SURABAYA (global-news.co.id)-Penanganan status gizi –sebagai upaya percepatan eliminasi stunting– di 1.000 desa dari 100 kabupaten/kota ditargetkan selesai pada 2018 ini. Selanjutnya pada 2019 jumlah kabupaten/kotanya ditambah mejadi 150 yang berarti jumlah desa yang terpantau status gizinya jadi semakin banyak.
“Kami menargetkan pada 2030 angka stunting di Indonesia bisa di bawah 20% yang menjadi cut point dari sebuah persoalan kesehatan masyarakat atau individu,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, dr Anung Sugihantono MKes, usai memberikan paparan dalam Rapat Koordinasi Kebijakan Pembangunan Kesehatan Provinsi Jatim terkait percepatan eliminasi TBC, penurunan stunting, dan peningkatan cakupan serta mutu imunisasi di kantor Dinas Kesehatan Jatim, Senin (2/4).
Untuk diketahui, baru-baru ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menyebut 9 juta anak Indonesia kekurangan gizi. Sementara mendasarkan riset kesehatan dasar (Riskesda) 2013 angka stunting masih 37,2% dari total anak usia 0-5 tahun. Dan dari pantauan status gizi yang dilakukan setiap tahun setelah pelaksanaan Riskesda 2013, pada 2017 lalu, angka stunting balita sudah turun jadi 29,75%, dan untuk baduta (bawah dua tahun) 27,6%.
Stunting adalah kejadian kekurangan gizi kronis dalam jangka waktu lama 1000 hari pertama kehidupan, sehingga tinggi badan dibanding usianya lebih pendek dari usia sebaya. Stunting dapat dicegah dan bukan diturunkan. Penanganan paling kritis adalah pada 1000 hari pertama kehidupan. Sejak dari hamil sampai dengan usia 2 tahun harus dipantau. Perkembangan otak terjadi paling pesat sejak 0 bulan sampai 1,5 bulan.
Di Jawa Timur, kata Kepala Dinas Kesehatan Jatim, Dr Kohar Hadi Santoso, angka stunting di bawah angka nasional yaitu 26,1%. Kasus gizi buruk tertinggi di Madura, tepatnya di Sampang, “Targetnya seperti negara-negara maju, yaitu 20%,” ujarnya.
Kohar menyebut masalah gizi kronis bisa terjadi lantaran kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi masih kurang. Untuk menekan angka stunting, pengetahuan gizi masyarakat perlu ditingkatkan sehingga mereka bisa tahu yang dimakan itu sudah benar atau belum.
Rakor Dinkes Jatim yang diikuti 38 kepala dinas kota/kabupaten dan 68 direktur RSI ini merupakan tidak lanjut dari Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkenas) Maret lalu terkait 3 persoalan kesehatan, yaitu eliminasi TB dipercepat, eliminasi stunting dipercepat, serta peningkatan cakupan dan mutu imunisasi. “Pemilihan tiga topik prioritas ini dilatarbelakangi berbagai persoalan kesehatan, terutama mempertimbangkan potensi kasus jika tidak diantisipasi guna menghindari terjadinya risiko peningkatan atau penyebaran ke tempat lain,” ungkap Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek, dalam Rakerkenas, Maret
Lebih lanjut Anung mengatakan, penanganan 3 permasalahan kesehatan itu semuanya bermuara pada kebijakan dan hal teknis. Karena itulah, Rakor kemarin melibatkan kepala dinas dan direktur rumah sakit.
Terkait tuberkulosis, pemerintah bertekat terus meningkatkan cakupan imunisasi dan mutu surveilan sehingga pada 2030 TB sudah tereliminasi dan pada 2050 sudah tereradiasi dalam arti sudah tidak ada sama sekali.
Khusus untuk program imunisasi, Kohar menyebut pihaknya akan menargetkan seluruh warganya mendapat imunisasi utuh dan lengkap. Saat ini 96% warga Jatim yang sudah terimunisasi secara tuntas. “Targetnya 100% dan pada 2020 nanti tidak ada lagi penyakit yang tak bisa dicegah dengan imunisasi,” ujarnya.
Imunisasi, kejadian luar biasa difteri dan campak yang baru-baru ini terjadi membuat pemerintah harus kembali menganalisa terkait cakupan imunisasi yang telah dilakukan, mutu atau kualitas vaksin yang ada, serta kekuatan surveilans di berbagai daerah.(ret)