JAKARTA (global-news.co.id) – Temperatur udara di sejumlah daerah di Indonesia terasa lebih dingin dari biasanya. Fenomena tersebut dikait-kaitkan dengan Aphelion. Lalu apa aphelion itu?
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan aphelion merupakan fenomena di mana posisi bumi berada pada titik terjauh dengan matahari.
“Orbit bumi kan tidak sepenuhnya lingkaran sempurna, tapi bentuk elips. Jadi ada jarak terdekat dengan matahari disebutnya perihelion yang terjadi setiap Januari, dan ada jarak terjauhnya dari matahari yang disebutnya aphelion yang terjadi setiap bulan Juli,” kata Thomas seperti dikutip dari detikcom, Sabtu (7/7/2018).
“Jadi itu kejadian rutin setiap tahun. Bumi berada pada jarat terdekatnya (dengan matahari) pada bulan Januari dan terjauh pada bulan Juli,” sambung Thomas.
Dia mengatakan tak ada dampak signifikan dari fenomena aphelion terhadap bumi. Thomas menyatakan suhu dingin yang saat ini terjadi disebabkan oleh embusan angin dari bagian selatan bumi yang sedang mengalami musim dingin. “Tidak ada dampak yang signifikan pada bumi. Jadi suhu dingin belakangan ini dan nanti sampai dengan Agustus itu adalah hal yang biasa terjadi pada musim kemarau. Karena posisi matahari saat ini berada di belahan utara, maka tekanan udara di belahan utara itu lebih rendah dibanding belahan selatan yang sedang musim dingin. Maka, angin bertiup dari arah selatan menuju utara dan saat ini angin yang bertiup itu dari arah Australia yang sedang musim dingin. Maka dampaknya ada efek pendinginan khususnya di Pulau Jawa dan itu yang sekarang terjadi,” tuturnya.
Thomas menjelaskan posisi bumi yang berada pada titik terjauh dari matahari juga tak mempengaruhi panas yang diterima bumi. Menurutnya, panas yang dipancarkan matahari ke bumi itu bakal terdistribusi ke seluruh bagian bumi, meski terpengaruh oleh pola angin yang kebetulan saat ini bertiup dari belahan bumi bagian selatan.
“Panas dari matahari kan terdistribusi ke seluruh bumi. Dan distribusi yang paling signifikan mempengaruhi itu dari pola angin. Jadi karena saat ini angin bertiup dari arah selatan yang musim dingin maka kita akan merasakan suhu yang lebih dingin,” tuturnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mulyono R. Prabowo menyebut suhu udara dingin di tengah musim kemarau sebagai fenomena alamiah dan tak ada kaitannya dengan aphelion.
“Sebenarnya fenomena aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Di waktu bersamaan wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah Aphelion memiliki dampak ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Suhu dingin yang terjadi di puncak musim kemarau (Juli-Agustus) menurut Mulyono merupakan fenomena alamiah. Pada 1-5 Juli 2018 di beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan suhu hingga mencapai 15 derajat Celcius.
Suhu terendah di beberapa daerah yang berada di dataran tinggi seperti Ruteng (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan) bahkan menyentuh 12 derajat Celsius.
Mulyono menjelaskan penurunan suhu yang terjadi tak ada kaitannya dengan fenomena Aphelion, namun hanya karena kandungan uap atmosefer yang sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan sehingga kandungan uap air yang sedikit di atmosfer menyebabkan energi radiasi pada malam hari tak tersimpan dan memicu peningkatan suhu di malam hari.
Kondisi ini bertolak belakang dengan musim hujan atau peralihan yang dalam hal ini kandungan uap air di atmosfer cukup banyak.
Selain itu, cuaca dingin pada malam hari di bulan Juli juga menadpat pengaruh dari musim dingin yang tengah terjadi di wilayah Australia. Pola tekanan udara tinggi di negara Kangguru tersebut menyebabkan pergerakan massa udara menuju Indonesia. Hal inilah yang berimplikasi pada penurunan suhu yang relatif signifikan di malam hari di beberapa wilayah seperti Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Selain suhu cuaca lebih dingin, fenomena embun beku yang terjadi di lereng pegunungan Dieng juga disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung.
Saat puncak kemarau, umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi menjadi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa sehingga menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan.
Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.
“Uap air di udara akan mengalami kondensasi pada malam hari dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat,” imbuhnya. (cnn/dtc)