Oleh Masdawi Dahlan*
SAHABAT Nabi SAW, Ali Bin Abi Thalib, berkata maraknya kejahatan bukan karena banyaknya kejahatan itu sendiri, namun karena orang baik atau orang alim yang mendiamkan, sehingga kejahatan terus terjadi. Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa hancurnya kaum terdahulu karena orang baik membiarkan tidak mencegah perbuatan jahat terjadi.
Sebuah ungkapan Inggris berbunyi “enough for evil to thrive when the good people do nothing”. Artinya “cukuplah kejahatan itu akan merajalela ketika orang-orang baik tidak melakukan apa-apa.”
Imam Shamsi Ali, imam besar masjid Indonesia di Amerika, mengatakan seruan kepada kebaikan dan larangan dari kejahatan atau keburukan merupakan salah satu fondasi agama Islam. Bahkan, kata dia, ada yang mengatakan seandainya ada rukun Islam yang keenam maka amar ma’ruf dan nahi munkar adalah rukunnya yang keenam.
Al Quran menyebutkan: “Dan hendaklah ada di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali-Imran: 104).
Dilanjutkan pada ayat 110 : “ Dan kamu adalah umat terbaik yang telah dihadirkan untuk manusia. Kamu menyeru kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran dan beriman kepada Allah”.
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa suatu ketika Allah memerintahkan malaikat untuk menghacurkan sebuah kota atau kampung. Setiba di ujung kota itu sang malaikat ternyata menemukan ada seorang yang saleh, yang kerjanya hanya beribadah dan berdzikir. Malaikat pun menjadi ragu melakukan perintah Allah itu.
Maka malaikat kembali menyampaikan kepada Allah bahwa ada seorang yang ahli ibadah dan dzikir di kampung itu. Kalau kampung itu dihancurkan maka dia akan ikut jadi korban. Apa jawaban Allah ? Allah berkata kepada sang malaikat:
“Hancurkanlah dulu orang itu. Karena dia sadar akan agama dan Tuhan, tapi tidak peduli dengan berbagai kejahatan dan dosa di kampung itu”.
Dari berbagai dalil diatas dapat disimpulkan bahwa orang baik atau orang alim dan punya kompetensi dalam sebuah persoalan, memiliki kewajiban untuk aktif bergerak menghadang agar jangan sampai sebuah kemungkaran itu terjadi. Jika mereka diam maka mereka termasuk sama atau menjadi bagian dari pelaku kemungkaran tersebut. Sehingga Allah SWT mengadzab mereka terlebih dahulu sebelum mengadzab pelaku kemungkaran lainnya.
Di tengah kehidupan dunia yang penuh persaingan, fitnah, saat ini, kewajiban mendasar Islam amar makruf nahi mungkar ini perlu dilakukan secara serius. Diam di hadapan kemungkaran adalah kemungkaran. Diam di hadapan pelaku kemungkaran sama dengan melakukan kemungkaran itu tersendiri.
Kedzaliman, ketidakadilan dan ketidakjujuran kini tidak saja dilakukan tanpa malu-malu, melainkan oleh sebagian orang kini direkayasa diputar balik seolah menjadi kebaikan. Menipu dan membodohi orang lain tidak jarang dijuluki dengan perbuatan yang seolah peduli dan membantu orang lain.
Dan orang-orang berilmu yang memahami kebenaran dan kebaikan harus tertantang untuk bangkit dan menyuarakan resistensi. Amar ma’ruf dan nahi mungkar itu harus dilakukan dalam bingkai akhlakul karimah, bersifat positif dan konstruktif, tidak negatif dan destruktif.
Nahi Mungkar Dalam Pilkada
Dalam konteks Indonesia saat ini yang tengah mempersiapkan pelaksanaan Pilkada serentak, pastinya amar ma’ruf dan nahi mungkar menjadi kewajiban yang harus ditegakkan oleh semua pihak khususnya kelompok orang alim maupun pihak lain yang berkompetensi.
Semua pihak wajib mencegah dan menentang atas tindakan kemungkaran yang berupa pelanggaran atas ketentuan dan perundang undangan Pilkada. Nabi Muhammad SAW bersabda : “Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian maka hendaklah diubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya. Dan Jika masih tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman”.
