Ada kabar gembira dari “Japan RE Invest Indonesia 2023” yang digelar di Tokyo, Jepang, 3 Maret 2023. Dalam agenda Asia Zero Emissions Community (AZEC) Ministrial Meeting and Public-Private Investment Forum, PT PLN (Persero) menjalin kolaborasi dengan Pemerintah Jepang untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia. Kolaborasi ini membahas investasi yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem energi bersih dan mencapai target net zero emission (NZE) di tahun 2060. PT PLN (Persero) memperoleh dukungan penjaminan pinjaman sebesar USD 500 juta dari Nippon Export and Investment Insurance (NEXI). Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jepang, Dr Miftakhul Huda M.Sc, memberi masukan soal pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air ini.
Oleh Gatot Susanto
RAGAM energi baru terbarukan di Indonesia sangat banyak. Selain energi surya, angin, geothermal, masih ada banyak lagi, termasuk juga hidrogen. Dr H Miftakhul Huda, M.Sc, ahli nanoteknologi yang juga Designated Asistant Professor di Nagoya University, Jepang, saat ini tengah meneliti mengenai fuel cell, sebuah alat elektrokimia sebagai tenaga mesin kendaraan. Bila biasanya mobil menggunakan minyak bumi sebagai bahan bakar, dengan teknologi fuel cell ini tidak lagi menggunakan BBM fosil itu, melainkan hanya menggunakan hidrogen tanpa karbon sehingga tidak menghasilkan pemanasan global.
Teknologi tersebut, kata Miftakhul Huda, sedang digalakkan di Jepang. Maka proyek penelitiannya gencar dilakukan agar teknologinya segera diterapkan. Sebab, program ke depannya adalah pembangunan jaringan pengisian bahan bakar hidrogen di semua wilayah Jepang.
Namun yang jadi masalah saat ini, mobil dengan teknologi fuel cell masih cukup mahal, setara dua kali harga mobil berbahan bakar bensin. Sebab, salah satu teknologinya memang masih mahal. Penelitiannya di bidang itu, di mana Miftakhul Huda masuk dalam tim tersebut, guna meningkatkan performa teknologinya tetapi dengan harga yang lebih murah.
Miftakhul Huda mengatakan, bahwa pengembangan dan pemanfaatan EBT di masa depan adalah sebuah keniscayaan, terutama dalam menanggulangi pemanasan global. Apalagi bagi negara dengan sumber energi terbatas seperti Jepang dan negara lain yang di masa mendatang kebutuhan energi meningkat sangat drastis karena jumlah penduduk yang semakin besar.
“Jepang sendiri akan mendiversifikasikan EBT-nya tidak hanya tenaga surya, tapi juga hidrogen,” katanya kepada global-news.co.id dan koran Global News, Rabu (8/3/2023).
Namun demikian, kata dia, pengembangan EBT harus melihat jangka panjang, melibatkan industri, dan juga meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) masyarakatnya. Jangka panjang artinya tidak sekadar ikut-ikutan yang tren sekarang tapi juga benar-benar bisa bermanfaat untuk jangka panjang sehingga nanti investasi yang besar tidak sia-sia ataupun harus investasi lagi untuk berganti yang lain.
“Sumber EBT-nya juga benar-benar bisa kontinyu dimanfaatkan dan juga infrastruktur untuk memanfaatkannya sedikit demi sedikit bisa mandiri dibuat di dalam negeri,” ujarnya.
Dia memberi gambaran soal tren EBT sekarang. Misalnya hanya sebatas merakit sel surya saja. Miftakhul Huda mengaku mendengar bahwa pemanfaat EBT hanya jadi tukang las maupun merakit sel surya saja. Hal ini jangan sampai terus menerus berlangsung. Dia lalu memberi contoh untuk EBT hidrogen. Tidaklah terlalu muluk-muluk ataupun bikin proyek besar mobil hidrogen.
“Semua sudah tahu. Zaman sekarang mobil tinggal rakit saja bisa. Tapi yang lebih penting bagaimana kita bisa meningkatkan TKDN (tingkat komponen dalam negeri, Red.) mobilnya. Bagaimana kita bisa menguasai teknologi dan menciptakan industri komponen mobil tersebut sehingga bisa diproduksi di dalam negeri untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pemerintah bisa memetakan komponen apa dari device maupun infrastructure pendukung untuk EBT tersebut yang bisa diproduksi dalam negeri. Dan membuat masterplan agar bisa memproduksi di dalam negeri di masa mendatang. Pemerintah harus bersama dengan industri besar mendorong pengembangan EBT yang sesuai denga kondisi dalam negeri,” katanya.
