Global-News.co.id
Opini Utama

Refleksi Kemerdekaan RI ke-80 : Ancaman Utang yang Makin Mencekam

Fadali Rahman
(Dosen Magister Manajemen Universitas Madura)

Oleh: Fadali Rahman
(Dosen Magister Manajemen Universitas Madura)

TAHUN ini, bangsa Indonesia merayakan delapan dekade kemerdekaannya. Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah negara yang merdeka dari penjajahan kolonial untuk kemudian membangun dirinya menjadi bangsa yang bermartabat, sejahtera, dan berdaulat.

Di balik semangat peringatan kemerdekaan ke-80 ini, ada satu persoalan besar yang tidak bisa kita abaikan: utang negara Republik Indonesia yang kian menggunung.

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan buah perjuangan panjang rakyat menolak penindasan dan penjarahan sumber daya bangsa. Generasi terdahulu berkorban jiwa dan raga demi satu kata: Merdeka.

Namun, seiring berjalannya waktu, makna kemerdekaan tidak lagi semata bebas dari kolonialisme asing, tetapi juga bebas dari ketergantungan finansial yang mengancam kedaulatan bangsa.

Pada momen peringatan 80 tahun kemerdekaan ini, Pertanyaannya apakah kita sungguh sudah merdeka dalam artian yang lebih luas termasuk merdeka secara ekonomi?

Bom Waktu Utang Negara

Hingga pertengahan dekade ke-8 kemerdekaan ini, total utang pemerintah pusat Republik Indonesia sudah melampaui angka Rp10 ribu triliun. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang masih di bawah 60% yang ditetapkan sebagai ambang batas aman, tetapi tren pertumbuhannya semakin curam. Bahkan, bunga utang yang harus dibayar setiap tahun terus meningkat, memakan porsi signifikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Utang negara pada dasarnya menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi akselerator pembangunan, terutama untuk membiayai proyek infrastruktur strategis, pendidikan, dan kesehatan. Namun di sisilain, beban utang yang besar akan menekan ruang fiskal pemerintah untuk membiayai program sosial, subsidi, serta kebijakan-kebijakan pro rakyat. Inilah yang membuat kita patut waspada.

Kemandirian Ekonomi

Delapan puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan pembenahan struktural. Namun, realitanya, kita masih terjebak dalam siklus defisit anggaran yang mengharuskan pemerintah berutang. Ketergantungan pada pembiayaan utang menjadi refleksi bahwa struktur ekonomi kita belum sepenuhnya kokoh.

Sebagai contoh, penerimaan pajak masih belum optimal dibandingkan potensi ekonomi nasional. Tax ratio Indonesia selama bertahun-tahun hanya berkisar 9–11%, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara dengan tingkat pembangunan setara. Ketika pendapatan negara seret, pilihan yang tersisa hanyalah berutang. Dalam jangka panjang, ini adalah pola yang tidak sehat.

Utang dan Kedaulatan Politik

Utang negara bukan hanya persoalan fiskal, tetapi juga persoalan kedaulatan politik. Ketika sebuah negara terlalu bergantung pada pinjaman luar negeri, sering kali muncul tekanan politik yang membatasi ruang gerak diplomasi. Investor dan kreditur asing dapat menggunakan leverage utang untuk memengaruhi kebijakan dalam negeri.

Inilah mengapa Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, selalu menekankan pentingnya berdikari dalam bidang ekonomi. Dalam pidatonya, ia berkali-kali mengingatkan bahwa imperialisme di era modern tidak selalu datang dalam wujud penjajahan fisik, tetapi juga dalam bentuk dominasi ekonomi.

Kini ancaman itu menjadi semakin nyata. Tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar instrumen utang Indonesia diterbitkan dalam denominasi valuta asing. Artinya, gejolak kurs dan kenaikan suku bunga global akan langsung berdampak pada beban utang. Situasi geopolitik yang tidak menentu, perang dagang, hingga ketidakpastian ekonomi dunia membuat posisi fiskal Indonesia semakin rentan.

Menyusun Ulang Arah Kebijakan

Peringatan 80 tahun kemerdekaan harus menjadi momentum mawas diri. Pemerintah dan seluruh elemen bangsa perlu bersama-sama mencari terobosan agar ketergantungan pada utang bisa dikurangi secara bertahap. Ada beberapa langkah konkret yang patut diperjuangkan:

Pertama Meningkatkan tax ratio melalui reformasi perpajakan yang lebih adil, sederhana, dan transparan. Digitalisasi pajak serta pemberantasan kebocoran penerimaan negara harus menjadi prioritas.

Kedua Mendorong hilirisasi industri agar nilai tambah sumber daya alam tetap di dalam negeri, meningkatkan ekspor, dan memperkuat cadangan devisa.

Ketiga Memperkuat pembiayaan alternatif di luar utang, seperti skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) yang dikelola secara transparan dan akuntabel.

Keempat Meningkatkan efisiensi belanja negara, memastikan setiap rupiah benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat. Terakhir Membangun budaya hidup sederhana dan menghindari proyek-proyek mercusuar yang tidak mendesak.

Delapan puluh tahun merdeka, yang diperoleh masih secara politik, kita masih tertatih mengejar kemerdekaan ekonomi. Utang negara adalah salah satu cermin ketergantungan yang harus ditangani dengan kebijakan bijak, keberanian moral, dan komitmen kolektif.

Karena pada akhirnya, arti kemerdekaan yang sejati bukan sekadar perayaan seremoni tahunan, melainkan kemandirian bangsa untuk menentukan masa depannya sendiri tanpa tekanan, tanpa paksaan, tanpa ketergantungan pada utang yang mencekik. (*)

baca juga :

Lintas Generasi di Sidoarjo Dukung Sukseskan KTT G20

Redaksi Global News

Kementerian Pertanian Gelontorkan 197 Ton Benih Padi ke Petani Banyuwangi

Guru Besar Unair Dorong Perkuat Kekebalan Tubuh dengan Empon-empon

Redaksi Global News