NEW YORK (global-news.co.id)-Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang menolak keputusan Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Resolusi yang disetujui oleh 128 negara dari total 193 negara anggota tersebut, dianggap sebagai pukulan memalukan bagi pemerintah AS.
Bagaimana tidak memalukan, mayoritas negara-negara Uni Eropa yang merupakan sekutu AS, justru pilih mendukung resolusi tersebut.
Selain menolak keputusan Trump soal Yerusalem, resolusi Majelis Umum PBB ini juga menegaskan bahwa status final Yerusalem harus diselesaikan lewat negosiasi langsung antara Palestina dan Israel, dan setiap keputusan yang dibuat di luar kerangka itu harus dicabut.
Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB, resolusi Majelis Umum ini tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional. Namun meski tidak mengikat dan tidak sekuat resolusi Dewan Keamanan, resolusi Majelis Umum masih dapat mengakibatkan konsekuensi politik.
“Meskipun tidak mengikat, itu akan sangat efektif karena mendefinisikan legitimasi melawan ancaman dan pemerasan,” kata Menteri Turki untuk Uni Eropa, Omer Celik seperti dilansir media Turki, Anadolu Agency, Jumat (22/12/2017).
Celik menyebut resolusi PBB tersebut sebagai “titik balik”. “Ini hari yang bahagia dan bersejarah bagi Yerusalem. Ini hari saat semua yang membela legitimasi, menang,” imbuhnya.
Adapun kepala negosiator Palestina Saeb Erekat menyatakan, resolusi PBB tersebut menunjukkan respek akan aturan hukum internasional. “Ini hari memalukan bagi mereka yang berdiri bahu-membahu dengan pendudukan dan permukiman yang bertentangan dengan hukum internasional,” cetusnya.
“Namun kami sangat menghargai bahwa mayoritas komunitas internasional, meski adanya ancaman dan intimidasi AS, telah memutuskan untuk berdiri tegak, berpandangan jauh, hukum internasional dan aturan hukum — dan bukan aturan hukum rimba,” imbuhnya.
Voting di Majelis Umum PBB ini digelar setelah Amerika Serikat pada Senin (18/12) lalu menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB, yang meminta negara itu membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sehari sebelum voting digelar, Donald Trump, Presiden AS, mengancam akan memangkas dana bantuan bagi negara-negara anggota PBB yang bersuara menentang AS.
Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih, Rabu (20/12/2017) waktu setempat, mengatakan dirinya memantau hasil voting yang dilakukan di Majelis Umum PBB dan membuat daftar negara mana saja yang menentang pernyataannya.
“Mereka telah membuang ratusan juta dolar bahkan miliaran jika mereka memilih untuk melawan kami. Kami akan memantau voting tersebut. Biarlah mereka voting untuk melawan kami. Kami akan menghemat banyak. Kami tak peduli,” ujar Trump, dilansir dari AFP, Kamis (21/12).
Menjelang sidang darurat PBB tersebut, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley sempat memberi peringatan bahwa Amerika akan mengingat apa yang terjadi saat voting. Dia juga menegaskan, AS akan tetap menempatkan duta besarnya di Yerusalem. “Amerika akan menempatkan kedutaan kami di Yerusalem,” kata Haley.
Haley juga menegaskan keputusan yang dihasilkan dalam voting di PBB tidak akan membuat perbedaan. Namun menurutnya, voting tersebut akan membuat perbedaan bagaimana orang Amerika memandang PBB, dan bagaimana AS memandang negara-negara yang tidak menghormati AS di PBB.
“Ketika kami memberikan kontribusi yang besar kepada PBB, kami juga memiliki harapan yang sah bahwa goodwill kami diakui dan dihormati,” tegasnya.
Resolusi tersebut menegaskan kembali bahwa status Yerusalem harus diselesaikan melalui negosiasi, dan bahwa setiap keputusan yang berada di luar kerangka kerja tersebut harus dibatalkan.
Sementara itu, Rofi Munawar, Wakil Ketua Badan Kerjasama Antarparlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menilai resolusi ini semakin menegaskan dukungan 14 anggota atau sebagian besar anggota Dewan Keamanan (DK) PBB yang sebelumnya telah bersidang.
