Ketua Pengurus Cabang Istimewa Muslimat Nahdlatul Ulama (PCI Muslimat NU) Hongkong, Hj Fatimah Angelina, bisa jadi satu-satunya perempuan Indonesia yang menjadi modin di negara lain. Fatimah yang asal Surabaya Jawa Timur saat ini hampir setiap hari mendapat tugas memandikan jenazah bersama empat rekannya yang warga asli Hongkong. Padahal aslinya Fatimah seorang petakut.
Laporan Gatot Susanto
AWALNYA, tugas ini diberikan kepadanya secara tidak sengaja. Saat itu bosnya meninggal dunia dan tidak ada yang bisa memandikan jenazahnya, sehingga Fatimah pun didapuk melakukan tugas tersebut. Dengan pengetahuan pemulasaran jenazah seadanya dia pun melakukan tugas mulia ini.
Selanjutnya Fatimah pun dikenal sebagai wanita pemulasaran jenazah. Dia kemudian diminta bergabung dengan Islamic Union dan Women Muslim Association Of Hongkong. Setiap ada WNI meninggal dunia, KJRI Hongkong selalu menghubungi Islamic Union. Lembaga ini lalu menyerahkan penanganan jenazah kepada tim dari Women Muslim Association Of Hongkong di mana Fatimah menjadi petugas utama pemulasaran jenazah.
Begitu seterusnya sejak tahun 2006, dia selalu mendapat tugas memandikan jenazah setiap ada orang perempuan Indonesia meninggal dunia di Hongkong. Yang membuat kagum, untuk tugas ini dia tanpa mendapatkan gaji.
“Sebenarnya, saat itu saya sih mengharap juga ada gaji dari KJRI, tapi karena memang tidak ada gaji, ya alhamdulillah yang menggaji langsung dari Allah SWT,” katanya sambil tertawa, kepada Global News.
Sekarang Fatimah sudah sangat profesional bekerja sebagai pemulasaran jenazah. Dia pun teringat saat Gubernur Jatim yang juga Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa meminta agar ibu-ibu Muslimat belajar melakukan pemulasaran jenazah. Khususnya untuk membantu menangani jenazah Covid-19.
Saat itu dia dalam hati mengatakan, bahwa sebagai orang Muslimat dirinya sudah jauh hari melakukan tugas itu. “Dalam hati saya berkata, ini saya sudah bertahun-tahun melakukannya Bu…!” kata Fatimah, seperti berbicara dengan ketua umumnya, Khofifah.
Tugas memandikan jenazah sangat mulia. Tugas ini dia lakukan tanpa melihat kondisi jenazah tersebut. Apalagi di musim pandemi Covid-19, tugas ini harus dilakukan meski, misalnya, si jenazah meninggal dunia karena terpapar Covid-19.
Begitu pula bila jenazah kondisinya tidak utuh, seperti jenazah korban kecelakaan, atau seseorang yang melakukan tindakan fatal mengakhiri hidupnya dengan melompat dari gedung tinggi sehingga jenazahnya pun tidak utuh. Namun biasanya jenazah itu sudah dibetulkan lagi oleh dokter atau tenaga medis lain di rumah sakit yang menanganinya sehingga saat dimandikan sudah menyatu. Namun tetap saja belum sempurna seperti saat masih hidup.
Karena itu, pernah suatu ketika dia menolak tugas tersebut sebab kondisi jenazahnya belum sempurna. Namun, rekan-rekannya yang sudah lebih senior berusaha meyakinkan, bahwa, bila tidak mereka yang menanganinya, lalu siapa lagi. Sebab, sudah menjadi tugasnya memandikan jenazah, apa pun kondisinya.
“Mereka menasihati saya. Para senior bilang, memang tugas kita memandikan jenazah, bagaimana pun kondisinya, sebab bila tidak kita, siapa lagi. Kasihan jenazah itu. Akhirnya saya pun mau menanganinya,” ujar Fatimah.
Saat ini Fatimah bekerja bersama 4 rekannya dari Islamic Union. Mereka adalah Hj Jamilah (84 tahun) yang merupakan Ketua Women Muslim Association Of Hongkong, Hj Latifah, Hj Asiyah, dan Hj Mariam. “Semua usianya sudah kepala 7. Mereka semua warga lokal asli muslim dari lahir. Dan saya usianya paling muda,” katanya.
