SURABAYA (global-news.co.id) – Tiadanya jamban sehat menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG (K), selaku Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Pusat, mengungkapkan, dari identifikasi terhadap 4 daerah di Jawa Timur yang masuk kategori merah ternyata banyak keluarga yang belum memiliki jamban sehat. Empat kabupaten yang dimaksud, Bangkalan, Pamekasan, Bondowoso, dan Lumajang.
Penyematan status merah ini karena prevalensi stuntingnya di atas 30%. “Dibanding kabupaten lain di Jatim, di 4 kabupaten ini banyak yang belum punya jamban sehat. Saya ingin 4 kabupaten itu betul-betul sukses, pranikah sukses, hamil sukses dengan pendampingan, dan saya akan menambah 1 item yaitu perjuangkan bagaimana menurunkan jamban tidak layak tadi. Harus ada sentuhan khusus,” ujar Hasto di sela Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Indonesia (RAN Pasti) digelar BKKBN di Surabaya, Rabu (2/3).
Mengapa jamban? Hasto menjelaskan, orang yang tidak punya jamban, beraknya sering tidak terkontrol dengan baik. Dalam feses atau kotoran manusia itu terdapat bakteri escherichia coli. “Kalau beraknya mencar-mencar, bakteri itu akan dibawa terbang lalat mengontaminasi makanan dan menyebabkan diare. Bayi yang sering diare akan sakit-sakitan dan berat badannya nggak naik-naik. Jadi orang yang jambannya tidak bagus, lingkungannya terus diare,” paparnya.
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Stunting itu penting, karena menjadi bagian paling besar di antara error-nya manusia atau menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Stunting terjadi karena keluarga berisiko tinggi stunting. Yang dimaksud bukan keluarga yang punya anak stunting saja, tapi juga pasangan usia subur yang tidak punya jamban, tidak ada air bersih, kawin terlalu muda, terlalu tua tapi masih mau hamil, terlalu sering melahirkan. Mereka ini kalau hamil, berisiko melahirkan stunting.
Hasto menjelaskan, bayi stunting pada dasarnya organnya baik, kalau dirawat dengan benar tingginya bisa mencapai 170 cm, cerdas. “Gara-gara keluarga tidak mengurus dengan baik, akhirnya tinggi badan anak tidak mencapai 160 cm, otaknya tidak cerdas, nasibnya tidak jelas. Itulah perjuangan pemerintah, menangani mereka yang bernasib baik secara genetik, tapi tidak diurus dengan baik,” ujarnya.
Secara keseluruhan, angka stunting di Jatim sudah bagus 23,5%, lebih rendah dibanding angka nasional yang 24,4% pada 2021. Dikatakan, Jatim menjadi kontributor utama dari penurunan stunting secara nasional. Jika semua kalangan bertekad dan berjuang bersama-sama untuk mengatasi persoalan yang masih ditemui di lingkungan sekitar.
“Saya yakin Jawa Timur bisa karena pemerintah pusat secara serius menangani persoalan stunting dari sektor hulu hingga hilir. Peran pemerintah daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota, kecamatan, kelurahan hingga desa harus kita gerakkan untuk menurunkan angka stunting di masyarakat,” urai mantan Bupati Kulon Progo ini.
Tendensi penurunan angka stunting secara nasional menjadi 24,4% di tahun 2021 setelah sempat menyentuh angka 27,7% pada 2019, lanjut Hasto, adalah suatu hal yang harus disyukuri di tengah masih berkecamuknya pandemi Covid-19.
Diharapkan, di tahun 2023 nanti tren penurunan angka stunting bisa berada di angka 16% dan akhirnya di tahun 2024 nanti bisa menurun lagi menjadi 14%. Target nasional angka stunting tersebut, tidak saja menjadi target dan cita-cita Presiden Joko Widodo tetapi menjadi tekad semua pemangku kepentingan, termasuk di Jawa Timur. Dengan begitu, pada peringatan 100 tahun kemerdekaan RI (2045) kita mendapat bonus demografi, anak-anak yang saat ini remaja bisa menghasilkan SDM yang berkualitas.
Mendasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, di Jatim 4 kabupaten di kategori “merah” (prevalensi stuntingnya di atas 30%), sebanyak 18 kabupaten dan kota berstatus “kuning” (prevalensi 20-30%), di antaranya Sumenep, Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Kota Malang serta Nganjuk.
Sementara 15 kabupaten berkategori hijau (prevalensi 10-20%) seperti Ponorogo, Ngawi, Probolinggo, Trenggalek, dan Kota Batu. Dan hanya ada satu daerah berstatus biru yakni Kota Mojokerto dengan prevalensi di bawah 10%, tepatnya 6,9%.
Hasto menegaskan, angka stunting Jatim tidak jelek. “Jatim –bersama Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera Utara– masuk prioritas karena penduduknya banyak. Jadi bukan masuk 10 besar stunting. Sedangkan 12 provinsi masuk prioritas karena stuntingnya tinggi, di antaranya NTT, NTB, Sulawesi Barat, Aceh, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan,” katanya.
RAN Pasti menjadi acuan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting bagi Kementerian dan Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, serta pemangku kepentingan lainnya. Fokus sasarannya mengerucut pada 1 titik, keluarga yang punya balita stunting atau keluarga yang berisiko tinggi stunting –kalau hamil dan melahirkan akan melahirkan bayi stunting.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, meminta, penanganan stunting dari siklusnya memang harus dari remaja melalui pemberian tablet penambah darah untuk mencegah anemia bagi remaja putri, bagaimana intervensi pada saat kehamilan, intervensi gizi pada saat bayi balita yang siklusnya harus dipahami semua.
Hasto mengungkap, pada tanggal 11 Maret nanti pihaknya bersama Menteri Agama akan me-launching Program Prekonsepsi, kewajiban periksa 3 bulan sebelum menikah. “Jadi jangan hanya prewed (prewedding, red) saja yang habis puluhan juta, tapi ternyata calon mempelainya anemia. Kalau hamil plasentanya tipis bayinya jadi stunting, blas tidak minum vitamin, asam folat, vitamin tambah darah,” katanya.
Kapan seseorang dinilai layak hamil? “Cukup mudah, murah, hanya periksa lingkar lengan atas. Kalau kurang dari 23,5 cm, belum layak hamil. Tapi tidak dilarang, kalau sudah 22 cm ya tidak mengapa, tapi selama 3 bulan harus makan yang baik gizinya. Proteinnya, terutama yang protein hewani,” lanjutnya.
Khofifah juga berharap TPPS yang diketuai oleh Bappeda se-Jawa Timur ini bisa mengalirkan koordinasi ke semua Satuan Perangkat Daerah, apalagi sekarang sedang menyiapkan RKPD untuk 2023.
“Jadi jika penanganan stunting ini dialirkan ke RKPD 2023, pemetaan datanya update, kemudian intervensi programnya nendang, lalu support budget-nya cukup, sinergitasnya juga bagus, kalau Bahasa Bapak Kepala BKKBN itu konvergensi di antara seluruh stakeholder, bersama-sama melakukan percepatan penurunan stunting,” kata gubernur wanita pertama di Jatim ini.
Penanganan stunting ini melibatkan banyak OPD, bisa jadi ada OPD tertentu yang merasa tidak ada kaitan strategis. Karenanya Khofifah mengusulkan jika penurunan stunting ini dijadikan Program Prioritas Nasional, ada infrastruktur fisik PSN (Proyek Strategis Nasional).
“Jika penurunan stunting ini masuk Program Prioritas Nasional, seperti arahan Presiden, maka TNI dan Polri ini menurut saya bagus kalau juga mendapatkan penugasan yang sama, karena kita membutuhkan di tingkat yang paling bawah, Babinsa, Bhabinkamtibmas bersama bidan desa, bersama lurah dan kepala desa,” imbuhnya.
Khofifah menyebutkan, 4 pilar itu akan menjadi bagian yang sangat penting untuk menyisir agar stunting di masing-masing desa terpotret. Dengan begitu intervensinya juga jadi lebih bagus. (ret)