SURABAYA (global-news.co.id)-Rencana pemerintah pusat mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk gula tebu, mendapat ‘penolakan’ dari Gubernur Jatim, Soerkawo. Menurutnya, kebijakan tersebut kurang tepat dan bukan menjadi solusi menutup defisit Anggaran Belanja Negara (APBN.
“Saya tak setuju tapi bukan protes karena mereka (petani tebu) itu orang kecil yang harus dilindungi, dan didorong ekonomininya meningkat, supaya daya belinya juga meningkat, bukan malah sebaliknya,” ujar Soekarwo, Rabu (19/7/2017).
Pakde Karwo sapaan Gubernur Jatim ini, menilai di tengah kondisi krisis ekonomi yang melanda berbagai negara dunia termasuk Indonesia. Upaya yang tepat dilakukan pemerintah untuk menutup defisit anggaran adalah melakukan restrukturisasi moneter.
“Caranya, suku bunga harus murah dan pajak untuk orang kecil harus nol dan pendapatan masyarakat dinaikkan sehingga daya beli mereka juga ikut naik. Bukan malah uang dipajeki itu konsep yang salah,” tegas Doktor Honoris Causa bidang Ekonomi dari Unair Surabaya ini.
Ia mencontohkan bunga kredit perbankan sulit dijangkau UMKM karena masih diatas 10% yakni kisaran 14-15% sehingga UMKM pasti kalah efisien dengan pabrik besar yang berdampak cost produksinya mahal. “Idealnya bunga bank itu dikisaran 4-5% sehingga bank bisa beri kredit dengan bungah dibawah 10%. Kalau sekarang khan berlaku liberalisasi sehingga UMK pasti kalah efisien dan pabrik besar sehingga cost produksinya tinggi,” dalih Pakde Karwo.
Kebijakan bunga bank murah juga harus diikuti dengan gerakan nasional supaya masyarakat membeli produk buatan dalam negeri. Tujuannya, supaya UMKM dan pabrik-pabrik di dalam negeri bisa terus berproduksi sehingga bisa menyerap lapangan kerja. “Membeli produk dalam negeri itu bagian dari sikap Nasionalisme yang perlu terus kita dorong bersama,” tambah mantan Sekdaprov Jatim.
Di sisi lain, pihaknya lebih setuju jika pemerintah mencari hutangan ke luar negeri untuk menutup defisit anggaran. Tujuannya, supaya cash flow cukup, lalu pemerintah mengeluarkan Surat Utang Negara (SUN) dan Obliglasi Ritel Indonesia (ORI) sehingga deposito akan lagi ke SUN dan ORI dan bank tak kekurangan liquid.
Terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, bahwa petani dan pengusaha tebu se-Jawa mengancam akan berunjuk rasa di Istana Presiden jika pemerintah tidak segera mencabut kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk gula tebu.
“Kalau tidak ada tanggapan dari pemerintah, kami akan membawa petani sebanyak 5.000 ke Istana Presiden. Kami meminta gula tani segera dibebaskan dari PPN 10 persen,” jelas Soemitro Samadikoen.
Menurut Soemitro, langkah itu ditempuh karena pihaknya sudah bertemu menteri terkait beberapa waktu lalu. Saat itu, dari kementerian menyatakan bahwa kebijakan pengenaan PPN itu tidak akan diubah kecuali ada keputusan dari Presiden.
Sebelum menggelar unjuk rasa ke istana, lanjut Soemitro, APTRI memberikan batasan waktu hingga akhir bulan Juli kepada pemerintah untuk mencabut kebijakan tersebut.
Ia mengklaim saat ini para tokoh nasional, ketua partai politik, dan anggota DPR RI tengah memperjuangkan agar pemerintah mencabut peraturan itu.
Kebijakan pemerintah semestinya membawa perubahan, misalnya terkait besarnya rendemen dan penetapan harga gula lokal yang lebih tinggi dibanding gula impor. “Daging impor dijual dengan harga Rp 80.000. Tetapi daging lokal boleh dijual Rp 120.000. Bukankah ini karena peternak lokal belum seefesien mereka, makanya bisa dijual mahal daging lokal. Kondisi serupa seharusnya diterapkan pada gula sehingga bisa membangun swasembada gula?” tegas Soemitro.
Ia meminta pemerintah segera menetapkan gula sebagai bahan pokok yang bersifat strategis sehingga tidak dikenai PPN sampai di mana pun.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat APTRI, Arum Sabil mengaku akan menagih janji Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% terhadap gula tebu. Sebab pada 31 Mei lalu, Sri Mulyani bertemu dengan DPP APTRI dan membahas mengenai ketentuan pengenaan PPN 10% gula tebu.
Dalam pertemuan tersebut, kata Arum, Sri Mulyani menjanjikan petani tebu rakyat yang merugi atau memiliki pendapatan di bawah Rp 54 juta pertahun dibebaskan dari kewajiban membayar PPN 10%. “Rata-rata lahan petani tebu di Indonesia 2 hektare dengan pendapatan di bawah Rp 54 juta per tahun,” kata pria asli Jember.
Diakui Arum, pemicu utama rencana pengenaan PPN 10% untuk gula tebu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Bernomor 39/PUU-X1V/2016 mengenai hasil uji materi tentang Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 pasal 4A ayat (2) tentang barang yang tidak dikenai PPN. Dalam putusan pada Februari 2017, MK menegaskan barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyat banyak tak dikenakan PPN.
“Walau tak spesifik MK menyebutkan jenis barang pokok, tapi secara dejure dan defacto, gula adalah termasuk kebutuhan pokok utama dan tidak terpisahkan dari putusan MK tersebut,” pungkasnya. * nas