Fatimah mengatalan, jenazah dengan kondisi tidak utuh banyak menimpa WNI. Bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) di Hongkong termasuk enak sebab gajinya lumayan besar. Namun, banyak pula PMI menghadapi masalah justru di tanah air, seperti suaminya selingkuh, menghabiskan uang hasil jerih payahnya bekerja di negeri orang, dan masih banyak lagi persoalan lain. Mereka yang tidak kuat iman, akhirnya memilih jalan pintas mengakhiri hidupnya dengan sangat tragis.
“Mereka terbang dari gedung tinggi dan akhirnya meninggal. Kami juga banyak menangani masalah-masalah PMI semacam itu,” katanya.
Seperti ajaran Islam, jenazah harus segera dimakamkan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Namun, dalam beberapa kasus, ada jenazah yang lama menunggu proses hukum atau proses administrasi, sehingga dimasukkan dulu ke dalam lemari es selama beberapa hari sampai ada kejelasan status jenazah tersebut. “Kasihan, kan. Secara umum butuh waktu seminggu,” katanya.
Dia juga teringat saat menangani jenazah WNI untuk dimakamkan di tanah air. Jenazah WNI tersebut sudah mendapat keterangan resmi negatif Covid-19 di Hongkong, tapi yang jadi masalah saat tiba di Indonesia ternyata harus dimakamkan dengan protokol Covid-19. “Jadi, kasihan keluarganya di Indonesia,” katanya.
Saat ini reputasi Fatimah sebagai petugas pemulasaran jenazah sudah terkenal. Tidak hanya di lingkungan diaspora Indonesia di Hongkong saja, tapi juga di kalangan muslim warga negara lain. Fatimah pun akhirnya menangani jenazah non-WNI dengan syarat harus perempuan dan muslimah.
Namun, Fatimah menolak tawaran memandikan jenazah non-muslim meski mendapat gaji lumayan besar. Pernah suatu ketika dia mendapat tawaran sebagai pengurus jenazah warga Hongkong. Dia menolak tawaran itu setelah mencermati para petugas pemulasaran jenazah warga setempat, terutama wajah mereka yang putih pucat, seperti mayat. Hal itu berbeda dengan petugas pemulasaran jenazah dari kalangan muslim yang wajahnya teduh menyejukkan.
Selain itu, tugas menangani jenazah non-muslim agak ribet sebab setelah memandikan jenazah juga harus meriasnya. “Ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, sehingga saya tidak bisa menerima tugas itu, meski gajinya besar,” katanya.
Namun demikian, keluarganya di Surabaya tidak ada yang percaya bila dirinya menjadi modin yang bisa memandikan jenazah. Sebab, ketika di Surabaya, Fatimah dikenal sebagai seorang penakut. Karena itu, dia pun ingin membuktikan kepada saudaranya bila sekarang dia tidak lagi penakut.
Saat ibunya meninggal dunia, Fatimah pun memandikan sendiri jenazah sang ibunda. Dia menangis mengenang momen kesedihan itu. Namun dia bersyukur sebab di akhir hidupnya, sang ibu sudah menjadi muslimah. Fatimah menangis terharu bila mengenang ibunya.
“Saya membimbing ibu masuk Islam. Saya memandikan jenazah ibu saat Beliau meninggal. Sejak itu banyak yang tahu bila saya bisa memandikan jenazah dan banyak yang meminta saya memulasaran jenazah saat di Surabaya tapi saya tidak mau. Cukup ibu saya saja. Dan Fatimah akhirnya dikenal bukan lagi seorang penakut,” katanya.
Layak Dapat Penghargaan
Selama bertahun-tahun Fatimah mengabdi menjadi pemulasaran jenazah, tapi tidak pernah mendapat imbalan apa pun dari KJRI. Padahal, paling banyak yang dia tangani adalah jenazah WNI. Dan selalu saja bila ada WNI meninggal dunia, Fatimah lebih banyak berperan ketimbang empat seniornya yang semua sudah sepuh.
