Oleh: KH. Muh. Fahri, S.Ag., MM. *)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd
Saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Allah SWT.
Syukur alhamdulillah kita haturkan kehadirat-Nya, pada pagi hari ini Jum’at 1 Syawwal 1444 H. bertepatan dengan 21 April 2023 M., kita dapat melaksanakan ibadah shalat Idul Fitri di tempat yang berbahagia ini. Kita berharap semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan kepada kita nikmat iman, Islam, kesehatan dan kesempatan.
Demikian pula kita berdo’a semoga ibadah kita, puasa kita, shalat kita, zakat kita, do’a dan dzikir kita senantiasa diterima di sisi-Nya. Amin Allahumma Amin.
Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT.
Satu bulan penuh kita ditraining dalam program besar Allah yang bernama “shaum fi syahri Ramadhan” (puasa di bulan suci Ramdhan). Jasmani dan ruhani kita, dididik, dilatih dan dibimbing untuk menjadi hamba Allah SWT yang bertaqwa.
Taqwa menurut bahasa mengandung arti waspada, menjaga diri dan takut. Sedangkan menurut istilahi, taqwa adalah sikap mental yang positif terhadap Allah SWT sehingga dapat melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Taqwa merupakan kesadaran menjaga diri agar tidak terjatuh ke dalam dosa.
Taqwa senantiasa merujuk pada sikap dan perilaku yang positif, bermakna dan bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitar-nya.
Muhammad Rasulallah SAW bersabda, “khoirunnas yanfaunnas” (sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat bagi yang lainnya). Ketakwaan sebagai produk akhir dari ibadah puasa, keberhasilannya tidak diukur pada saat kita melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, namun keberhasilannya dapat dilihat pada sebelas bulan berikutnya dengan indikator sebagaimana yang tersebut dalam surat Ali Imran 133-136 yaitu;
Pertama, yunfiquuna fissarra’i wa dharra’i (menafkahkan sebagian harta di waktu lapang dan sempit).
Orang bertaqwa senantiasa mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit. Mereka yakin harta yang dimiliki merupakan titipan Allah SWT untuk berbagi dengan sesamanya. Kita prihatin di tengah keterpurukan ekonomi yang belum pulih karena pandemi covid-19, masih ada sebagian dari keluarga pejabat di negeri ini yang berperilaku hedonisme, glamor, pamer harta, rumah, mobil dan perhiasan mewah lainnya.
Orang bertakwa yang digembleng oleh bulan suci Ramadhan insyaa Allah tidak akan pamer kekayaan dan harta benda tapi mereka akan memilih jalan hidup yang sederhana dan gemar berbagi dengan sesama.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd.
Kedua, kadzimiina al-ghaida (menahan amarah).
Orang bertakwa tidak mudah tersulut emosinya karena hal-hal yang “remeh temeh”, demikian pula tidak gampang mencaci maki orang lain karena suatu persoalan yang tidak prinsip. Namun orang bertakwa yang dididik oleh bulan suci Ramadhan, senantiasa tampil dengan aura yang elegan, tenang, sikap hidup yang sabar, dan selalu menebar kedamaian dimanpun ia berada.
Bangsa dan negara ini sangat membutuhkan orang-orang bertakwa agar negeri ini tidak retak, tidak tercabik-cabik dan tidak pula berpecah belah. Terlebih memasuki tahun politik, pemilihan presiden 2024, semua 2 pihak harus mampu menahan diri, mampu menahan amarah, mampu menahan emosi, dan mampu menahan kehendak.
Ketiga, afiina aninnaasi (memaafkan kesalahan orang lain).
Orang bertakwa senantiasa memaafkan kesalahan orang lain, senang melapangkan jalan hidup kawan dan lawan, dan selalu menebar benih-benih persahabatan dan kekeluargaan. Orang bertakwa terhindar dari sikap dan perilaku dengki, dendam, bermusuhan, pertentangan dan pertikaian. Namun sebaliknya orang bertakwa senantiasa membawa suasana hidup yang tenang, damai dan tentram, kapanpun dan dimanapun ia berada.
Orang bertakwa selalu berpegang pada prinsip memperbanyak kawan daripada lawan, suka memaafkan bila orang lain salah dan tidak segan-segan meminta maaf bila ia yang salah. Sungguh indah negeri ini bila masyarakatnya pemaaf. Sekalipun kita berbeda-beda namun tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika).
Keempat, yuhibbul muhsiniina (senang mengerjakan kebaikan).
Orang bertakwa yang hatinya dibimbing oleh bulan suci Ramadhan senantiasa suka untuk berbuat kebaikan, senang beramal shaleh dan selalu berusaha memberi manfaat kepada orang lain, lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa dan negara.
