JAKARTA (global-news.co.id) – Sikap 59 negara yang melarang WNI masuk ke negaranya akibat pandemi COVID-19 dinilai harus menjadi bahan instrospeksi bagi pemerintah Indonesia. Apalagi, larangan itu diberlakukan karena angka kasus positif penularan virus Corona (COVID-19) di Indonesia tinggi.
“Penutupan WNI ke 59 negara tersebut merupakan momen kita untuk introspeksi terhadap penanggulangan pandemi COVID-19 di dalam negeri, yang belum menunjukkan penurunan grafik dari kasus positif COVID-19,” ujar Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan, Rabu (9/9/2020).
Namun, lanjut dia, bagaimanapun reaksi 59 negara itu juga harus dijadikan alat untuk mempersatukan Indonesia sebagai bangsa. “Karena kita sekarang sedang menghadapi masalah pandemi COVID-19, yang mana akan mempengaruhi harkat dan martabat bangsa kita di mata dunia,” katanya.
Farhan menilai Indonesia harus menghormati keputusan itu sebagai bentuk kedaulatan 59 negara tersebut. “Tapi pada saat bersamaan diplomasi harus tetap terjaga karena kita masih memerlukan hubungan luar negeri yang baik,” kata Politikus Partai NasDem ini.
Untuk diketahui sedikitnya 59 negara melarang warga Indonesia masuk ke negaranya akibat pandemi COVID-19. Hal ini berkaitan dengan tingginya angka kasus positif Covid-19 di Tanah Air.
Yang paling baru, negara yang membatasi kunjungan dari Indonesia adalah Malaysia. Larangan tersebut disampaikan Menteri Pertahanan Malaysia Ismail Sabri Yaakob dan berlaku mulai Senin, 7 September 2020.
Selain kunjungan warga negara Indonesia, Malaysia juga membatasi kunjungan dari Filipina dan India. Pemerintah setempat menilai kasus positif Corona di tiga negara tersebut meningkat tajam.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menganggap larangan tersebut adalah hak pemerintah setempat. Dia menjelaskan pemerintah juga menerapkan kebijakan serupa, yaitu membatasi akses masuk secara umum bagi warga negara asing demi mencegah penularan COVID-19. “Kami juga mengimbau warga negara Indonesia tidak melakukan perjalanan ke luar negeri kecuali kebutuhan mendesak,” katanya, Selasa (8/9/2020).
Negara lain yang membatasi kunjungan dari Indonesia antara lain Hungaria, Uni Emirat Arab, Jepang, Brunei Darussalam, Australia dan Afrika Selatan.
Duta Besar Indonesia untuk Hungaria Abdurachman Hudiono Dimas Wahab mengatakan larangan tersebut sempat dilonggarkan pada Agustus lalu dengan syarat pendatang melakukan dua kali tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Sayangnya, mulai September tahun ini, larangan tersebut kembali diperketat.
Retno menuturkan bahwa sejak ada larangan masuk dari 59 negara, Pemerintah Indonesia mencoba melobi negara lain agar melonggarkan aturannya sehingga, warga Indonesia bisa masuk kembali. Namun, banyak negara tetap menolak atau tak memberikan kepastian.
Bukan hanya karena tingginya jumlah kasus Corona di Tanah Air, sebagian negara juga mempertimbangkan kemampuan pemerintah Indonesia mengatasi wabah Corona.
Pemerintah mengumumkan adanya 3.046 kasus baru dibandingkan data pada Senin (7/9/2020). Angka tersebut menambah akumulasi jumlah kasus COVID-19 di Indonesia menjadi 200.035 kasus sejak pengumuman kasus perdana pada 2 Maret 2020. Adapun jumlah kasus suspek COVID-19 yang tercatat hingga 7 September sebanyak 90.952 kasus. Data pemerintah juga menunjukkan adanya penambahan pasien yang meninggal dunia akibat COVID-19. Tercatat, pasien meninggal bertambah 100 orang sehingga totalnya sampai saat ini menjadi 8.230 orang.
RS Mulai Kewalahan
Tren peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 kian mengkhawatirkan. Satu di antara dampaknya adalah kapasitas rumah sakit rujukan yang mulai kewalahan melayani pasien. Pemerintah diminta membuat langkah antisipasi guna memastikan pasien yang butuh perawatan tetap terlayani.
Seiring kian bertambahnya pasien positif secara otomatis ruang perawatan yang dibutuhkan juga kian bertambah. Kebutuhan terutama berupa ruang isolasi dan Intensive Care Unit (ICU). Kondisi paling mengkhawatirkan terjadi di Jakarta. Seiring jumlah pasien positif yang terus melonjak, 13 RSUD di ibukota saat ini difungsikan hanya menerima pasien COVID-19.
RSUD tersebut tidak lagi menangani pasien umum. Lonjakan kasus positif dalam beberapa pekan terakhir membuat bed occupancy rate atau angka keterisian rumah sakit di Jakarta sudah di atas 70% atau tidak lagi ideal. Tidak hanya di Jakarta, pemerintah juga dinilai perlu menyiapkan rumah sakit di daerah untuk melayani pasien COVID-19. Apalagi, kurva pasien positif diperkirakan belum akan melandai hingga akhir tahun ini.
Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) juga angkat suara perihal situasi terkini penanganan COVID-19. Sekretaris Jenderal PDPI Erlang Samoedro mengingatkan soal kapasitas rumah sakit. “Rumah sakit sudah penuh, banyak yang penuh karena lonjakan kasus tinggi. Di tempat lain juga mulai penuh,” ujar Erlang dalam diskusi di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Senin (7/9/2020).
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Syahrizal Syarief mengatakan melihat tren kecepatan penularan, maka pada akhir Desember 2020 jumlah kasus positif di Indonesia akan mencapai 500.000. Maka, lanjut dia, pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) harus melakukan diplomasi yang intensif dengan 59 negara tersebut. “Karena kita masih punya kepentingan strategis bagi WNI yang harus masuk ke negara-negara itu, baik kepentingan bisnis, pemerintahan dan pendidikan,” tutur mantan presenter sekaligus penyiar radio itu.
Seperti diketahui, sebanyak 59 negara memberlakukan pembatasan izin masuk warga negara asing, termasuk dari Indonesia. Di antaranya Malaysia, Arab Saudi dan Jepang. Pembatasan izin masuk itu untuk mencegah penularan virus COVID-19 yang saat ini masih melanda banyak negara di dunia. yan, ins, sin