SURABAYA (global-news.co.id) – Berkembangnya teknologi di bidang kedokteran memungkinkan program bayi tabung jadi semakin efektif. Lewat teknologi Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidy (PGT-A) risiko yang mungkin terjadi pada program In Vitro Fertilization (IVF) atau bayi tabung bisa diminimalisir.
PGT-A merupakan tindakan skrining genetik dengan teknologi Next Generation Sequencing (NGS) pada embrio yang akan ditanamkan pada program bayi tabung. “PGT-A ini untuk mendeteksi embrio sebelum dilakukan transfer atau ditanam di rahim ibu, apakah embrio itu euploid atau aneuploidy atau dalam bahasa awam embrio ini cacat atau tidak,” kata Dr dr Amang Surya SpOG F-Mas, dalam peluncuran teknologi PGT-A oleh tim Morula IVF Surabaya di National Hospital, Minggu (1/9).
“Dengan melakukan PGT-A, kami dapat memilih embrio terbaik yang akan ditransfer. Sehingga, kemungkinan lahir dan kondisi bayi yang lahir adalah baik, sekitar 95% sampai 98%,” lanjutnya.
Selama ini program bayi tabung IVF sudah diterima sebagai salah satu teknologi reproduksi kehamilan berbantu yang dapat menjanjikan kemungkinan kehamilan terbaik. Namun tingkat keberhasilan program IVF ini belum optimal, masih berkisar 40-50%. Hal ini berkaitan dengan kelainan kromosom embrio yang menempati 80% dari penyebab kegagalan program IVF.
Embrio yang aneuploidy (mempunyai kelainan kromosom) tidak dapat berkembang dengan normal sehingga umumnya akan terjadi kegagalan kehamilan atau keguguran. Oleh sebab itu identifikasi kelainan kromosom sebelum transfer embrio merupakan hal yang penting dalam menentukan keberhasilan IVF. Tujuan dari PGT-A adalah untuk mengidentifikasi embrio aneuploidy sehingga hanya embrio dengan jumlah kromosom normal yang ditanamkan kembali ke dalam rahim. Penelitian membuktikan, dengan PGT-A keberhasilan program IVF mengalami peningkatan yang signifikan.
“Kalau sudah diketahui cacat dan nekat ditanam, akan terjadi keguguran. Jadi seleksi embrio dengan kualitas baik dengan jumlah kromosom normal ini akan meningkatkan angka keberhasilan kehamilan pada program bayi tabung dan menurunkan risiko keguguran. Selain itu juga memungkinkan dilakukannya transfer embrio tunggal sehingga menekan kemungkinan kehamilan ganda atau kembar yang merupakan kehamilan berisiko,” ujar dr Amang.
Dr Ali Mahmud SpOG (K-Fer) menambahkan, PGT-A ini membantu mengurangi beban dokter kandungan. Sebab yang terjadi pada program IVF setelah transfer embrio tim dokter harus terus melakukan evaluasi. “2 minggu setelah transfer pasien dinyatakan hamil atau tidak, walau hamil kita belum bisa seneng. Tumbuh atau tidak janinnya. Karena kalau tidak di PGT-A, kita tidak tahu kromosomnya normal atau tidak. Begitu kehamilan 4 minggu, saya senang tapi si ibu tetap diminta hati-hati. Pada minggu ke-6, bisa saja terjadi kantongnya ada tapi kosong karena janinnya ternyata tidak tumbuh. Ini memang tantangan kami, tapi dengan PGT-A jadi efisien karena sejak awal sudah bisa diketahui embrio mana yang layak ditanam. Ada embrio yang secara morfologi memang layak tanam, tapi secara genetik ternyata tidak,” terangnya.
PGT-A juga mengeliminasi faktor usia ibu sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan IVF. Wanita yang hamil dengan usia di atas 35 tahun disarankan menggunakan metode ini, karena kemungkinan embrio aneuploidy-nya tinggi. “Dengan PGT-A, tingkat keberhasilan IVF pada wanita usia yang lebih tua sama dengan wanita usia muda,” ujar Prof Arief Boediono PhD.
Anggota tim Morula IVF yang lain, dr Benediktus Arifin SpOG MPH (K) FICS, menambahkan, teknologi PGT-A ini juga membantu program pemerintah mencetak generasi masa depan yang sehat dan cerdas. Generasi sehat dan cerdas itu tidak lahir secara instan, melainkan harus dibentuk ketika masih dalam kandungan. “Kita mencoba memilih yang terbaik dari embrio yang ada dari pasangan suami istri yang sah,” katanya.
Karenanya, pihaknya tidak bisa menentukan nantinya embrio itu ketika lahir bisa memiliki keahlian apa, atau memiliki kondisi fisik seperti apa. Selain itu, alat ini maupun tim dokter tidak bisa menentukan jenis kelamin calon janin. Karena aturan di Indonesia, dokter tidak boleh menuruti kemauan orangtua untuk memilihkan jenis kelamin. “Kita hanya mencari yang terbaik dari embrio itu. Kalau yang terbaik, jenis kelamin tertentu ya harus diterima. Tidak boleh memilih,” tandas Benediktus sembari menyebut dengan keberadaan teknologi canggih ini warga Surabaya tak perlu lagi jauh-jauh ke luar negeri dalam upaya mendapatkan bayi yang sehat lewat program IVF. ret