Diamnya orang yang berilmu jika ada pelanggaran dalam momentum Pilkada saat ini pertanda jika iman mereka sedang mengalami krisis. Bahkan lebih jahat lagi orang yang diam di hadapan kemungkaran, kejahatan, kezholiman bagaikan setan yang bisu. Lebih berbahaya lagi ketika diamnya para alim itu ternyata bagian dari sebuah konspirasi kejahatan.
Berbagai bentuk kemungkaran dan pelanggaran dalam Pilkada diantaranya adalah praktik curang, ancaman, politik sandra menyandra, kampanye hitam hingga politik transaksional atau politik uang. Kemenangan yang diperoleh dengan pelanggaran, tidak akan pernah membuahkan hasil positif bagi masyarakat maupun bagi pasangan itu sendiri. Bahkan akan menjadi jalan menuju makin hancurnya sebuah daerah.
Dalam momentum Pilkada, diantara para pihak yang masuk dalam katagori orang berilmu atau berkompeten antara lain adalah para ulama atau kiai, tokoh masyarakat, pelaksana dan pengawas pemilu yang meliputi panitia penyelenggara, badan pengawas pemilu, hingga petugas keamanan yang bertugas menjalankan dan menjaga keamanan jalannya pemilu.
Kiai atau ulama dan tokoh masyarakat yang memahami tentang hukum halal haramnya tindakan kecurangam, politik uang hingga pelanggaran pemilu secara umum, harus bergerak menghentikan agar hal itu tidak terjadi. Para kiai atau ulama adalah benteng penjaga moral masyarakat yang selama ini menjadi tumpuan atau tauladan masyarakat dalam menentukan pilihan tindakan baik atau tidak termasuk dalam soal Pilkada.
Mereka tidak bisa membiarkan atau diam saja melihat adanya pelanggaran dan tindakan kemungkaran dalam pemilu. Mereka harus berada digarda terdepan menolak tindakan kemungkaran dan aneka ragam pelanggaran pemilu. Sekalipun mereka menjadi bagian dari kelompok yang berkompetisi dalam Kontestasi Pilkada saat ini.
Yang kedua kalangan yang masuk dalam katagori alim dan berkompeten dalam Pemilu adalah para panitia penyelenggara Pilkada. Mereka bukan hanya dituntut untuk bisa melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana dengan baik, namun juga harus berusaha mencegah agar pelaksanaan pemilu tidak ada pelanggaran. Mereka juga harus bergerak aktif mengatasi, bukan malah sebaliknya terlibat dalam konspirasi dengan pasangan tertentu peserta kontestasi pemilu.
Yang ketiga adalah para pengawas, dalam hal ini pengawas resmi yang ditugaskan negara yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu merupakan institusi yang yang secara khusus berkompeten untuk menjaga dan mengawasi agar Pilkada tidak terjadi pelanggaran. Bawaslu juga yang akan mengadili jika terdapat sengketa teknis dalam pemilu.
Yang terakhir pihak berkompeten yang wajib menjauhkan pelaksanaan Pemilu dari pelanggaran adalah aparat keamanan. Institusi keamanan ini juga mendapatkan anggaran besar untuk mengamankan jalannya pemilu. Mereka merupakan alat negara yang harus netral dan mengawasi agar jangan sampai terjadi gejolak yang menganggu pelaksanaan Pilkada akibat adanya pelanggaran. Lebih dari itu mereka juga memiliki kewajiban untuk menghentikan jika menemukan tanda tanda adanya kecurangan dan pelanggaran.
Jika para orang baik berilmu dan berkompeten itu bisa peka dan sigap menjalankan tugasnya dengan baik, maka Pilkada sangat mungkin bisa berjalan baik, sekalipun tidak sempurna. Dan jika sebaliknya, maka Pilkada akan berlangsung anomaly dan akhirnya tidak akan membuahkan hasil yang membawa kemanfataan bagi masyarakat. (*)
*Penulis adalah Wartawan Global News Biro Pamekasan