SURABAYA (global-news.co.id) –
Selama pendemi corona tak kurang dari Rp 140 triliun pendapatan dari devisa negara khususnya dari sektor wisata hilang. Karenanya lewat Raperda Desa Wisata diharapkan Jatim dapat meraih kembali pendapatannya yang hilang kena imbas pandemi Covid-19.
Fraksi PDIP lewat jubirnya, Yohanes Ristu Nugroho menegaskan saat ini belum ada kebijakan pemerintah daerah yang secara terpadu mengatur pengembangan dan pemberdayaan desa wisata yang berpijak pada kelestarian lingkungan dan penguatan budaya lokal. Selain itu juga belum ada parameter dan indikator yang jelas mengenai parameter dan indikator desa wisata sehingga perlu adanya Perda Desa Wisata.
Yohanes juga menyoroti saat ini terjadi konflik horizontal akibat status lahan desa yang masih beririsan dengan pihak lain seperti perhutani dan BPSABS (Badan Pengelolaan Sumber Daya Air Bersih dan Sanitasi) seperti di Desa Tenggarrejo dan Desa Pakisrejo (Kab Tulungagung) serta Bukit Gogoniti (Kab Blitar) dan terjadinya potensi konflik lokal dalam pengelolaan desa wisata seperti di Desa Janggan Kab Magetan (antara Pemerintah Desa dengan sebagian warga), Desa Sitiarjo Kab. Malang (Perhutani dengan Warga), Desa Karangsuko Kab. Malang (antara Pemerintah Desa dengan BPSABS) dan Desa Pakisrejo Kab. Tulungagung (antara warga dengan Perhutani).
“Maka perlu dukungan berupa aturan di daerah terkait pembangunan desa wisata yang telah menjadi prioritas Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sesuai Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.26/UM.001/MKP/2010 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata melalui Desa Wisata,” tegas politikus yang juga Wakil Ketua Komisi C DPRD Jatim, Selasa (20/10/2020).
Sementara FPKB lewat jubirnya, Amir Aslichin mengatakan beberapa tahun terakhir, Desa Wisata menjadi prioritas orientasi promosi sektor wisata di Tanah Air. Penyebabnya karena tren pariwisata dunia kembali bergeser pada tren pariwisata alami (back to nature). Sehingga banyak wisatawan memilih destinasi yang berbasis alam untuk menikmati sensasi naturalisme.
Akan tetapi pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan pariwisata terkoreksi negatif. Sektor yang paling terpukul karena pandemi Covid-19 adalah pariwisata.
Menurut laporan Kemenparekraf dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per April 2020 setidaknya ada 180 destinasi wisata dan 232 Desa Wisata tutup. Sebanyak 11.125 unit usaha yang terkait pariwisata berhenti beroperasi. Sebanyak 1.266 hotel tutup dan 113.000 karyawan di sektor usaha yang terkait pariwisata terdampak oleh lesunya industri pariwisata. Akibatnya, diperkirakan negara berpotensi kehilangan devisa negara sebesar Rp 140 triliun.
“Akan tetapi menurut kajian Kementerian Keuangan, ada tiga sektor bisnis yang pertama kali pulih pasca pandemi Covid-19 berakhir. Yaitu, sektor transportasi, perdagangan dan pariwisata. Hal tersebut sejalan dengan hasil survei Alvara Research Center (2020) yang menyatakan mayoritas responden (21,8 persen) mengatakan aktivitas pertama yang akan dilakukan setelah pandemi berakhir adalah pergi ke tempat wisata.
Menggeliatnya sektor pariwisata dapat membawa dampak sistemik terhadap sektor-sektor industri lainnya yang selama ini eksistensinya terkait dengan sektor pariwisata. Di antaranya sektor UMKM yang hidup dalam lingkaran industri pariwisata,” tegasnya.
Artinya, lanjut dia, dibutuhkan instrumen regulatif untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas berbagai destinasi wisata berbasis desa dalam menyambut potensi serbuan para wisatawan setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir.
Berdasarkan hal tersebut, Fraksi PKB dapat memahami urgensi dari usul prakarsa Raperda ini untuk dilanjutkan pembahasannya dalam proses selanjutnya. Terpisah, Jubir Fraksi Demokrat Subianto menegaskan Fraksi Partai Demokrat menyadari dan memahami bahwa kinerja Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi Jawa Timur semakin dapat dirasakan hasilnya, terutama dalam rangka untuk memberikan dorongan pengembangan pariwisata pedesaan. Pemenuhan segala kebutuhan wisata desa (local-entities tourism) di Jawa Timur merupakan amanah sosial dan kelembagaan. Perkembangan kehidupan wisata di pedesaan yang dalam praktiknya telah memiliki kemampuan dan kearifannya, sepatutnya harus terus diperhatikan untuk diregulasi secara komprehensif.
“Yang pasti dalam Nota Penjelasan Pimpinan Komisi B (Perekonomian) DPRD Provinsi Jawa Timur atas Rancangan Peraturan Daerah Jawa Timur tentang Pemberdayaan Usaha Desa Wisata, tertanggal 12 Oktober 2020 telah dinyatakan bahwa dengan visi peningkatan fasilitasi terhadap usaha mikro, kecil, dan ultra-mikro itulah Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembinaan Desa Wisata kami ajukan kembali sebagai prakarsa DPRD Jawa Timur. Bahkan terungkap bahwa Raperda ini sebenarnya telah digagas sejak 2017 lalu. Saat ini nilai strategis visi pembinaan desa wisata semakin terasa sangat penting. Realitanya, banyak negara menggantungkan pendapatan nasional dari sektor pariwisata sampai 2018,” tegas pria yang juga anggota Komisi B ini.
Ditambahkannya pariwisata nasional menyokong 2,5 persen GDP (Gross Domestic Product) bernilai 28,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 409 triliun. Sedangkan di Thailand sudah mencapai 7 persen. Begitu pula Amerika Serikat bisa meraup penghasilan sektor pariwisata sampai sebesar Rp 7 ribu triliun. Beberapa negara lainnya menjadikan pariwisata sebagai ikon pendapatan nasional. Diantaranya, Spanyol, Perancis, Jepang, Selandia Baru, Qatar dan Thailand,
Itu semua menandakan bahwa Pembentukan Raperda tersebut memiliki argumentasi pengaturan tentang pemberdayaan desa wisata yang semakin kuat. Hal ini dikarenakan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan memang terdapat pedoman yang secara khusus membuka ruang pengaturan mengenai hal ini. cty
berita sebelumnya
berita selanjutnya