ADA sebuah tradisi unik di Irak. Pembeli pertama boleh membayar seikhlas mereka. Para pedagang menganggap pelanggan pertama ini sebagai pertanda baik.
Istiftah adalah istilah untuk menyebut pelanggan pertama yang datang berbelanja hari itu ke sebuah kedai atau kios di pasar. Istiftah dianggap sebagai pertanda baik lancarnya rezeki di hari itu oleh para pedagang.
Para pelanggan pertama di hari itu bebas menentukan harga untuk barang atau jasa yang akan dibelinya, tanpa proses tawar menawar yang biasa terjadi di pasar tradisional. “Pelanggan pertama amat luar biasa. Ia membawa keberkahan dan kesejahteraan langsung dari Tuhan kepada pedagang di pagi hari,” kata Hidayet Sheikhani (39), salah seorang pedagang di pasar tradisional Arbil di utara Irak, seperti dikutip dari CNN, Selasa (23/2/2021).
Negara yang penduduknya terkenal ramah seperti Irak, Istiftah berarti pembuka. Sebenarnya, Istiftah adalah tradisi unik dan kuno, tidak hanya di Irak, tetapi di seluruh Timur Tengah. Sheikhani mewarisi
tradisi itu dari kakeknya, yang memiliki toko di pasar yang sama seabad yang lalu. Dari kakeknya pula Sheikhani tahu bila Istiftah menjadi penentu jual beli pada hari itu.
Sheikhani menjual syal dan topi sulam tradisional di pasar Arbil yang ramai, terletak di ibu kota wilayah Kurdistan, Irak. Para pemilik toko di pasar Arbil sudah tiba di kios mereka sejak fajar menyingsing. Mereka sudah siap menyambut rezeki dari pagi hari. Dengan sigap, mereka menggulung daun jendela toko mereka dan menuangkan segelas teh manis yang menjadi minuman wajib untuk memulai hari.
Pemilik toko yang belum menjual apapun sejak pagi akan meletakkan kursi di luar tokonya, sebagai isyarat kepada rekan-rekan mereka.
Pedagang yang telah melakukan penjualan pertama akan mengarahkan pembeli yang datang ke toko lain, sampai semua pedagang mendapatkan Istiftah-nya. Baru setelah itu mereka akan menerima pelanggan kedua dan seterusnya.
“Itu berlaku untuk pemilik toko Muslim dan Yahudi, kata Sheikhani. Arbil sendiri merupakan rumah bagi komunitas warga Yahudi yang sudah ada sejak berabad silam.
Terancam Punah
Tradisi Istiftah tak hanya berlaku di pasar tradisional. Para penyedia jasa seperti pengemudi taksi, tukang ledeng hingga mekanik mobil juga telah mengadopsinya. “Berapa pun uang yang saya peroleh pertama kali dalam sehari, saya menciumnya dan mengangkatnya ke dahi saya sebagai tanda syukur kepada Tuhan,” kata Maher Salim, mekanik mobil berusia 46 tahun di Arbil, Irak.
Tapi yang perlu traveler tahu, Istiftah tidak berarti bisa mendapatkan barang atau jasa secara gratis. Pelanggan pertama sering kali meminta harga yang sangat miring untuk pembelian di pagi hari, tetapi mereka tak diizinkan memintanya secara gratis. “Bahkan jika itu saudara saya, saya akan mengambil sesuatu yang simbolis darinya – bahkan jika hanya 1.000 dinar Irak,” kata Salim.
Lantas, apakah pedagang bisa menolak Istiftah? Jawabannya, tidak.
Jamaluddin Abdelhamid (24) yang menjual kacang panggang, permen, dan rempah-rempah di pasar Arbil, mengaku tak kuasa menolak Istiftah. Menolak permintaan pelanggan pertama, tidak peduli seberapa pun besar diskon yang dia minta, membuat dia diliputi rasa bersalah.
“Saya akan menghabiskan sepanjang hari dengan perasaan sedih, bertanya pada diri sendiri, bagaimana saya bisa menolak berkah Tuhan?,” kata Abdelhamid.
Typical Streetlife and Views at the old Bazaar in Arbil, Kurdistan, Northern Iraq, 19.07.2007Mostly men to see in the streets. Kurdish lifestyle,Pedagang di pasar Arbil, Irak Foto: Getty Images/FotoGablitz
“Seringkali, seorang pelanggan meminta madu karena mereka sakit. Biasanya harganya 14 ribu dinar Irak (sekitar Rp134 ribu) per botol, tetapi mereka memintanya dengan 10 ribu dinar Irak dan saya setuju karena itu istiftah,” katanya.
“Saya tahu Tuhan Maha Mengerti,” kata Abdelhamid lagi.
Tradisi Istiftah akan terus ada, bahkan di kalangan pedagang yang berusia muda. Tapi ancaman kepunahan terkait tradisi ini akan tetap ada. Penyebabnya tentu saja munculnya pusat perbelanjaan modern.
Salah seorang warga, Mohammad Khalil masih membeli bahan-bahan makanan dari toko-toko kecil di dekat rumahnya. Setiap pagi, dia membeli roti, yogurt, keju, dan sayuran.
Khalil menghujani setiap pemilik toko dengan salam dan doa memohon berkat dan kesehatan yang baik saat dia berjalan keluar setelah membeli bahan makanan yang dia butuhkan.
“Interaksi di mal relatif dingin,” keluhnya.
“Tidak ada Istiftah di sana. Semuanya sudah sistem komputer. Seringkali, orang yang bekerja di toko mal bukanlah pemilik sebenarnya, jadi mereka bahkan tidak peduli dengan tradisi ini,” tutup Khalil. (dtc/adinda)