SURABAYA (global-news.co.id) – Target bauran energi untuk Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dipatok 22,5% pada tahun 2025 hampir dipastikan sulit dicapai. Regulasi yang sering berubah-ubah membuat investor ragu memenamkan investasi di sektor ini. Belum lagi dari sisi proses perizinan yang tetap saja jadi penghambat utama.
Hal itu ditegaskan Chairman Legal, Policy Advokasi and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar dan Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Riza Husni, di sela Seminar Indorenergy Expo & Forum 2018 di Grand City, Kamis (28/6/2018).
Sampai saat ini realisasi pengembangan EBT di Indonesia baru di kisaran 7% sampai 8%. Salah satu langkah yang dilakukan Kemneterian ESDM memenuhi target dengan mempercepat penandatanganan kerja sama proyek pembangunan EBT melalui Power Purchase Agreement (PPA).
Padahal, kata Paul, untuk merealisasi proyek EBT seperti pembakit listrik panas bumi membutuhkan waktu hingga 10 tahun dari mulai proses perizinan hingga produksi.
“Dan sering langkah ini terhadang dalam soal perizinan. Sementara waktu kita tak sampai 10 tahun untuk mecapai 23 persen,” katanya.
Mulai dari proses perizinan yang rumit dan memakan waktu yang lama, permasalahan lahan dan tata ruang, hingga kebijakan harga. “Dari dulu yang paling banyak dikeluhkan investor itu kan soal harga. Sampai sekarang itu belum terselesaikan,” ungkapnya.
Tercapainya harga listrik yang murah dari pemanfaatan energi terbarukan sendiri harus lewat pemanfaatan teknologi yang lebih baru. Kemudian proses perizinan harus singkat, sehingga cost of fund makin murah.
Hal senada juga dikatakan Riza. Menurut dia, regulasi yang sering berubah, bahkan ada yang bertentangan dengan ketentuan di atasnya membuat pengembang ragu menggarap sektor ini.Belum lagi hambatan pendanaan yang sampai saat ini masih dialami pengembang EBT.
“Sampai saat ini tidak ada bank yang mau membiayai, karena EBT dianggap tidak menarik,” katanya.
Kalaupun OJK dan Kementerian ESDM mau untuk memaksa pihak bank, kata Riza, ini merupakan tindakan yang tidak baik dan menjadi beban pemerintah.
“Ada empat yang bisa mendapat pendanaan karena didukung grup usaha besar. Sisanya tak mendapat pendanaan,” tandasnya.agk
OJK akan ikut membantu. Hanya saja, sesuai dengan PPA yang sudah dilakukan bahwa proyek tersebut tetap tidak bankable terkecuali ada paksaan atau government guarantee.
“Solusinya Menteri ESDM harusnya punya keinginan meninggalkan legacy yang baik untuk EBT. Jangan arogansi never serve anyone,” ungkapnya. (agk)