SURABAYA (global-news.co.id) – Masyarakat menyambut Tahun Baru 2025 dengan tambahan beban pengeluaran lebih banyak setelah Pemerintah memberlakukan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% berlaku sesuai amanat Undang-Undang (UU) mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini sempat disebut berlaku untuk barang mewah, tapi ternyata belum ada kejelasan sebab ada barang kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat termasuk dalam daftar kena PPN. Dampaknya pun bisa meluas mengenai harga barang-barang kebutuhan pokok.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur (YLPK Jatim), Muhammad Said Sutomo, kepada Global News, Jumat (20/12/2024), mengatakan, ada barang kebutuhan sehari-hari yang terkena PPN seperti barang elektronik TV, kulkas, smartphone atau pakaian, tas, dan sepatu. “Sekarang masyarakat kelas bawah, UMKM, juga butuh kulkas dan pulsa untuk usaha mereka. Nah pulsa ini termasuk yang kena PPN yang naik jadi 12%. Karena itu, harus ada kejelasan kriteria barang mewah yang kena PPN tersebut, atau ini tidak hanya untuk barang dan jasa yang mewah?” kata Said Sutomo saat dihubungi Global News di kantornya yang berada di gedung Perkantoran lantai 3 Jalan Joyoboyo No. 1 Surabaya.
Menurut dia, masyarakat memiliki hak mendapat informasi sejelas-jelasnya soal kebijakan publik, termasuk terkait kenaikan tarif PPN ini. “Itu salah satu hak konsumen (masyarakat), hak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur sebagaimana ditegaskan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Persisnya di Pasal 4 huruf d. Apalagi jika menyangkut informasi publik,” ujarnya.
Karena itu, kata dia, YLPK Jatim mendukung gerakan petisi menolak kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Sebab kebijakan itu bisa semakin mencekik masyarakat yang sudah terbebani sulitnya hidup akibat belum pulihnya kondisi perekonomian dampak Covid-19. “YLPK Jatim setuju dan mendukung petisi menolak kenaikan PPN tersebut,” katanya.
Seperti diketahui, ketentuan soal kenaikan tarif PPN itu tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sehingga per 1 Januari 2025, tarif PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Mengutip Pasal 4 Ayat 1 UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai, barang sehari-hari yang dikenakan PPN 12% antara lain barang elektronik TV, kulkas, smartphone, pakaian tas, sepatu, tanah dan bangunan, perabotan rumah tangga seperti kursi, meja, lemari, hingga makanan dan minuman yang disajikan hotel, restoran, rumah makan, dan sejenisnya. Lalu makanan olahan yang diproduksi kemasan seperti snack dalam kemasan, pulsa telekomunikasi, kosmetik dan sabun.
Masyarakat meradang merespon kenaikan tarif PPN ini. Warga jagat maya hingga masyarakat dan tokoh berdemo hingga depan Istana Merdeka. Lebih dari 100 ribu orang telah menandatangani sebuah petisi daring di laman change.org per Kamis (19/12/2024) siang, yang meminta pemerintah segera membatalkan kenaikan tarif PPN.
Setelah PPN diumumkan benar-benar akan naik pada tahun depan, dalam sehari ada lebih dari 40 ribu orang yang menandatangani petisi yang telah dimulai sejak 19 November 2024 ini. Komentar warganet yang merasa kenaikan PPN akan mencekik ekonomi mereka juga ikut meramaikan.
“Saya merasa kenaikan PPN berdampak besar terhadap keluarga saya (ibu saya pensiunan PNS). Ditambah kondisi ekonomi yang belum pulih dan pekerjaan saya sebagai freelancer membuat kenaikan PPN menjadi momok buat saya dan keluarga saya,” tulis salah satu akun di change.org, dikutip Jumat (20/12/202).
Kepercayaan Publik
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, kenaikan tarif PPN adalah amanat undang-undang dan diperlukan untuk menjaga kesehatan APBN. Penambahan penerimaan diharapkan bisa menjaga tiga fungsi APBN sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
“Banyak sudah contoh negara-negara apabila APBN-nya sendiri tidak sehat dan tidak sustainable, maka APBN bukan sumber solusi tapi dia menjadi sumber krisis. Maka kewajiban kami untuk menjaga APBN itu tetap terjaga sehat,” kata Sri Mulyani pada konferensi pers di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (16/12/2024).
Demi menjaga keseimbangan ekonomi, pemerintah ikut mengumumkan sejumlah insentif bersamaan dengan pengumuman kenaikan PPN 2025. Barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat, seperti beras, telur, daging, jasa pendidikan, angkutan umum, dan sejenisnya, dibebaskan dari tarif PPN. Sementara barang-barang konsumsi harian lainnya seperti Minyakita, gula industri, dan tepung terigu PPN-nya ditanggung pemerintah 1% sehingga tarifnya tetap 11%.
