SURABAYA (global-news.co.id) – Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang polemik terkait gelar profesor. Isu “profesor bodong” mengemuka saat sebagian dari guru besar di kampus ada yang terkesan “dadakan”. Selain itu banyak pula politisi yang tiba-tiba bergelar profesor.
Bahkan, menanggapi fenomena ini, Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sampai memutuskan untuk menghapus gelar akademiknya, termasuk gelar profesor, dari berbagai surat, dokumen, dan produk hukum, kecuali ijazah dan transkrip nilai. Sementara Prof Nur Syam, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, mengaku tidak nyaman menyandang gelar profesor akhir-akhir ini. Pasalnya, banyak mata melihat dengan kecurigaan, apakah ini profesor sungguhan atau profesor yang diperoleh dengan cara yang ilegal.
Sejumlah profesor juga angkat bicara. Prof Dr HM. Idri MAg, guru besar ilmu hadits UIN Sunan Ampel, kepada Global News, Rabu (31/7/2024), mengaku dirinya santai saja dengan adanya polemik terkait status profesor tersebut. Hal itu asal gelar profesor didapat secara “halal”.
“Ini soal rasa ya… Jadi berdasar perasaan Prof Nur Syam. Karenanya, bersifat subjektif tergantung siapa yang merasakan. Kalau saya santai-santai saja, selama gelar profesor diperoleh secara benar dan konstitusional ya… Nikmati saja gelar itu. Soal ada oknum (profesor) yang melanggar, itu urusan dia. Sama dengan pejabat banyak yang korupsi, apakah pejabat yang lain merasa malu lalu mengundurkan diri? Tentu saja tidak. Dalam bidang apa pun pasti ada penyimpangan, tinggal gimana kita menyikapinya. Oke!?,” katanya.
Prof Dr Mohammad Kosim MAg, Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam IAIN Madura, juga bicara soal heboh “profesor bodong”. Kepada Global News, Rabu (31/7/2024), dia membenarkan kasus ini membuat tidak enak guru besar lain, yang jumlahnya lebih banyak itu.
“Meski begitu, saya harus berkomentar. Jadi memang kasus ini sangat disayangkan, kenapa bisa lolos di Kementerian Dikbudristek ya? Padahal tahapan begitu, yang saya alami begitu ketat sekali, terutama di aspek pemenuhan kewajiban menulis karya ilmial di jurnal internasional bereputasi yaitu terindeks Scopus, ini tidak mudah, bahasa kawan-kawan berdarah-darah untuk bisa lolos ke jurnal terindeks Scopus ini. Tahu-tahu dengan mudahnya, (ada yang) tipu-tipu lalu lolos dengan mudah,” katanya.
Maka, fenomena “profesor bodong” ini, sungguh menyakiti para guru besar yang mencapai jalur tersebut dengan halal dan normal. “Ini kan jalurnya tidak halal. Padahal saya mendengar teman-teman, yang juga kita alami, itu berdarah-darah untuk bisa lolos ke artikel yang dimuat di Scopus yang menjadi syarat utama. Kalau tidak ada itu, maka tidak mungkin bisa lolos jadi guru besar. Lolos pun bisa gagal jika ditemukan misalnya ada plagiasi terhadap karya orang lain yang tidak disebutkan. Nah ini juga banyak ditemukan dalam kasus-kasus yang lain. Intinya, begini, saya tentu menyayangkan mengapa jalur yang begitu ketat ini bisa lolos dengan mudah dengan tipu-tipu untuk bisa mengizinkan jadi guru besar,” katanya.
Dia mengakui menjadi guru besar di lembaga perguruan tinggi itu menguntungkan secara pribadi. Guru besar juga menguntungkan lembaga karena semakin banyak guru besar di lembaga itu, maka aspek tertentu dalam aktivitas di lembaga itu menjadi besar dan menjadi naik. “Itu makanya dibutuhkan apakah karena factor ini?” ujarnya.
Kemudian, kata dia, lembaga berlomba-lomba untuk membantu dengan cara-cara tertentu untuk bisa meluluskan sebanyak-banyaknya guru besar itu. “Jadi disayangkan, saya berharap tentu ini tidak terulang lagi, Kementerian harus menerapkan aturan yang ketat itu secara konsisten. Jadi intinya tidak mudah jadi guru besar. Sesungguhnya guru besar itu kan bukan gelar tapi jabatan akademik tertinggi. Jadi bertahun-tahun belasan tahun baru masuk ke guru besar,” katanya.
Dia menjelaskan jenjang karier akademik di perguruan tinggi. Awalnya, dosen jabatan akademiknya asisten ahli, setelah itu naik menjadi lector, baru ke lector kepala, dan baru guru besar. Tahapan itu bisa dijangkau rata-rata 4 tahun.
“Nah untuk guru besar ini memang tidak mudah, tergantung kemampuan seseorang, kalau dia punya kemampuan akademik yang tinggi dalam tulis menulis, dia punya karya terindeks Scopus secara rutin, maka tentu waktu yang tidak terlalu lama dia bisa menjadi guru besar, tapi kalau jarang sekali maka dia akan belasan tahun bisa jadi guru besar. Dalam kasus ini, tanpa berlelah-lelah kok sudah menjadi guru besar, ini menyakiti perasaan guru besar yang diperoleh secara normal dan berdarah-darah itu,” katanya.
Sebelumnya Fathul Wahid merilis surat edaran pada Kamis (18/7/2024), di mana isinya meminta namanya ditulis “Fathul Wahid” saja dalam setiap korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan dokumen yang setara itu. Dalam surat edaran Nomor 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang ditujukan kepada seluruh pejabat struktural di UII, Fathul Wahid menyatakan bahwa langkah ini diambil untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi. Hal itu juga sebagai salah satu langkah mendesakralisasi status profesor. (mas)