Oleh Masdawi Dahlan*
BEBERAPA hari belakangan ini media massa khususnya media social diramaikan dengan berita masuknya ustadz Hanan Attaki ke dalam jamiyah Nahdlatul Ulama (NU). Ustdaz milenial yang berdakwah melalui media social ini menyatakan bergabung dengan NU setelah dirinya melakukan baiat bergabung dengan organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia ini.
Pembaiatan dilakukan oleh Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Dr KH Marzuki Mustamar dalam acara Halal Bihalal 1444 Hijriyah Keluarga Besar Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek sekaligus Haul KH Ahmad Noer, KH Mustamar, dan KH Murtadho Amin, di Malang, Kamis (11/05/223) lalu.
“Alhamdulillah, malam ini adalah malam terbaik dalam hidup saya sejak ibu melahirkan saya. Karena bagi seorang mukmin dia dilahirkan 2 kali, pertama jasadnya oleh orang tua biologisnya, kedua dilahirkan ruhiyahnya oleh gurunya atau mursyidnya,” kata Hanan Attaki, sebagaimana termuat dalam laman jatim.nu.or.id, Jumat (12/5/2023).
Sebelumnya Hanan Attaki sempat banyak mendapat penolakan saat menyampaikan ceramah di beberapa kota di Jawa Timur antara lain di Kabupaten Sumenep, Jember, Gresik, dan lainnya. Yang terbaru penolakan terjadi pada saat dia berceramah di Masjid Al-Muttaqien, Desa Laden Kecamatan Pamekasan Minggu, 12 Februari 2023.
Gelombang penolakan terhadap Hanan Attaki di beberapa daerah tersebut muncul di antaranya karena dia dituding sebagai eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan pengusung system khilafah. Selain itu dalam dakwahnya Hanan Attaki sering menggunakan kalimat yang kontroversial, di antaranya pernah mengatakan Nabi Musa adalah ‘’premannya para Nabi’’, lalu mengatakan Aisyah istri Rasulullah Muhammad SAW sebagai ‘’cewek gaul’’.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, mengatakan penolakan itu terjadi karena paham yang dibawa Hanan Attaki dikhawatirkan akan bertentangan dengan tatanan dakwah yang sudah ada di daerah, bukan masalah soal sesat tidaknya materi dakwah. Meski demikian tidak semua daerah di Jatim menolak Hanan Attaki. Karena di beberapa daerah di Jawa Timur masih memperbolehkan berceramah, di antaranya di Surabaya.
Khozin menjelaskan, di Jawa Timur Islam yang mengakar karena banyaknya pesantren dan kiai di berbagai wilayah. Ketika ada penceramah atau pendakwah yang berbeda kultur dan metode dakwah dikhawatirkan akan bertentangan dengan tatanan yang sudah ada di daerah itu.
Masuknya Hanan Attaki dalam jamiyah NU membuka dinamika baru menuju efektifitas dakwah Islamiyah, yaitu adanya ketulusan hati untuk bersama dalam menjalankan tugas dakwah Islamiyah. Harus diakui di antara hambatan dakwah Islamiyah di Indonesia selama ini adalah belum satunya hati kaum muslimin dari berbagai aliran pemikiran dan kelompok Islam dalam menjalankan tugas dakwah.
Belum satunya hati kaum muslimin menjadikan perjalanan dakwah seakan menyimpan egoisme dan penuh persaingan yang tidak sehat. Egoisme kelompok dan perasaan paling baik sendiri. Sekalipun masing masing kelompok umat Islam mengaku memiliki tujuan dan dasar yang sama, namun dalam praktiknya selalu muncul problem psikologis keakuan yang mencederai dakwah.
Apalagi, pada saat yang bersamaan ada kepentingan politik praktis masuk dan memecah belah persatuan umat Islam karena tergiur unsur pragmatisme. Maka jadilah tautan hati kelompok kaum muslimin dalam menjalankan dakwahnya semakin jauh.
Hingga saat ini soal belum satunya tautan hati kelompok kaum muslimin dalam dakwah dan masuknya pragmatisme politik praktis, telah mengakibatkan dakwah Islamiyah, belum maksimal membuahkan hasil yang memuaskan.
Masing- masing kelompok dalam Islam bisa mengklaim perjalanan dakwah mereka telah membuahkan hasil gemilang dengan pencapaian angka angka kwantitatif yang sangat drastis. Namun pada saat yang bersamaan juga muncul kegelisahan dan bara persaingan yang tidak sehat dan mengakibatkan munculnya benih keretakan dan makin jauhnya tautan hati mereka untuk bersatu.
Hanan Attaki hadir menjadi anggota jami’yah NU, dalam keadaan dia telah memiliki manhaj atau pemahaman yang terinternalisasi dalam dirinya tentang berbagai materi keIslaman dan metode dakwah yang dipilihnya. Metode dan materi dakwah yang dimiliki dia selama ini, kalaupun ada penolakan dari sebagian kelompok termasuk dari sebagian warga NU, itu terjadi karena kurangnya komunikasi saja.
Hanan Attaki hadir menyatu dalam jamiyah NU menjadi momentum yang baik untuk mempertemukan manhaj yang selama ini dijalani dengan manhaj yang selama ini dimiliki oleh jamiyah NU. Akan sangat besar kemungkinan terjadi proses sharing pemikiran, yang akhirnya akan menemukan pemahaman yang sama, yang tentunya juga dengan menemukan metodologi dakwah yang sama pula.
Kalau ini yang terjadi, maka dakwah Islamiyah di kalangan jamiyah NU akan makin popular dan menarik khususnya bagi kalangan milenial NU, termasuk muslim milenial di luar NU, yang pada akhirnya menjadikan dakwah makin massif dan efektif. Pada saat yang bersamaan Hanan Attaki akan makin maksimal dalam berdakwah karena dia akan menemukan ladang dakwah baru, yakni kalangan milenial NU yang jumlahnya sangat besar di negeri ini.
Yang penting untuk diperhatikan adalah perlunya dijauhi sikap apologis atau bias pemikiran bahwa bergabungnya Hanan Attaki dalam jamiyah NU menandakan bahwa hanya kelompok tertentu saja yang paling benar manhaj keagamannya dalam Islam dibandingkan dengan yang lain. Apalagi dihubung-hubungkan dengan soal nasionalisme dan hubungan kebangsaan yang bisa saja melahirkan klaim hanya kelompoknya saja yang paling nasionalis dan paling NKRI.
Jika diteliti secara cermat berbagai kelompok organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang ada di Indonesia, masih tetap kukuh dalam bingkai manhaj ahlussunah waljamah dan mencintai NKRI. Sentimen politik dan tidak bertemunya hati para warga kelompok dalam Islam itulah yang menjadikan seakan ada sebagian kelompok umat Islam yang paling MNKRI atau sebaliknya. (*)
*Penulis adalah wartawan Global News Biro Pamekasan.