DEN HAAG (global-news.co.id)-Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi membantah tuduhan pembantaian terhadap etnis Rohingya dalam sidang gugatan di Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) di Belanda. Meski demikian dia mengakui kemungkinan tentara telah menggunakan kekuatan secara berlebihan.
Di depan majelis hakim, peraih Nobel Perdamaian 1991 itu menolak tuduhan Gambia bahwa operasi militer Myanmar pada 2017 lalu merupakan upaya untuk memusnahkan Rohingya. “Sangat disayangkan Gambia telah menempatkan di hadapan pengadilan sebuah gambaran yang menyesatkan dan tidak lengkap tentang situasi di negara bagian Rakhine,” kata Suu Kyi yang mengenakan pakaian tradisional Myanmar dan bunga-bunga di rambut dikutip dari AFP, Rabu (11/12/2019).
Berbicara di ruang sidang berpanel kayu, wanita 74 tahun itu mengatakan Myanmar sedang menghadapi “konflik bersenjata internal” di tempat dugaan kekejaman itu terjadi. “Tentunya dalam situasi ini niat genosida tidak bisa menjadi satu-satunya hipotesis.”
Dalam sidang perdana kemarin, Gambia meminta ICJ membuat perintah darurat demi melindungi etnis Rohingya sambil menunggu keputusan apakah mahkamah tersebut akan melanjutkan kasus itu secara lebih luas.
Sebelumnya, Gambia memaparkan bahwa pihaknya mengajukan gugatan tersebut atas nama 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya.
Gambia mengadukan Myanmar ke ICJ atas tuduhan melanggar Konvensi Genosida PBB 1948 melalui operasi militer brutal yang menargetkan minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine.
Myanmar terus menjadi sorotan dunia setelah krisis kemanusiaan yang menargetkan etnis Rohingya dan minoritas Muslim lainnya di Rakhine kembali memburuk pada pertengahan 2017 lalu.
Krisis kemanusiaan itu dipicu oleh operasi militer Myanmar yang ingin meringkus kelompok teroris pelaku penyerangan sejumlah pos keamanan di Rakhine. cnn