Intinya, kata dia, bagaimana pemanfaatan EBT bisa menggerakkan industri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Dia pun menegaskan lagi, bahwa kita jangan sampai hanya jadi tukang rakit dan las saja. Untuk itulah dibutuhkan riset yang mendalam.
“Negara maju sangat besar berinvestasi di dalam riset untuk menciptakan teknologi EBT. Hal ini karena telah terbentuk kerjasama kolaborasi pemerintah, industri dan perguruan tinggi. Sementara di Indonesia industri dan perguruan tinggi seperti jalan sendiri-sendiri. Pemerintah sudah seharusnya mengkoordinasikan kerjasama triplehelic ini agar kemajuan industri dan kemajuan riset bisa berjalan bersama-sama menciptakan nilai tambah material komponen yang diproduksi dan menciptakan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Dalam dunia riset, kata mantan Ketua PCI NU Jepang ini, kebijakan top down sudah terbukti tidak akan bisa memajukan Iptek. “Bagaimana pemerintah menciptakan ekosistem dan kompetisi riset di dalam masyarakat riset menurut hemat saya akan mendorong kemajuan Iptek,” katanya.
Masing-masing teknologi EBT, kata dia, memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Karena itu perlu penelitian lebih lanjut yang bisa sesuai untuk situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat Indonesia. Pemerintah perlu mendorong riset kolaborasi industri dan dunia perguruan tinggi agar tidak terjadi ketimpangan.
“Penelitian EBT itu tidak perlu dimulai dari yang wah seperti membuat mobil tenaga EBT. Tapi mulailah dari yang mendasar. Bisa mulai mendorong penelitian salah satu komponen solar cell, fuel cell produk lokal dalam artian bisa dipenuhi oleh sumber daya alam (SDA) lokal. Ada satu aja komponen EBT hasil penelitian di dalam negeri yang aplikatif dan bisa komersial, nilai tambahnya akan sangat besar,” katanya.
Program EBT PLN
Dalam forum “Japan RE Invest Indonesia 2023” yang digelar di Tokyo 3 Maret 2023, PT PLN (Persero) menjalin kolaborasi dengan Pemerintah Jepang untuk menyukseskan transisi energi di Indonesia. Kolaborasi ini membahas investasi yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem energi bersih atau EBT dan mencapai target net zero emission (NZE) di tahun 2060.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (BPSDM ESDM) Prahoro Nurtjahyo mengatakan energi baru terbarukan (EBT) merupakan salah satu prioritas pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.
“Transisi energi adalah salah satu pilar terpenting dalam rangkaian KTT G20 Indonesia tahun lalu. Hal ini akan tetap menjadi salah satu perhatian utama pemerintah kami untuk dibawa ke ASEAN Chairmanships tahun ini,” ungkap Prahoro dalam forum tersebut seperti dikutip dari rilis media dari Humas PLN yang diterima Redaksi global-news.co.id dan koran Global News.
Prahoro menjelaskan Indonesia mempunyai potensi sumber daya EBT yang melimpah, beragam dan tersebar luas, namun pemanfaatannya belum optimal. Untuk itu ada beragam pilihan investasi pengembangan EBT seperti panel surya, hidropower, hingga geothermal. “Ini akan dilakukan bersamaan dengan integrasi pembangunan dan industri daerah, menarik investasi, serta menciptakan lapangan kerja baru,” tambah Prahoro.
Deputy Commissioner for International Affairs, Ministry of Economy, Trade and Industry Jepang, Izuru Kobayashi, mengatakan, Jepang dan Indonesia telah sepakat menyusun kerangka kerja untuk mendukung transisi energi yang mulus dan realistis bagi negara-negara Asia. Mengingat energi bersih dan efisien merupakan pondasi penting untuk mendorong industri.
“Perdana Menteri Jepang, Fumia Kishida, dan Presiden RI Joko Widodo telah menyatakan akan mendorong NZE bersama. Kami ingin menyatukan kekuatan dengan negara-negara mitra, khususnya Indonesia, untuk menghasilkan proyek-proyek nyata dan peluang koordinasi kebijakan demi memajukan transisi energi kita,” kata Kobayashi.
