Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata wayang? Ya, umumnya orang membayangkan benda pipih terbuat dari kulit yang kemudian disebut sebagai wayang kulit. Selain wayang kulit, ada juga wayang golek, wayang orang, wayang beber, dan wayang potehi.
Para seniman asal Perancis ini punya cara tersendiri menampilkan sosok wayang menurut versi mereka. Para seniman Prancis yang tergabung dalam Le Remouleurs bekerjasama dengan beberapa seniman Indonesia di panggung terbuka Taman Budaya Jatim Jl Gentengkali, Rabu (4/5/2016) malam, menampilkan wayang layang.
Seperti namanya, wayang layang, pementasannya menggunakan geber yang melayang seperti layang-layang. Sementara pesan disampaikan dengan bantuan perangkat overhead projector (OHP) yang diproyeksikan ke media yang berbentuk burung dan melayang-layang di udara dengan diusung 17 balon helium.
Pertunjukan wayang layang bertajuk L’Oiseau (Sang Burung) ini menggunakan geber berbentuk burung yang memiliki bentangan sayap sepanjang 8 meter. Selain balon helium, burung raksasa ini dikendalikan oleh “dalang” yang terdiri empat orang yang kompak terus bergerak dinamis sembari mengulur dan menarik tali layangan hingga burung bisa terbang ke sana ke mari di angkasa, dari posisi rendah hingga ketinggian sekitar 10 meteran. Laser grafis berwarna-warni yang ditembakkan ke sekujur bidang putih membuat aksi si burung semakin memikat.
Lewat badan burung itulah, pesan-pesan sosial bertema pendidikan, perdamaian, keadilan, disampaikan ke puluhan penonton yang menyaksikan dari bawah. Dan pertunjukan jadi semakin hidup dengan iringan musik etnis techno yang diciptakan grup musik Senyawa asal Yogyakarta dan pernah tampil di Melbourne International Jazz Festival 2011.
Mengapa burung? Anne Bitran, salah saorang konseptor kesenian ini menyebut, burung memilik banyak makna. “Dia lambang kebebasan, lambang perdamaian,” ujar Anne yang juga berperan sebagai “dalang”.
Aksi sang burung juga menegaskan, tak ada batasan maupun aturan baku di bidang seni. Setiap pegiat seni leluasa berkarya sesuai imajinasi dan estetikanya.
Sebagaimana dikatakan Renitasari Adrian, program director Bakti Budaya Djarum Foundation, L’Oiseau merupakan pertunjukan seni budaya dua negara Indonesia – Prancis. Dalam hal ini Le Remouleurs yang beranggotakan Bitran, Gallia Vallet, Olivier Vallet berkolaborasi dengan seniman Indonesia yang terdiri dari Bob dari komunitas Marjinal Kolektif (Jakarta), Heri Dono, Rangga Jadoel, dan Sugeng Utomo (Yogyakarta), Gepeng Dewantoro dan Wayang Moteker (Bandung).
Heri Dono mengaku butuh waktu sekitar 1 bulan untuk bisa kompak membawakan pertunjukan ini. “Setelah itu kami tampil di Yogyakarta dan Jakarta. Dari Surabaya kami akan ke Bandung dan Bali,” ujarnya.
Vokalis Senyawa, Rully, mengaku ini merupakan pengalaman dan menjadi tantangan menarik baginya. “Biasanya kami hanya bermusik sendiri, tapi kali ini tidak. Kami harus bisa bermain musik tapi tidak menonjolkan musik karena ini bukan pertunjukan musik,” terangnya.
Rully menjelaskan ia harus memperhatikan alur cerita Sang Burung dan visualisasi untuk dapat membuat musik yang sesuai. Senyawa menghabiskan waktu dua minggu untuk latihan bersama Les Remoulers.
“Selama latihan kami selalu melihat gerakan wayang akan seperti apa. Kami membuat musik yang lebih air agar menyatu dengan adegan,” lanjut Rully.
Pertunjukan wayang layang L’Oiseau ini merupakan sajian pembuka dari kegiatan Festival Printemps Francais 2016 yang digelar Institut Francais Indonesia (IFI) di 10 kota di Indonesia.
“Dengan hadirnya pertunjukan wayang layang di 5 kota, kami berharap bisa menginspirasi para seniman untuk bereksplorasi dalam karyanya. Lebih dari itu, kami ingin penonton yang hadir, khususnya generasi muda dapat lebih mengenal dan turut melestarkan budaya,” tambah Renita. Retno Asri Lestari