SURABAYA (global-news.co.id) – Jurnalistik yang belum berpihak pada gender masih kerap muncul di media cetak maupun online. Ini bisa dilihat dari judul-judul berita yang menggunakan kosa kata yang bombastis terutama yang menyangkut perempuan dan cenderung menjadikannya sebagai objek.
Kepala Bidang Partisipasi Media Cetak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Susanti, mencontohkan judul berita Diplomat Cantik Indonesia ini Tampar 6 Pemimpin Negara atau Siapa Polwan Cantik di Tengah Aksi Teror Bom di Bandung atau Modal Rp 3 Ribu, Kakek Hamili Tetangga. Yang ditampilkan lewat berita-berita tersebut mengandung pelabelan atau stereotipe, yang cantik itu lebih dan juga mengesankan perempuan sebagai objek ekonomi yang bisa diperjualbelikan.
“Kalau di media itu perempuan harus cantik, cantik itu identik dengan langsing, yang cantik itu pintar. Sehingga untuk cantik, apa pun dilakukan, semua obat diminum supaya langsing. Padahal yang gemuk juga banyak yang pintar, punya prestasi. Tapi karena media lebih mengedepankan cantiknya, sehingga memengaruhi opini bahwa perempuan itu cantik, lemah, atau langsing,” ujarnya dalam Pertemuan Peningkatan Pemahaman Pengarusutamaan Gender yang digelar Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kependudukan Jawa Timur, Selasa (3/12/2019).
Hal senada diungkapkan Dr Liestianingsih Dwidayanti, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Dia menyayangkan, dalam satu dekade bias gender di media tidak banyak berubah. Media konvensional maupun media baru masih tetap menonjolkan fisik seperti cantik, langsing ketimbang karyanya. Dia contohkan judul berita dari satu media Deretan Fakta Risa Santoso Rektor Muda & Cantik ITB Asia Malang Pernah Jadi Staff Kepresidenan.
Begitu pun di acara semacam infotainment, perempuan lebih banyak ditampilkan sebagai topik bahasan. “Lewat media feminitas seperti dihadapkan pada maskulinitas, sehingga dalam masyarakat terbentuk stereotipe. Perempuan yang ke kantor membawa anaknya ke kantor akan dicemooh,”tu kan dia nggak bisa meninggalkan urusan domestiknya.” Sebaliknya ketika melihat laki-laki ke kantor membawa anaknya , akan dipuji-puji sebagai sayang anak,” ujarnya.
Lies menyebut, ketidakadilan gender ini muncul salah satunya karena media. Begitu kuatnya media menciptakan dan mendeskripsikan stereotipe mengenai laki – laki dan perempuan.
Produk berita yang kerap memunculkan bias gender ini juga tak lepas dari masih munculnya isu gender di ruang redaksi. Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis menyebut ada sejumlah isu yang muncul setiap kali berbicara soal jurnalisme dan sensitif atau responsif terhadap isu gender. Pertama karena ruang redaksi masih dikuasai secara jumlah oleh jurnalis laki-laki. Unsur pimpinan di media massa masih didominasi jurnalis laki-laki. Sementara jurnalis perempuan dianggap kurang tajam dalam penciuman berita dan memiliki keterbatasan meliput di lapangan/bidang tertentu seperti politik.
Keberadaan berita dengan judul yang sifatnya labeling pada perempuan itu diakui Susanti tak selalu dilakukan jurnalis laki-laki. “Bisa juga dilakukan jurnalis perempuan, tidak selalu laki-laki. Bisa karena orientasi keuntungan yang bisa diraih lewat judul itu, bisa juga karena dia memang buta gender,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Susanti, upaya pembangunan media yang sensitif gender harus dilakukan pada dua level sekaligus yaitu content dan institusi media itu sendiri. Dia menyebut, untuk mewujudkan media massa yang berbasis/responsif gender, kebijakan yang diambil adalah membangun kesepahaman, kerjasama dan sinergitas dari para pelaku utama penyelenggaraan Pengarusutamaan Gender (PUG) media massa. Dalam konteks media massa di daerah, dua institusi yang harus dilibatkan tentu saja utamanya adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan serta Lembaga Media Massa.
Adanya PUG di media, setidaknya bisa mendidik masyarakat untuk sadar gender. Bagaimana caranya, dengan membuat liputan-liputan tentang isu gender dan mengurangi berita yang sifatnya bias gender seperti berita yang bombastis tapi isinya tidak ada.
“Selain itu juga mendorong pembentukan pemantau media (media watch) terkait isu-isu gender dalam produk jurnalistik media yang teridiri dari unsur masyarakat umum, kalangan akademisi dan aktivis gender, lembaga penelitian serta kalangan lain yang peduli pada persoalan gender dalam media,” katanya.ret,tis