SURABAYA (global-news.co.id) – Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa Bangsa atau United Nation Children Fund (Unicef) mengajak Pemerintah Kota Surabaya mengakhiri pekerja anak dengan melakukan pendekatan multi-stakeholder dan penguatan sistem perlindungan anak.
“Karena ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan, pekerja anak merupakan salah satu isu dalam perlindungan anak,” ujar Spesialis Perlindungan Anak Unicef wilayah Jawa, Naning Pudjijulianingsih dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/7/2023).
Hal itu disampaikan Naning saat menggelar diskusi dengan topik “Aksi Bersama Merajut Asa” (Akasa) melalui daring yang digelar Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB) bersama Forum Anak Surabaya (FAS) di Surabaya, Sabtu (8/7).
Menurut dia, pekerja anak bukan hanya permasalahan di Indonesia maupun di Kota Surabaya, melainkan persoalan global. Apalagi, kata dia, dampak pandemi Covid-19 yang tidak hanya terjadi Indonesia, menimbulkan adanya batasan yang membuat anak tidak bisa bersekolah atau melanjutkan pendidikan.
“Ini menjadi sangat penting, saya berterima kasih karena bapak dan ibu guru dari dunia pendidikan yang ikut hadir dalam pembahasan persoalan ini,” kata Naning.
Naning memaparkan, Unicef merupakan bagian dari PBB yang memiliki mandat atau wewenang untuk memastikan instrumen-instrumen internasional terkait pemenuhan dan perlindungan anak dapat diadopsi oleh negara-negara peserta PBB, termasuk Indonesia.
“Pemerintah pusat melalui Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan), maupun pemerintah daerah melalui Disnaker (Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja) sudah memiliki perangkat kebijakan hukum yang sangat membatasi anak bekerja di sektor formal,” ucapnya.
Oleh sebab itu, kata dia, Unicef bersama International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Perburuhan Internasional mengajak Pemkot Surabaya mengakhiri pekerja anak dengan melakukan pendekatan multi-stakeholder dan penguatan sistem perlindungan anak untuk mewujudkan Kota Layak Anak (KLA).
Unicef bersama ILO memperkenalkan pendekatan multisektoral untuk menghapus pekerja anak. Pekerja anak juga berkaitan dengan identitas legal mereka. Jika anak-anak tersebut tidak memiliki identitas, maka akses terhadap pelayanan dan perlindungan sosial atau terhadap layanan lainnya menjadi sulit.
“Kalau dia tidak memiliki akses layanan dasar, sama artinya dia tidak memiliki perlindungan. Unicef dan ILO memastikan semua anak di dunia memiliki identitas legal,” ujarnya.
Meski demikian, Naning mengingatkan kepada para tenaga pendidik di Surabaya. Sebab, mereka turut menjadi bagian dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap anak untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Maka dari itu, Naning mengajak para guru agar memastikan anak-anak tetap bersekolah dalam rangka untuk mencegah pekerja anak. Termasuk anak dari perdagangan manusia, perkawinan dini, maupun bentuk kekerasan anak lainnya.
“Ini merupakan bagian dari upaya yang bisa dilakukan di tingkat sekolah dengan mencegah anak-anak mendapatkan perlakuan yang buruk,” katanya.
Sebab, menurutnya, Kota Surabaya tengah berproses menuju Kota Layak Anak telah menyediakan akses layanan pendidikan dan kesehatan ramah anak. Bahkan layanan ketahanan keluarga melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) telah sampai di tingkat RW.
Selain itu, Kota Surabaya juga mendirikan Rumah Anak Prestasi sebagai tempat pengembangan bakat dan minat pada anak disabilitas. Serta, pemberian bantuan layanan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
“Sistem perlindungan anak harus kuat, maka partisipasi untuk perubahan perilaku sosial juga harus dilibatkan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB) Surabaya Ida Widayati menyampaikan, Unicef bersama FAS saling berbagi ilmu tentang perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak.
“Kegiatan ini merupakan bagian dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2023. Ini sudah seri ketiga digelar oleh FAS dengan mengundang Unicef dalam membahas upaya perlindungan anak. Sebab, sampai usia 18 tahun mereka memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan,” katanya. (pur)