Di samping itu, Kobayashi menilai Indonesia perlu meningkatkan jaringan dan jalur transmisi untuk menampung lebih banyak EBT masuk dalam sistemnya. Meskipun mengembangkan jaringan grid dan membangun jalur transmisi baru memang tidaklah murah, butuh waktu serta biaya.
“Mungkin tidak mudah untuk mengembangkan jalur transmisi yang sangat mahal ini, sehingga membutuhkan pinjaman lunak. Ini adalah tantangan yang sangat besar yang perlu ditangani oleh Indonesia,” jelas Kobayashi.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN, Evy Haryadi, menjelaskan seiring dengan NZE yang ditargetkan tercapai di 2060, PLN telah merancang strategi untuk menyukseskannya. Untuk jangka pendek 2021-2030 PLN menargetkan menambah pembangkit EBT hingga 20,9 GW yang akan didominasi oleh pembangkit hidro, geothermal, dan panel surya.
“Kami menggunakan beragam teknologi untuk meningkatkan produksi EBT di Indonesia. Untuk jangka pendek, kami telah membangun berbagai pembangkit EBT bersamaan dengan program dedieselisasi dan pensiun dini pembangkit batu bara,” ujar Haryadi.
Haryadi menambahkan, PLN telah menjalin kolaborasi dengan perusahaan Jepang seperti IHI Corporation dan Mitsubishi dalam penerapan co-firing hidrogen untuk PLTU. PLN juga berkomitmen untuk terus memenuhi peningkatan kebutuhan listrik, khususnya dari sektor bisnis dan industri. Saat ini, PLN menghadapi peningkatan permintaan EBT untuk industri padat energi seperti di Sulawesi dan Kalimantan.
“Seiring dengan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menghentikan ekspor sumber daya mineral seperti nikel dan bauksit, akan ada semakin banyak permintaan baru EBT untuk industri smelter. Seperti Sulawesi yang saat ini banyak sekali pabrik smelter baru dibangun, dan ini akan terus kami dukung pengembangannya,” tutup Haryadi.
Penjaminan Pinjaman
Yang juga menggembirakan PT PLN (Persero) memperoleh dukungan penjaminan pinjaman sebesar USD 500 juta dari Nippon Export and Investment Insurance (NEXI). Hal ini merupakan tindak lanjut dari kerja sama yang telah dijalin kedua pihak dalam menjalankan program dekarbonisasi.
Kerja sama ini diumumkan langsung oleh Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, bersama Atsuo Kuroda, selaku Chairman dan CEO NEXI, dalam agenda Asia Zero Emissions Community (AZEC) Ministrial Meeting and Public-Private Investment Forum pada 3 Maret 2023, di Tokyo, Jepang. Darmawan menjelaskan melalui kerja sama dengan NEXI, PLN mendapatkan dukungan penjaminan pinjaman sebesar USD200 juta untuk tahap awal. Dukungan penjaminan pinjaman ini dikhususkan untuk proyek energi bersih dan agenda dekarbonisasi yang dilakukan oleh PLN dalam rangka menuju Net Zero Emission pada tahun 2060.
“Melalui kerja sama ini, selain PLN mendapatkan penjaminan pinjaman, nantinya juga akan ada kerja sama teknologi terkait energi bersih. Adaptasi teknologi dari Jepang yang terdepan inilah yang dibutuhkan Indonesia dalam transisi energi,” ujar Darmawan.
Tujuan dari kesepakatan ini juga untuk menegaskan syarat dan ketentuan pinjaman, dan penggunaan dana sebesar USD200 juta dari NEXI sebagai tahap awal dari dukungan asuransi pembiayaan sebesar total USD500 juta yang diberikan kepada PLN. Kolaborasi ini sejalan dengan Inisiatif LEAD NEXI yang diluncurkan pada Desember 2020, yakni untuk memfasilitasi dekarbonisasi di Indonesia.
Darmawan juga menambahkan, melalui kerja sama ini, diharapkan hubungan antara PLN dan NEXI semakin erat. “Kesepakatan penjaminan ini dapat meningkatkan kepercayaan investor, dan diharapkan dapat juga mempererat hubungan ekonomi antara Jepang dan Indonesia melalui kerja sama yang solid antara PLN dengan NEXI,” kata Darmawan.
