan dengan ajaran Allah dan rasul-Nya, maka Allah SWT tidak akan memberikan hidayah pada pemimpin tersebut. Bahkan sebaliknya sang pemimpin itu akan dibiarkan menjalanan tugasnya sesuai kehendak hawa nafsunya.
Bagi masyarakat pemilih, jika mereka memilih pemimpin bukan karena Allah dan rasul-Nya maka mereka telah melakukan pengkhianatan kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada seluruh manusia.
Banyak peminpin mulai dari Menteri, Gubernur hingga kepala daerah yang ditangkap KPK, disebabkan oleh tindakan korupsi yang mempermainkan hak rakyat untuk kepentingan memperkaya diri, maupun berbagai macam persoalan ekonomi lainnya, mulai dari daya beli masyarakat yang lemah dan jumlah warga miskin yang terus meningkat, naiknya harga barang kebutuhan pokok, sulitnya kesempatan kerja dan banyaknya pengangguran, akibat banyaknya tindakan korup yang dilakukan oleh oknum pemimpin.
Yang sangat disayangkan ketika kondisi bangsa dalam keadaan seperti ini, ternyata para tokoh masyarakat, ulama maupun tokoh lintas agama sebagai panjaga gawang agama dan moralitas masyarakat, tidak kompak untuk berusaha mengatasinya. Mayoritas dari mereka tampaknya diam seribu bahasa. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sengaja menjadi bagian atau berkonspirasi untuk merengkuh harta dan kekuasaan.
Sekalipun ada sebagian dari mereka yang mencoba untuk bersuara, namun nyaris tak terdengar dan selalu menghadapi hambatan dengan dituduh melakukan berbagai macam tindakan pelanggaran hukum, hingga dikriminalisasi. Banyak para tokoh agama yang tidak sadar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa salah satu penyebab rusaknya umat terdahulu adalah jika para alim dan orang baik diam seribu bahasa ketika terjadi kemungkaran. (*)
*Penulis adalah wartawan global-news.co.id