Isu takut menikah melanda generasi Z. Awalnya merebak di sosial media, hingga generasi muda benar-benar suka hidup melajang. Fenomena ini mendorong Majelis Tabligh dan Ketarjihan (MTK) serta Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Surabaya menggelar seminar pra-nikah pada Minggu (25/8/2024) bertempat di Aula Dien Syamsuddin Gedung TMB SD Muhammadiyah 4 Surabaya. Seminar pra-nikah ini mengambil tema “Menjemput Pasangan Hidup Terbaik Menuju Pernikahan Yang Didamba Surga”.
Oleh Nana Asihlestari
SEBANYAK 160 peserta hadir meramaikan seminar tersebut. Terdiri atas Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) yang diwakili oleh 32 orang serta dari Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Seminar yang berlangsung pukul 08.00 WIB hingga sore hari pukul 17.00 WIB itu dikemas interaktif antar-narasumber dan peserta.
Seminar ini banyak diminati kalangan milenial lantaran berdasarkan data memang ada tren penurunan jumlah pernikahan/perkawinan. Bahkan, di negara seperti Jepang, Korea Selatan, maupun China, pemerintahnya sangat khawatir kekurangan jumlah penduduk lantaran banyak warganya takut menikah. Selain itu, seperti di Jepang, warganya juga takut memiliki anak atau childfree. Data yang dikeluarkan Pemerintah Jepang, jumlah total kelahiran bayi di negeri itu pada 2022 diperkirakan di bawah rekor terendah tahun lalu yang hanya 811.000 bayi.
Menurut survei tahun 2017 oleh National Institute of Population and Social Security Research, sebanyak 27,6% pria lajang dan 22,6% wanita lajang tak tertarik menjalin hubungan dengan lawan jenis. Para peneliti kemudian menelisik gejala resesi seks yang menjalari Jepang. Fenomena ini merembet ke Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 angka pernikahan di Indonesia juga semakin menurun. DKI Jakarta misalnya mengalami penurunan mencapai angka 4.000. Sementara Jawa Barat mengalami penurunan sebanyak 29.000. Kondisi serupa terjadi di Jawa Tengah dengan penurunan sebanyak 21.000 dan Jawa Timur sekitar 13.000.
Data dari BPS menyebutkan pada 2023 jumlah pernikahan di Indonesia sebanyak 1.577.255. Angka ini ternyata menurun sebanyak 128.000 jika dibandingkan dengan tahun 2022. Sementara jika dalam satu dekade terakhir angka pernikahan di Indonesia menurun sebanyak 28,63 persen.
Melihat tren itu, Dr Thoat Stiawan SHI MHI–dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya–, Anis Sa’adah SH, MH, CHT, Etty Sunanti SthI, M.Psi (Psikolog yang juga Ketua MTK PDA Surabaya), serta Sarwo Edy Sag, M.Ag (dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya), hadir memotivasi peserta agar tidak takut menikah dengan menyampaikan materi pra-nikah dalam seminar tersebut.
Materi yang diusung pun beragam, baik bertemakan fiqih, psikologi keluarga, semi parenting, hingga pengetahuan manajemen pengelolaan ekonomi keluarga. Para peserta yang didominasi oleh generasi Z dan milenial dari kalangan Muhammadiyah yang sedang berkuliah ataupun telah berkarier pun tampak serius menyimak paparan pemateri.
Dr Thoat Stiawan membuka materi dengan memperkuat mindset generasi Z untuk menolak tren tidak menikah maupun takut menikah. Menurutnya, generasi muda menunjukkan perubahan cara pandang terhadap pernikahan dan komitmen jangka panjang.
Ketidakpastian ekonomi, fokus pada karier dan pendidikan, trauma negatif, kurangnya dukungan sosial hingga perubahan prioritas menjadi sekumpulan alasan yang mendukung tren takut menikah tersebut.
“Generasi muda perlu dan harus menikah. Karena di dalamnya ada perlindungan, dan kedamaian. Itu Sunnah Rasulullah yang mendekati wajib bagi muslim,” katanya.
Faktor budaya patriarki menjadi momok paling menakutkan bagi pasangan muda-mudi Indonesia. Dr Stiawan lalu mempertegas tugas-tugas rumah tangga berdasarkan syari’at Islam.
Kedudukan pria dan wanita juga perlu dipahami secara objektif berpedoman penuh pada agama bukan berdasarkan budaya. Artinya, Islam sama-sama menghormati pria dan wanita sesuai perannya masing-masing. Dan seminar semacam ini menjadi penting untuk memberi pemahaman kepada generasi Z tersebut.
Dalam kesempatan itu, Etty Sunanti, menyatakan, bahwa, seminar pra-nikah menjadi media bagi kaum muda Muhammadiyah mempersiapkan bekal menuju pernikahan. “Kita perlu antisipasi kurangnya pembekalan psikologis pada generasi Z Muhammadiyah yang memasuki usia matang untuk menikah. Di samping meminimalisir ketakutan mereka pada dunia pernikahan” tambah Etty.
Siti Aisyah, Ketua Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Aisyiyah (BIKKSA), menyebut senada. Seminar pra-nikah akan menjadi media penguat bagi pelayanan BIKKSA di Surabaya. Untuk itu dia mengusulkan perlunya diselenggarakan seminar serupa secara berkala. “Angkatan Muda Muhammadiyah perlu melek ilmu terkait pernikahan sesuai dengan syariat Islam,” tutur Siti.
Vina, salah seorang peserta, mengakui memiliki ketakutan untuk menikah. Hal itu lantaran situasi ekonomi dan sosial di sekitarnya yang carut marut. Motivasinya mengikuti seminar tentunya untuk meningkatkan pemahaman terkait ilmu pernikahan yang matang dari pembicara yang terpercaya.
Pembekalan ilmu pranikah selanjutnya akan diagendakan dalam bentuk forum lain. Baik melalui diskusi kajian bagi anggota Aisyiyah Surabaya maupun kajian dakwah bulanan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Tujuannya agar kaum muda tidak takut menikah. Dan, kata dia, mereka harus berani “Menjemput Pasangan Hidup Terbaik Menuju Pernikahan Yang Didamba Surga”. (*)