Chairman dan CEO NEXI Atsuo Kuroda mengatakan, MoU ini akan mengkonsolidasikan kerja sama PLN dan NEXI di dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Khususnya, kerja sama memfasilitasi pasokan transisi energi, pembangunan ekonomi, dan mendukung dekarbonisasi yang realistis di Indonesia.
“NEXI akan mendukung upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan Indonesia dengan meningkatkan Kolaborasi antara NEXI dan PLN,” kata Kuroda.
Sebelumnya, Memorandum of Understanding (MoU) tentang Kerja Sama di Bidang Penjaminan dan Asuransi Kredit Ekspor disepakati antara NEXI dan PLN pada 25 April 2022, dan kemudian diamandemen pertama kali pada 15 November 2022.
PLN juga mematangkan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) berkolaborasi dengan Jepang untuk bisa mempercepat eksekusi proyek transisi energi, salah satunya dengan menambah pembangkit EBT di Indonesia dan memensiunkan PLTU.
Darmawan Prasodjo menjelaskan PLN melakukan banyak agenda untuk bisa mengurangi emisi karbon, salah satunya lewat memensiunkan PLTU. Sejalan dengan itu, PLN sudah menunda 14,2 GW PLTU baru yang semestinya masuk ke sistem dan menggantikannya dengan pembangkit berbasis EBT.
“Strategi dan langkah kami dalam mengurangi emisi karbon sudah terbukti nyata. Melalui berbagai upaya yang sudah dan akan kami lakukan, kami menargetkan penurunan emisi hingga 9,8 juta ton CO2 pada tahun 2030 mendatang,” ujarnya.
Darmawan juga menjelaskan upaya penurunan emisi yang dilakukan PLN melalui teknologi co-firing di 52 PLTU milik PLN. Hingga 2025 mendatang PLN membutuhkan hingga 10,2 juta ton biomassa untuk bisa memenuhi kebutuhan co-firing.
PLN juga akan mengembangkan pembangkit EBT dan akan mendominasi bauran energi hingga 52 persen. PLN akan membangun 10,4 GW Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), 3,4 GW Pembangkit Listrik Panas Bumi dan 4,7 GW solar PV.
“Ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan membutuhkan kolaborasi bersama dengan global. Sebab, upaya pengurangan emisi yang kami lakukan ini berdampak langsung pada pengurangan emisi di Jepang, Eropa bahkan Amerika,” tegas Darmawan.
Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gigih Udi Atmo yang juga menjadi perwakilan dari JETP Secretary menegaskan bahwa PLN membutuhkan dukungan pendanaan dan kerja sama program untuk bisa memaksimalkan pengurangan emisi karbon.
PLN membutuhkan investasi yang besar untuk bisa menjalankan program transisi energi ini. Untuk itu, melalui inisiasi dari negara G20 terbentuklah JETP Secretary yang berada di bawah Kementerian ESDM. Melalui gugus tugas JETP ini, baik pemerintah Indonesia, PLN dan juga negara G20, khususnya Jepang akan memetakan proyek dan kebutuhan investasi dalam pengurangan emisi karbon.
“Kami akan menyelesaikan rencana investasi yang sangat komprehensif pada Agustus tahun ini. Kami dan PLN akan mengidentifikasikan proyek potensial untuk transisi energi ini,” ujar Gigih.
Gigih juga menilai, dalam memilih pembiayaan nantinya lewat mekanisme JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM) pemerintah dan juga PLN akan mengutamakan pembiayaan yang murah. Dukungan pihak global dalam menyediakan pembiayaan yang murah ataupun memperluas porsi hibah menjadi jalan tengah dalam menyukseskan agenda transisi energi ini.
“Tentu saja dengan pengembalian investasi yang menjanjikan dan juga keterjangkauan biaya yang membutuhkan dukungan nyata dari pihak global,” tegas Gigih.
Deputy Commissioner for International Affairs, Ministry of Economy, Trade and Industry Jepang, Izuru Kobayashi pun tak menampik tantangan besar Indonesia dan PLN dalam menjalankan proyek transisi energi ini. Kobayashi mengajak seluruh pihak untuk bisa mendukung transisi energi di Indonesia. “Langkah awal yang dilakukan Jepang dalam membantu Indonesia dalam menyelesaikan proyek transisi energi diharapkan bisa diikuti oleh langkah pihak lain sebagai upaya bersama mencapai target NZE,” tegas Kobayashi. (*)