“Saya pernah minta bantuan masker, atau kain kafan, atau alat-alat lain untuk mengurus jenazah WNI, tapi sampai hari ini tidak diberi. Padahal, kadang saya harus mendatangkan dari Indonesia untuk bahan menangani jenazah bagi WNI tersebut. Para senior saya juga curhat, mengapa kita sering membantu menangani jenazah orang Indonesia, tapi kepingin makan masakan Indonesia saja tidak pernah merasakannya. Saya jadi tidak enak kan? Saya harap KJRI mengapresiasi kerja kami yang banyak menangani jenazah WNI ini,” katanya.
Dulu, kata dia, timnya pernah mendapat apresiasi dari Konjen Hongkong sekitar tahun 2012. Tim ini diundang berkunjung ke Indonesia. “Tapi sekarang tidak pernah. Padahal, untuk kegiatan lain, sering diberi penghargaan. Mestinya, misalnya, dalam rangka HUT RI, KJRI memberi penghargaan untuk pengabdian tim ini. Ya semacam memberi apresiasi-lah,” katanya.
Bantu Membangun Masjid
Fatimah sendiri seorang mualaf. Sejak kecil dia dididik dalam lingkungan keluarga Katolik di Kota Surabaya. Sekolah di SD Giki, SMP Vincentius, SMAK St Louis, dan Unika Widya Mandala. Saat dewasa dia pun masuk Islam. Dia belajar agama dari sejumlah ulama, termasuk dari Prof Dr KH Ali Azis MAg, guru besar dan dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. “Nama saya, Fatimah, ini pemberian Beliau,” ujarnya.
Setelah kuliah di Unika Widya Mandala Surabaya, Fatimah kemudian merantau ke Hongkong. Tidak sebagai PMI dengan visa tenaga kerja (domestic helper), tapi bekerja di KJRI selama sekitar 20 tahun. Kemudian dia menikah dengan orang Hongkong.
Setelah itu, Fatimah banyak mengabdikan diri dalam kegiatan sosial keagamaan. Salah satunya dengan memimpin PCI Muslimat NU Hongkong dan menjadi anggota Women Muslim Association Of Hongkong. “Pekerjaan pertama dan terakhir saya, ya di KJRI itu,” ujarnya.
Saat ini, sebagai warga Nadliyyin, bersama pengurus PCI Nahdlatul Ulama (NU) Hongkong-Macau, dia berusaha mewujudkan impian memiliki masjid untuk muslim Indonesia sendiri. Keinginannya ini pernah disampaikan kepada Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa saat mantan mensos yang sekarang menjabat Gubernur Jatim itu berkunjung ke Hongkong.
“Beliau sangat mendukung. Bahkan, disampaikan ke Bapak Presiden Jokowi saat Beliau melakukan kunjungan ke Hongkong. Bahkan, Pak Jokowi langsung menelepon Gubernur Hongkong meminta dukungan soal pembangunan masjid Indonesia ini,” katanya.
Fatimah mengaku sangat mendukung program PCI NU Hongkong-Macau yang ingin membangun masjid untuk nahdliyyin, Islamic Community Center, shelter & advokasi PMI, imam dan ustad permanen, overseas mutual networking yang merupakan Himpunan Pengusaha NU, layanan zakat infaq sodaqoh, resto nusantara, saudagar koperasi Mabadiku Bintang Sembilan dan lainnya.
Terkait masjid, Gubernur Hongkong pun menyambut positif. Namun dalam pelaksanaannya harus disertai rekomendasi resmi dari Pemerintah RI. Hal ini yang membutuhkan waktu agak lama mengingat rekomendasinya harus dimintakan ke Istana Presiden. “Semoga saja bisa lancar,” katanya.
Fatimah memang dikenal sebagai pendukung setia Jokowi – KH Ma’ruf Amin saat pemilihan presiden. Dia pun mendukung program Pemerintah Jokowi-KH Ma’ruf Amin melalui kegiatan Muslimat NU Hongkong.
“Termasuk membantu para PMI, khususnya di masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Misalnya Rabu 4 Agustus kemarin, kami bersama KJRI mencari solusi atas seorang PMI yang terpaksa tidak bisa bekerja karena penyakit matanya, sehingga dia meminta dipulangkan ke Indonesia. Dia PMI asal Banyuwangi Jawa Timur,” katanya. (*)