“Sikap penolakan dari sebagian besar anggota PBB menjadi modal penting bagi organisasi dunia tersebut untuk mendesak AS menarik segera kebijakannya. Di sisi lain, sikap ini memberikan dukungan diplomatik yang kuat bagi Palestina,” ujar Rofi Munawar seperti diktuip dari detik.com, Sabtu (23/12/2017).
Rofi menjelaskan, negara-negara yang menolak Yerusalem sebagai ibu kota Israel konfigurasinya semakin beragam dan mengubah peta politik global, termasuk negara-negara yang selama ini senantiasa mendukung AS secara tradisional seperti negara negara Eropa.
“Ada baiknya negara-negara sentral yang memiliki pengaruh kuat segera melakukan langkah-langkah strategis dan implementatif untuk mencegah pemindahan ibukota yang sangat kontroversial tersebut. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang mendukung kedaulatan Palestina, harus berperan aktif dalam mencapai tujuan itu,” tegasnya.
Sejauh ini memang belum ada negara yang menempatkan kantor kedutaannya untuk Israel di kota Yerusalem, kota yang memang aecara historis dan ideologis tidak boleh menjadi ibukota Israel. Itulah sebabnya, ketika Donald Trump secara sepihak memutuskan Yerusalem sebagai ibukota Israel, dunia menolaknya.
Sekadar diketahui, dalam pemungutan suara yang dilakukan Majelis Umum PBB, sebanyak 128 negara memilih setuju atas rancangan resolusi terkait Yerusalem, sedangkan sembilan negara menentang. Dari sembilan negara yang menentang, selain AS dan Israel, ada Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional UI, Profesor Hikmahanto  mengungkapkan, lewat kebijakannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump disebut telah mengubah AS yang kampiun demokrasi menjadi negara yang otoriter. Terlebih Trump juga melontarkan ancaman bagi negara-negara di PBB untuk tidak menyetujui resolusi Majelis Umum PBB tersebut.
“Kepemimpinan AS atas dunia akan terus dipertanyakan bahkan akan dicemooh oleh dunia. Mayoritas negara dunia tidak lagi takut dengan ancaman AS,” ucap Hikmahanto.
“Tidak lagi ada istilah Kuat adalah Benar (Mighty is Right) karena dunia mampu menentang kemauan Trump yang memanfaatkan kursi kepresidenannya,” imbuhnya.
Menurut Hikmahanto, saat ini dunia perlu merumuskan apa tindakan selanjutnya atas AS dan Israel setelah ada Resolusi Majelis Umum PBB. Dia menilai, ada dua tindakan yang bisa dilakukan.
“Pertama, berbagai pemimpin dan tokoh dunia menyerukan agar AS mau tunduk pada Resolusi MU PBB karena suara mayoritas dunia. Sebagai kampiun demokrasi sudah sewajarnya bila AS mau mendengar suara mayoritas,” tutur Hikmahanto.
“Kedua, atas dasar perdamaian dunia, pemimpin dan tokoh dunia mengimbau kepada para politisi AS, termasuk para mantan Presiden AS untuk mengingatkan Trump pengaruh Resolusi MU PBB terhadap kepemimpinan AS di dunia,” sambungnya.
Hikmahanto menyebut, sudah saatnya warga AS, politikus dan kaum elit di negeri Paman Sam itu untuk bersuara dan mengambil tindakan konstitusional terhadap Trump. Hal tersebut agar AS tidak terjerembab lebih dalam atas manuver-manuvernya. Berbagai manuver Trump dinilai bukannya membuat America Great Again, namun justru ‘Make America Worst’.
Resolusi Majelis Umum PBB memang tidak bersifat mengikat seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun peran serta negara-negara internasional bisa menjadi tekanan politik bagi AS terkait Yerusalem.
“Kalau MU PBB itu tidak biasanya disertai dengan sanksi dan tidak bisa ditegakkan. Ini beda dengan Resolusi DK PBB yang bisa disertai dengan sanksi dan bisa ditegakkan terutama terhadap negara-negara kecil dan berkembang,” papar Hikmahanto.
“Meski Resolusi MU PBB tidak bertaji seperti Resolusi DK PBB namun Resolusi MU PBB menunjukkan mayoritas dunia menentang tindakan Trump,” tambah dia. (dtc/faz)