Pembebasan PPN tersebut membuat pemerintah merelakan potensi penerimaan sebesar Rp 265,6 triliun hilang. Pemerintah juga memberikan stimulus atau insentif untuk UMKM, kelas menengah, dan kelas pekerja. Beragam stimulus tersebut terbagi dalam beberapa sektor, mulai dari kelistrikan, properti, hingga otomotif. “Paket stimulus ini dibuat sekomplit mungkin,” katanya.
Dengan dinaikkannya tarif PPN menjadi 12%, maka pemerintah akan mendapatkan tambahan penerimaan Rp 75 triliun tahun depan. Pengamat pajak sekaligus founder Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam menyebut, angka tersebut sebenarnya tak cukup signifikan menambah penerimaan negara.
Lagipula, secara historis kenaikan PPN tak banyak mengganggu perekonomian sebuah negara. Dia menganggap, ada alasan yang lebih besar dibandingkan faktor ekonomi yang membuat penolakan publik terhadap kenaikan PPN begitu besar.
“Kenaikan jadi 12% menurut saya secara penerimaan nggak signifikan. Penerimaannya tidak signifikan, tapi implikasi sosialnya sudah segini? Itu kita harus hati-hati.” katanya dikutip dari detikcom Minggu kemarin.
Darussalam bilang, ada sentimen ketidakpercayaan publik terhadap pajak yang dibayar dan dikelola negara. Menurutnya, alokasi pajak yang sudah ditarik menjadi masalah yang dilihat masyarakat.
“Masalah trust. Lagi-lagi yang terpenting hari ini adalah bagaimana kita memberikan narasi. Itu lebih penting daripada sekadar pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Misalnya orang sekarang banyak yang nggak tahu pajak tapi disuruh bayar pajak.” katanya.
PPN merupakan salah satu sumber penerimaan pajak yang berasal dari konsumsi masyarakat. Secara konsep, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa yang bersifat umum. Artinya, sejumlah barang atau jasa yang kita gunakan dikenakan pajak. Tarif PPN di Indonesia memang tergolong paling tinggi di antara negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Tarif PPN Indonesia pada 2025 menyamai Filipina yang sebelumnya telah memiliki tarif PPN serupa.
Namun Indonesia memiliki nilai batasan atau treshold pengusaha kena pajak (PKP) yang cukup tinggi. Dengan threshold tinggi, usaha kecil dan mikro tidak perlu menjadi PKP, sehingga mereka tidak terbebani dengan administrasi perpajakan dan pembayaran PPN. Hal ini dapat mendukung pertumbuhan usaha kecil dan mendorong kewirausahaan.
Mengutip data DDTC, saat ini threshold pengusaha kena pajak di Indonesia tertinggi kedua setelah Singapura, yakni Rp 4,8 miliar. Sementara rata-rata dunia batas PKP saat ini sebesar Rp 1,6 miliar. Adapun treshold PKP Singapura SGD 1 juta atau sekitar Rp 11,67 miliar (kurs Januari 2024).
Batasan PKP yang cukup tinggi ini berbanding terbalik dengan negara lainnya yang mengenakan tarif PPN lebih rendah dari Indonesia. Misalnya, Thailand dengan tarif PPN 7% memiliki batas PKP Rp 800,5 juta. Sementara di Laos yang PPN-nya 10% tidak ada ambang batas untuk pendaftaran diri sebagai PKP. Hal ini membuat PKP baik perorangan, badan hukum atau organisasi yang menjalankan usaha dan memasok barang dan jasa di Laos harus memungut PPN.
Vietnam juga memiliki batas PKP yang rendah, hanya Rp 63 juta dengan tarif PPN-nya 10%. Filipina yang saat ini punya tarif PPN tertinggi memiliki batas PKP Rp 833 juta.
PPN di Indonesia juga memberikan pembebasan untuk sejumlah barang dan jasa kebutuhan pokok. Barang dan jasa yang termasuk di antaranya adalah beras, daging, ikan, telur, sayuran, susu, gula konsumsi, serta layanan seperti pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, asuransi, vaksin polio, hingga penggunaan air. Hal ini membuat Indonesia termasuk negara yang banyak memberikan pembebasan PPN. Menurut Darussalam, tarif 12% dengan sejumlah fasilitas pembebasan dan tingginya nilai batas PKP membuat kebijakan PPN di Indonesia tergolong pro rakyat kecil. Tapi kenapa masyarakat begitu keras menolak kenaikan PPN 1%?
Apalagi kenaikan PPN diyakini tak bakal signifikan mengerek inflasi atau mengganggu pertumbuhan ekonomi. Hal ini berkaca pada periode kenaikan-kenaikan sebelumnya, di mana sumber inflasi pada periode berjalan bukan bersumber pada barang-barang yang dikenakan PPN.
