Oleh Masdawi Dahlan*
SALAH satu diskursus politik menarik bagi kalangan aktivis muslim adalah gagalnya Anies Baswedan maju pada Pilkada Jakarta. Partai partai berbasis umat Islam–lebih tepat dibilang partai yang berbasis umat Islam-, misalnya PKS dan PKB, sebelumnya bersama Partai Nasdem mencalonkan Anies Baswedan. Namun mereka kemudian berpaling melepas Anies Baswedan dan bergabung dengan partai penguasa yang tergabung dalam Koalisi Indonesia maju (KIM).
Partai partai itu, khususnya PKS yang mengklaim sebagai partai dakwah dan mengutamakan etika akhlak dan moralitas dalam politik, setelah melepaskan Anies Baswedan, masyarakat tidak mempercayai lagi klaim tersebut. PKS dinilai tak jauh berbeda dengan partai politik sekuler lainnya yang hanya mengejar kekuasaan material dan melupakan kepentingan rakyat pemilih yang memberikan kepercayaan kepadanya.
Said Didu mantan sekretaris Kementerian BUMN yang getol mengeritik soal ini, dalam sebuah video yang beredar di media sosal, dia mempertanyakan klaim bahwa PKS sebagai partai dakwah dan mengedepankan moralitas. Karena dalam prakteknya sikap politik PKS, khususnya dalam kasus gagalnya pencalonan Anies Baswedan, dinilai tidak sesuai dengan prinsip dakwah dan politik yang beretika.
Sementara pengamat politik Rocky Gerung menilai dalam Pilkada Jakarta partai partai politik khususnya yang berbasisi umat Islam tidak berani mencalonkan pejuang demokrasi. Pilkada Jakarta, kata dia, bukan hanya momentum pemilihan gubernur sebagai kepala daerah, tapi pemilihan pejuang demokrasi.
Anies hadir disitu, kata Rocky Gerung, sebagai bagian pejuang politik untuk memperbaiki demokrasi, bukan hanya ikut kontestasi pemilihan Gubernur. Gubernur adalah jabatan yang biasa saja, tetapi yang terpenting hadirnya Anies disitu adalah untuk memperbaiki infrastruktur dan lembaga lembaga politik dan untuk membenahi lembaga lembaga Negara.
Kekecewaan masyarakat terhadap partai partai berbasis Islam yang dinilai telah melenceng dari nilai nilai moral dan etika berpolitik, sangat banyak ditemukan di berbagai platform media social, baik dari kalangan kader, masyarakat umum dan simpatisan dari partai tersebut. Mereka marah dan menuduh partai itu telah melakukan penghianatan terhadap kepercayaan yang diberikan rakyat.
Rakyat tidak rela dan mengungkit ungkit hasil perolehen kursi partai partai tersebut pada Pemilu tahun 2024 lalu yang mengalami kenaikan sangat signifikan. Warga menilai kenaikan itu terjadi bukan karena partai parti politik itu yang dinilai bagus, namun karena sebagai ungkapan terima kasih atas kesediaan partai partai politik itu mendukung dalam pencalonan Anies Basweda dalam Pilpres.
Sekedar diketahui hasil Pileg 2024 lalu, pengamat politik Refly Harun dalam sebuah acara talk shaw di salah satu statiun TV mengatakan bahwa semua partai pendukung Anies dalam Pileg tersebut mengalami kenaikan perolehan jumlah kursi signifikan. Nasdem naik 10 persen, PKB naik 10 persen dan PKS naik 5 persen. Sementara perolehan kursi partai pendukung Prabowo dan Ganjar mengalami penurunan.
Lemah Iman Politik
Sebagai partai politik yang berbasis dakwah, seharusnya partai partai berbasis umat Islam itu menjadikan ajaran Islam sebagai pijakan dalam gerak langkahnya. Baik itu berkaitan dengan konsep dan perumusan kebijakan dan pengelolaan negera hingga pada soal teknis komunikasi politik dengan penguasa.
Meminjam istilah yang dipopulerkan Adi Prayitno pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, partai partai berbasis Islam kini tengah mengalami degradasi iman politik atau iman politiknya lemah. Banyak partai berbasis Islam saat proses menuju kontestasi bersikap oposisi dengan penguasa dan bertekad untuk melakukan perbaikan terhadap demokrasi.
Namun karena kalah, lalu kemudian merapat dengan partai pemenang, padahal keduanya memiliki konsep perjuangan yang berbeda. Tidak salah kalau akhirnya Adi Prayitno menilai langkah yang seperti itu merupakan tindakan politik haram dan berdosa.
Dalam ajaran Islam menghadapi lawan peperangan, termasuk dalam kontestasi politik, konsepnya sangat jelas dan tegas, bahwa umat Islam jarus berpegang teguh pendiriannya dengan prinsip Allah SWT. Tidak mudah goyah karena ancaman dan rayuan materi dan kekuasaan.
Dalam Al Quran Allah SWT berfirman: “Betapa banyak kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan ijin Allah SWT. Dan Allah bersama orang orang yang sabar,” (QS Al Baqarah 249).
Ayat diatas menegaskan bahwa sekalipun berada dalam kelompok kecil namun karena perjuangan yang dilakukan didasari keteguhan jiwa, ketabahan dan kesabaran merebut kebenaran, maka kelompok kecil ini bisa menang dengan pertolongan Allah.
Dalam sejarah peperangan antara kaum muslin dengan orang kafir, jumlah pasukan kaum muslimin selalu lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan musuh. Namun peperangan banyak dimenangkan oleh kaum muslimin. Itu terjadi karena bantuan Allah SWT, para pejuang konsistensi dan teguh keimanannya dan selalu mengharap ridla Allah SWT.
Dalam ayat lain Allah juga berfirman bahwa : “Hai orang yang beriman jika kau menghadapi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah nama Allah sebanyak banyaknya (berdizkir dan berdoa) agar kamu beruntung. Dan taatilah Allah dan rasul Nya dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu jadi gentar dan kekuatanmu hilang,” (QS. An Anfal 45).
Ayat ini menguatkan perjuangan termasuk dalam politik harus teguh hati niat ikhlas jujur karena Allah, tidak mudah goyah akibat rayuan harta dan kekuasaan dan jangan takut jika menghadapi ancaman dan resiko lainnya. Disini juga diperintahkan umat Islam jauhi perbedaan, karena itu akan membuat kekuatan umat Islam menjadi lemah dan akhirnya bisa mengalami kekalahan.
Jika dicermati apa yang terjadi dengan partai partai berbasis Islam dalam kaitannya dengan kontestasi politik nasional selama ini, lebih khusus terkait Pilkada Jakarta menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki sikap teguh dan tidak menjaga kekompakan sesama kekuatan politik Islam. Mereka mudah terjebak rayuan materi dan kekuasaan, akhirnya kekuatan mereka jadi lemah dan mudah dipecah lalu mengalami kekalahan.
Tersandera?
Alasan lain yang juga masuk akal adalah kemungkinan besar partai partai pengusung Anies tengah disandera oleh kekuasaan, akibat kasus hukum atau kesalahan para pengurusnya. Karena tak satupun partai yang tidak bermasalah.
Dan kasus hukum para pengurus partai politik sengaja dijadikan sanderaan pada saat penguasa mempunyai kepentingan politik. Partai politik dipaksa untuk mengikuti kehendak politik penguasa, termasuk dalam soal dukungan kepada calon pemimpin. (*)
*Penulis adalah wartawan Global News Biro Pamekasan.