Global-News.co.id
Opini Utama

Haruskah Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan? 

dr Syaiful Hidayat
Oleh dr Syaiful Hidayat*
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law menjadi topik hangat di dunia kesehatan. RUU Kesehatan yang kini dibahas oleh Komisi IX DPR RI dan pemerintah pusat itu menuai kontroversi dan protes dari kalangan dokter, terutama oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Kementerian Kesehatan (Menkes) RI bersama Komisi IX DPR RI membahas RUU Kesehatan yang menyangkut beberapa isu krusial. Di antara isu krusial itu terdapat daftar isian masalah (DIM) yang menjadi keresahan para dokter seluruh Indonesia.
Pemerintah dan DPR RI selayaknya menghentikan pembahasan RUU Kesehatan tersebut karena dinilai banyak merugikan profesi dokter. Dalam RUU Kesehatan tersebut terdapat draf mengenai organisasi profesi IDI yang mau dihilangkan.  Itu sangat fatal dan bahaya karena nanti semuanya akan tersentralistik di departemen kesehatan, semua regulasi mengenai izin nanti jadi wewenang kementerian kesehatan.
Dicurigai dalam pembahasan RUU Kesehatan tersebut ada pasal selundupan, karena merebak isu akan adanya dokter asing yang mau masuk dan bekerja di Indonesia. Apalagi dikhawatirkan, dokter asing itu akan diberi peran untuk memegang tanggung jawab mengenai izin pendirian rumah sakit.
IDI akan diamputasi oleh pemerintah setelah pembahasan RUU Kesehatan tersebut lolos. Padahal selama ini IDI banyak berkontribusi dan memberikan rekomendasi serta pembinaan terhadap para dokter khususnya di bidang kesehatan.
Kalau peran ini hilang dan diserahkan ke pemerintah, akan bermasalah, karena pemerintah tidak punya kemampuan di bidang itu. Nanti akan bersifat politis dan serba kekuasaan. Hak imunitas yang dilindungi undang-undang atau koligium terhadap organisasi profesi dokter tidak boleh dihapus.
Sebab bila itu dihapus akan sangat fatal dan mengancam terhadap keselamatan para dokter. Setiap organisasi profesi mempunyai hak imunitas yang tidak bisa langsung dituntut, tidak bisa dipidana dan tidak bisa diadukan ke Polisi lalu diperiksa.
Bila terdapat dokter yang tersandung suatu masalah atau dilaporkan oleh masyarakat kepada Polisi mengenai pelayanan kesehatan, aturannya mereka terlebih dahulu diadili oleh internal organisasi profesinya.
Selama tidak ada izin dari organisasi profesinya, tidak boleh dokter dipanggil dan diperiksa Polisi. Dalam draf aturan RUU Kesehatan yang baru, nanti dokter dan rumah sakit bisa langsung dituntut jika ada pengaduan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan.
Misalnya ada masyarakat tidak puas dengan pelayanan kesehatan, langsung diadukan. Polisi bisa langsung memanggil dan memeriksa. Ini berbahaya.
Pemerintah tidak perlu khawatir mengenai profesionalisme kerja setiap dokter di seluruh Indonesia.
Sebab sebelum mendapatkan izin profesi kerja, para dokter  telah dididik untuk memiliki rasa empati lebih terhadap kemanusiaan, apalagi terhadap masyarakat yang sakit. Tidak mungkin ada dokter yang berniat mencelakai dan merugikan pasien.
Jika pemerintah masih meloloskan sejumah pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang ditolak para dokter di seluruh Indonesia itu artinya pemerintah telah otoriter dan represif. Pemerintah tiak boleh mengambil alih semua, kalau hal itu terjadi akan kembali ke arah sistem otoriter bukan demokratis lagi.
Pada saat andemi Covid-19 melanda seluruh Indonesia, dokter merupakan garda terdepan sebagai penyelamat masyarakat. Banyak dokter di seluruh Indonesia bahkan pelosok desa berjibaku untuk menyelamatkan pasien yang terjangkit virus Corona.
Bahkan banyak pula para dokter yang akhirnya ikut terjangkit wabah tersrebut, dan terdata hampir 1.000 lebih Dokter yang meninggal usai menangani pasien yang terjangkit virus Corona. Dokter sudah berjibaku dan berjuang mati-matian. Jasa ini tidak boleh dihilangkan.
Masih dibahasnya RUU Kesehatan tersebut seolah menandakan adanya upaya memecah belah organisasi IDI agar tidak solid. Padahal sebenarnya IDI merupakan organisasi profesi yang solid.
Kasus ini terkait dengan sikap Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) yang beberapa waktu lalu menyampaikan kekecewaan dan menuding IDI tidak profesional l. IDI dituding  materialistik dan dinilai terlalu berpihak. Tudingan itu muncul saat kasus yang menimpa mantan Menkes RI dr Terawan Agus Putranto.
PDSI ini merupakan organisasi baru yang seolah-olah ingin memecah belah IDI setelah mantan Menteri Kesehatan RI dr Terawan Agus Putranto diberhentikan dari keanggotaan IDI karena melakukan beberapa pelanggaran etik berat.
IDI sampai saat ini keanggotaannya sangat solid dan dipastikan tidak ada anggota IDI yang menyimpang, semuanya bergerak satu komando.
Tidak ada organiasi IDI yang pecah dua. Ketika PDSI ini tidak bisa memecah IDI, kini mereka lewat jalur kekuasaan, IDI mau diamputasi melalui RUU Kesehatan. Ini harus diwaspadai. IDI sebagai organisasi profesi yang kuat dan merupakan satu-satunya organisasi profesi yang mempunyai Undang-Undang (UU).
IDI mulai didirikan pada 24 Oktober 1950 yang tentu telah mencatatkan pengabdian panjang dalam penanganan kesehatan masyarakat. Apalagi selama ini, IDI berkiprah sebagai profesi dokter yang menangani bidang kesehatan garda terdepan. Kalau tidak ada IDI  pelayanan kesehatan di Indonesia ini akan amburadul dan kacau, dan hal itu  tidak boleh dinafikan. Jangan tiba-tiba mau diamputasi melalui RUU Kesehatan.
Pemerintah dan DPR RI harus paham bahwa jangan sampai menimbulkan gesekan mau pun gejolak antar profesi dokter. Hal ini untuk mengantisipasi anggapan mengenai pemerintah yang terkesan otoriter. Terkait itu IDI sudah menyatakan sikap akan terus mengawal RUU Kesehatan ini, bahkan kalau perlu turun ke jalan kalau RUU Kesehatan itu sampai lolos. (*)
*Penulis adalah anggota Pengurus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Jatim Bidang Kesejahteraan

baca juga :

Enam Negara Muslim Belajar Program Bangga Kencana dan Penurunan Stunting di Surabaya

7 Juli: Tambah 308 Kasus, Pasien Positif COVID-19 di Jatim 14.578 Orang dan Meninggal 1.112

Redaksi Global News

Antisipasi Kontinjensi Pemilu 2024, Polisi Gelar Gladi Sispamkota di Sidoarjo

Redaksi Global News