Global-News.co.id
Cahaya Ramadhan Utama

Laporan dari Jerman: Pernah Puasa Ramadhan 20 Jam, Tahun Ini Alhamdulillah 14 Jam

Durasi menjalankan ibadah puasa Ramadhan di Jerman bisa berbeda setiap tahunnya. Kadang mirip di Indonesia sekitar 13-14 jam, tapi kadang sampai 19-20 jam. Tergantung musim.

Oleh Gatot Susanto

BULAN Maret di Jerman merupakan awal musim semi (spring). Namun cuaca di bulan Ramadhan sekarang cukup terik. Salah seorang diaspora Indonesia di Jerman, Ning Nur Yuchanna (Ning Yoan), menjelaskan, durasi puasa Ramadhan berbeda sebab musimnya berbeda setiap tahun.

“Musimnya beda-beda tiap tahun.Paling pol 20 jam. Namun puasa atau ibadah apa pun itu tidak memberatkan. Boleh dilakukan sekuat tenaga, jika sudah tak mampu boleh membatalkan, tetapi tentunya wajib qodlo. Saat Winter (musim dingin) pendek (durasinya) loooh…!” kata Ning Yoan kepada Global News, Rabu (19/3/2025).

Ning Yoan, yang menjabat Ketua PCI Fatayat NU Jerman mengatakan, bahwa durasi puasa Ramadhan 1446 Hijriyah sekarang tidak terlalu panjang bila dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hampir sama dengan Indonesia, sekitar 13-14 jam saja.

“Tahun ini Alhamdulillah puasanya tidak panjang dibanding tahun-tahun lalu. Sekitar 13-14 jam saja. Kami mengisi Ramadhan dengan kajian online yang aktif, dan mengadakan bukber (buka puasa bersama) di beberapa kota, juga salat Taraweh berjamaah,” katanya.

Kajian agama itu semacam Kultum hingga membaca Al Quran, sebelum acara bukber. Buka puasa bersama dilakukan secara bergiliran antar-diaspora di sejumlah kota. “Menunya ada yang membawa sendiri-sendiri, ada yang memasak sendiri, ada yang mampir ke restaurant. Sedang kajian online ada membahas kitab Arbain-nya Yai Nawawi, ada tadarus, tafsir, dan lain-lain,” ujarnya.

PCI Nahdlatul Ulama (PCI NU) Jerman sendiri, kata Ning Yoan, mengadakan Pesantren Kilat. Selama Ramadhan 1446 H ini hampir setiap hari ada kegiatan agama. Misalnya setiap pagi ada Syarah Arbain Nawawi dan tadarus Al Quran oleh Gus Muh dan Ibu Nyai Chusnul. Lalu ada pula Ngaji Kitab Syajarat Al Ma’arif oleh KH Syaeful Fatah.

Selain itu Ngaji Kitab Sullamut Taufi oleh Ustad Dias, Kajian Tematik oleh Ustad Muhammad Iqro, dan Kajian Kitab Adabul Alim Muta’alim oleh Ustad Abib. Ada pula Ngaji Kitab Syarah Al Barzanji oleh Ustad Zaki, Kajian Seri Kehidupan Nabi Muhammad SAW oleh Gus Miftah, Ngaji Kitab Maqsidur Ri’ayah oleh Gus Oding, Kajian Tafsir Al Quran oleh Ustad Dr Faizah Ali MA dan Ngaji Kitab Bareng KH Ma’ruf Khozin.

“Untuk Ramadhan tahun ini saya kebagian Kajian Tematik membahas sholawat Thibbil Qulub pada hari Ahad,” ujarnya. Kajian Tematik hari Minggu selain diisi oleh Ning Joe (Yoan), juga oleh Syarifah Afifah dan Ustadzah Yulia.

Ning Yoan aslinya dari Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Dia merantau ke Jerman tahun 2004, menyusul mama dan papa serta dua adiknya yang sudah lebih duluan di Jerman sejak 2001. “Saya ke Jerman dalam rangka melanjutkan pendidikan. Ya, kuliah di kota kami, Bielefeld ini. Saya kuliah di Universitas Bielefeld, jurusan Bahasa & Sastra Jerman dan pendidikan,” katanya.

Selain mendapat ilmu, selama tinggal di Jerman, Ning Yoan juga diberi atau dipertemukan dengan jodohnya oleh Allah SWT. “Suami saya orang berkewarganegaraan Jerman-Lebanon. Mama suami orang Jerman dan papanya orang Lebanon. Mama mertua saya mualaf sewaktu menikah dengan papanya suami saya. Suami lahir di Hannover, Jerman, tetapi tumbuh besar di Lebanon. Ketika dia berumur 19 tahun, pada 2005 dia datang ke Jerman untuk melanjutkan pendidikannya,” ujarnya.

Selain aktif mengikuti kajian Ramadhan, Ning Yoan juga aktif “kampanye” Sholawat keliling Jerman. Jamaahnya bukan hanya orang Indonesia di negeri Der Panzer itu saja, melainkan ada pula warga asli Jerman yang mualaf. Lalu, ada juga orang dari Maroko, Tunesia, Litauen (Lithuania), Palestina, dan Turkey.

Dia mengadakan pengajian di kota tempat tinggalnya, Kota Bielefeld, hampir setiap hari Jumat. Tempatnya di rumahnya dengan mengajak jamaah membaca tawassul, Asmaul Husna, membaca Yasin, dan diakhiri sholawatan. Mereka, para jamaah ini, kebanyakan mahasiswi dari Indonesia, tapi ada juga beberapa ibu-ibu yang menetap (diaspora Indonesia) karena menikah dengan laki-laki Jerman. Sesekali dia pun berkunjung ke rumah teman-teman Indonesia di sekitar Jerman ini.

“Dan, di sana pun saya sering mengajak untuk membuat pengajian kecil, yang diisi dengan sholawatan. Lalu, setiap Selasa, saya mengajak ibu-ibu dari kota saya untuk bertemu di Masjid Kota Bielefeld, tempat kami tinggal. Tujuannya untuk bertemu bersama anak-anak balita mereka. Nah, di situ pun saya mengajak mereka untuk belajar Al Quran dan sholawatan. Mereka ini dari berbagai macam kewarganegaraan. Jadi bukan hanya WNI. Tapi ada orang Jerman mualaf, ada yang dari Maroko, Tunesia, Litauen, Palestina, dan Turkey,” katanya. (*)

baca juga :

Walikota Eri Siap Bantu dan Berdayakan Nelayan Nambangan

Redaksi Global News

Riskesdas 2018, Angka Stunting Turun

Redaksi Global News

Liga Inggris: Gilas Crystal Palace, MU Naik ke Posisi 3

Redaksi Global News