“Kalau secara ekonomi, PPN itu relatif lebih sedikit mendistorsi ekonomi daripada PPh. Makanya ketika terjadi Covid, banyak negara fokusnya ke PPN. Yang diutak-atik PPN. Karena dia jenis pajak yang paling cepat recovery.” kata Darussalam.
Masalah Alokasi
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudisthira, berpendapat, keengganan publik untuk membayar lebih mahal akan barang yang dikonsumsinya bukan cuma karena kondisi ekonomi semata. Menurutnya, ada rasa ketidakpercayaan akan pengelolaan uang pajak yang selama ini dianggap tidak tepat sasaran.
“Ini konsekuensi dari belanja pemerintah terutama 10 tahun terakhir, banyak pos belanjanya yang tidak tepat sasaran atau bermasalah.” kata Bhima.
Bhima bilang, salah satu contoh alokasi belanja pemerintah yang tidak tepat sasaran adalah pembayaran bunga utang yang terus naik dalam 10 tahun terakhir. Alokasi pajak yang dipakai untuk membayar bunga utang dianggap mencekik kemampuan APBN baik jangka pendek maupun panjang.
“Belanja bunga utang naik 256% dalam 10 tahun terakhir. Ini salah satunya karena pemerintah menggunakan instrumen utang tanpa dilakukan kajian yang mendalam dan konsekuensi terhadap APBN dalam jangka panjang. Jadi beban utangnya meningkat, otomatis bunga utang yang harus dibayar kenaikannya tinggi sekali.” katanya.
Sementara itu, utang yang dipakai untuk membangun infrastruktur misalnya, dianggap tak cukup memberikan dampak langsung ke masyarakat. Menurutnya, ada banyak pembangunan infrastruktur yang justru malah tak optimal manfaatnya.
“Ada kecenderungan pembangunan infrastrukturnya menguras APBN cukup besar sementara utilitasnya rendah. Banyak bandara yang disebut Pak Luhut sebagai ghost airport. Bahkan IKN juga berisiko jadi beban. Banyak PSN yang tidak sesuai peruntukannya. Tidak menghasilkan keuntungan ekonomi.” katanya.
Masih menurut Bhima, alokasi belanja pemerintah yang tidak tepat sasaran lainnya adalah subsidi energi. Pemerintah dianggap tidak melakukan reformasi pada subsidi energi. Salah satunya untuk listrik, di mana skema kompensasi yang dibayar untuk kelebihan produksi listrik Jawa-Bali selama ini dianggap tidak rasional.
“Tiap tahun Rp 21 triliun dana terbuang percuma karena kelebihan produksi listrik di Jawa-Bali. Itu kerugian negara.” kata Bhima.
Alokasi belanja lainnya yang dianggap kurang tepat sasaran adalah beban belanja pegawai yang membengkak, terutama setelah adanya nomenklatur kementerian baru. Belum lagi sejumlah kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkup pemerintah.
“Selama distrust ke pemerintah masih cukup tinggi, maka penolakan beban pajak baru akan selalu jadi sentimen, buat apa bayar pajak lebih mahal kalau anggaran tidak digunakan semestinya.” kata Bhima.
Barangkali Indonesia bisa berkaca pada negara-negara Skandinavia yang selama ini dikenal sebagai negara yang menempati posisi teratas dalam World Happiness Report; sebuah laporan tahunan yang mengukur tingkat kebahagiaan global berdasarkan beberapa indikator utama. Negara seperti Finlandia, Denmark, Swedia, dan Norwegia sering berada di peringkat pertama hingga kelima dalam laporan ini.
Dilalahnya, negara-negara tersebut juga terkenal dengan sistem perpajakan yang progresif dan tarif pajak yang relatif tinggi dibandingkan banyak negara lainnya. Tarif PPN di negara-negara ini tergolong yang tertinggi di dunia hingga ke level 27%. Pemerintah yang transparan dan efisien, layanan publik yang berkualitas, hingga keseimbangan hidup dan kerja membuat masyarakat di negara ini tetap dapat hidup bahagia dan sejahtera meski didera tarif pajak yang super tinggi.
Tidak ada negara manapun di dunia yang bisa hidup tanpa pajak. Pajak adalah tulang punggung penerimaan negara yang menjadi sumber utama pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, pendidikan, dan kesehatan, yang seharusnya kembali dinikmati oleh masyarakat. Ironisnya, pajak kerap ditolak atau dihindari oleh masyarakat, baik karena kurangnya kesadaran akan pentingnya pajak maupun ketidakpercayaan terhadap pengelolaan dana tersebut.
Fenomena ini menjadi refleksi bagi semua pihak; Pemerintah perlu meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas layanan publik untuk membangun kepercayaan, sementara masyarakat perlu memahami bahwa kontribusi pajak adalah bentuk tanggung jawab bersama untuk mencapai kesejahteraan nasional. Tanpa harmoni antara keduanya, tujuan pembangunan berkelanjutan sulit tercapai. * gas/det