Orang bertakwa tidak ingin kehadiran dan keberadaannya menjadi beban orang lain, menjadi sumber masalah, menjadi sarang penyakit dan menjadi sampah masyarakat. Motto yang dipegang teguh orang bertakwa hidup senantiasa memberi manfaat kepada orang lain, sebagaimana sabda Rasulallah SAW “khairunnas yanfaunnas” (sebaik-baiknya manusia yang memberi manfaat kepada manusia lainnya).
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd…
Kelima, yaghfiru dzunuuba (mohon ampun atas kesalahan).
Indikator orang bertaqwa yang jiwanya dididik oleh bulan suci Ramadhan ialah senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT atas kesalahan dan dosa yang diperbuat.
Orang bertakwa selalu mengevaluasi diri, introspeksi diri, dan bermuhasabah apa yang sudah diperbuat. Ketika melakukan kesalahan yang disengaja atau tidak, orang bertakwa cepat menyadarinya, lalu istighfar lalu mohon ampun kepada Allah SWT dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Sebaliknya jika saat melakukan kesalahan tetapi tidak segera menyadarinya atau sadar tetapi tetap menjalani kesalahan tersebut, maka hal yang demikian itu bukan karakter orang yang bertaqwa.
Rasulallah SAW bersabda yang artinya “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR Tirmidzi 2499, Shahih atTarghib 3139).
Keenam, yuqiimuunas shalaata (menegakkan shalat).
Di antara indikator orang bertaqwa sebagaimana yang disebutkan Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 3 adalah mendirikan shalat. Selama bulan suci Ramadhan ummat Islam dididik untuk membiasakan diri melaksanakan shalat wajib tepat waktu, dilakukan secara berjama’ah dan bertempat di masjid, memperbanyak shalat sunnah seperti sunnah rawatib dan sunnah qiyamul lail (tarawih dan witir). Pembiasaan shalat ini harus berlanjut pasca Ramadhan dan berimbas pada sebelas bulan berikutnya.
Nabi SAW bersabda, “Pangkal atau pokok semua urusan adalah Islam, dan yang menjadi tiang atau penopang tegaknya Islam ialah shalat fardhu lima waktu, sedangkan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah,” (Hr.Bukhari dan Muslim).
Ketujuh, wal tandzur nafsun maa qaddamat lighat (mempersiapkan bekal hari akhir).
Indikator orang bertakwa lulusan dari ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan akhirat. Orang bertakwa sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, ibarat orang yang bepergian, transit sebentar di bandara menuju negara tujuan. Sebab itu selama hidup di dunia ini, orang bertakwa senantiasa memperbanyak investasi amal shaleh yang akan dipanen saat berada di akhirat kelak.
Dalam surat al-Hasyr ayat 18 Allah SWT berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd…
Saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Allah.
Tujuh dari sekian indikator orang bertakwa sebagai produk dari ibadah puasa di bulan suci Ramadhan sudah seharusnya kita gaungkan dan dihidup-hidupkan pada sebelas bulan berikutnya sampai kembali bertemu dengan bulan Ramadhan 1445 H. Idul Fitri 1444 H yang kita gelar pada pagi hari ini dan di tempat ini bukan akhir dari perjalanan Ramadhan kita, bukan pula akhir dari ketakwaan kita, namun menjadi titik awal untuk memulai tradisi kebajikan dan keshalehan yang sudah kita bangun pada bulan suci Ramadhan.
Sungguh teramat sedih bila tradisi kebaikan dan keshalehan yang mulai terbentuk di bulan suci ramadhan, kemudian sirna dan hilang pasca ramadhan yang sebagian orang menyebut Idul Fitri dengan istilah lebaran. Lebaran identik dengan “lebur” dan “bubar”. Artinya kebiasaan baik di bulan ramadhan menjadi lebur dan bubar setelah ramadhan dan kembali seperti perbuatan awal sebelum ramadhan. Dalam hal ini Allah SWT mengingatkan kita yang artinya, ”Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat, sehingga menjadi cerai-berai kembali.” (QS. An-Nahl 92).
Kisah wanita pemintal benang yang diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an tersebut menjadi pelajaran agar tidak ditiru oleh kita. Perbuatan wanita itu dari pagi sampai sore memintal benang dan setelah selesai, pada malam harinya ia cerai beraikan kembali. Perbuatan seperti itu adalah sia-sia, dan kerugian nyata. Karena itu, Nabi Muhammad SAW selalu mengingatkan kita agar senantiasa hidup istikomah. Ketika salah seorang sahabatnya meminta nasehat yang bisa dijadikan pegangan seumur hidupnya, Rasulullah SAW menjawab, “qul amantu billah tsummastaqim” (katakanlah aku beriman kepada Allah SWT kemudian istikomahlah).
Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT.
Setiap tahun kita senantiasa melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Siangnya berpuasa, malamnya mendirikan shalat, tetapi apakah ketaatan itu akan bertahan seumur hidup? Atau itu hanya untuk Ramadhan saja? Berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan rajin ke masjid, tetapi begitu Ramadhan berakhir, ia pun jarang ke masjid?
Berapa banyak umat Islam yang selama Ramadhan rajin membaca Al Quran, tetapi begitu Ramadhan berakhir, Al Quran pun dilupakan begitu saja.
Demikian pula berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan suka berzakat, berinfaq dan bershadaqah, tetapi begitu Ramadhan berakhir, berakhir pula zakat, infak dan shadaqahnya. Perbuatan-perbuatan sebagaimana yang tersebut, mirip dengan kisah seorang wanita yang Allah SWT ceritakan dalam surat An-Nahl 92. Selama Ramadhan, ketaatan dirangkai, begitu Ramadhan habis dan berakhir, ketaatan dicerai-beraikan kembali.
Kisah wanita pemintal benang ditampilkan Allah SWT agar kita dapat mengambil pelajaran, jangan sampai perbuatan baik yang sudah kita lakukan secara istikomah di bulan suci Ramadhan, terhenti begitu saja. Dan justru, dirusak oleh perbuatan yang sia-sia. Nuansa Ramadhan harus dapat kita pertahankan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca Ramadhan berakhir. Sehingga predikat takwa sebagai terminal akhir dari tujuan ibadah puasa di bulan suci ramadhan dapat terus kita pertahankan sampai ajal menjemput kita.
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahilhamd…
Saudara-saudaraku ma’ashiral muslimin rahima kumullah.
Di pagi hari yang mulia ini marilah kita menundukkan kepala sejenak untuk memohon ampun kepada Allah agar bencana, musibah dan berbagai ujian, cobaan dan persoalan berat yang tengah menghimpit diri kita, keluarga kita, bangsa dan negara kita segera berakhir. Jangan biarkan diri kita sombong, angkuh dan congkak, sebab tiada yang mampu menyelamatkan diri kita dari siksa api neraka selain dari pertolongan dan kasih sayang Allah SWT.
Astagfirullahul adziim, Astagfirullahul adziim, Astagfirullahul adziim. Allahummagfir lilmuslimiina wal muslimat wal mu’miniina wal mu’minat al-ahyaa’u minhum wal amwaat.
Ya Allah inilah kami, hamba-hambamu yang hina, tengah menengadahkan tangan menghiba kepada-Mu. Sehina apapun kami, kami mohon di hari yang penuh kemuliaan ini, ampuni seluruh dosa-dosa kami. Rabbana dhalamna anfusana wa illam tagfirlana watarhamna lanakunanna minal khasirin. Wahai Tuhan kami, sungguh kami telah dhalim terhadap diri kami sendiri jika Engkau tiada mengampuni dan mengasihi kami, tentulah kami menjadi orang-orang yang merugi.
Allahummagfirlanaa waliwalidayna warhamhuma kama rabbayaani shaghira. Duhai Allah yang maha mendengar, ampuni dosa-dosa orang tua kami, ibu bapak kami, saudarasaudara kami. Andaikata kedurhakaan kami menjadi penggelap kehidupan mereka, jadikan kami anak-anak yang shaleh dan shaleha yang dapat menjadi cahaya bagi kehidupan orang tua kami di dunia dan akherat. Rabbana hablana min azwajiina wa min durriyatina qurrata a’yun wajalna lil mutaqiina imama.
Wahai Rab kami, angkatlah segala penyakit dari keluarga kami, masyarakat kami, bangsa dan negara kami, agar kami bisa beribadah dan bekerja sebagaimana mestinya. Ya Allah, ampuni bila ini menjadi kesalahan kami, kealpaan kami, kesombongan dan kecongkaan para pemimpin kami. Kami sadar tanpa bantuan dan pertolongan-Mu, kami takkan mampu mengatasi musibah bangsa kami. Ya Allah, ya Kariim, ya Ghaffar, berikan pada kami kehidupan di dunia ini dengan kebaikan dan berikan pula kebaikan di akhirat serta jauhkan kami dari adzab api neraka. Rabbana atinaa fiddunyaa hasanah wafil akhirati khasanah waqina adzaa bannar. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd. (*)
*) KH. Muh. Fahri, S.Ag., MM., Mudir Pesantren Entrepreneur Muhammadiyah (PEM) Gondanglegi dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Forum Guru Muhammadiyah (FGM). Materi ini adalah khutbah Idul Fitri 1444H di halaman Kantor Bakorwil IV Pamekasan, 21 April 2023.