Oleh MASDAWI DAHLAN*
DI tengah gemuruh percaturan dan dinamika politik mutakhir di Indonesia, ada sosok yang tidak boleh kita lupakan. Dialah Rocky Gerung (RG) seorang akademisi dan pengamat politik yang telah menghiasi cakrawala berpikir masyarakat Indonesia. Dialah sosok yang dengan berani melakukan kritik secara tajam bahkan brutal atas segala keanehan dinamika politik yang terjadi di Indonesia.
Dengan falsafahnya untuk mengajak berpikir menggunakan akal sehat, RG tidak takut untuk mengkritik secara keras bagi siapa saja, utamanya bagi rezim atau pemegang kekusaan. Salah satu kalimat yang menjadi senjata tajam dalam kritiknya adalah istilah “dungu”. Bagi dia dungu didefinisikan sebagai cara berpikir yang tidak sehat. Tidak tangung-tanggung Presiden Jokowi pun dikritiknya.
Kehadiran RG dalam diskusi dan talk show di berbagai saluran televisi, atau bahkan di berbagai forum akademis, di berbagai universitas dan komuntitas masyarakat, mampu membuat optimisme masyarakat Indonesia tentang masih adanya harapan akan munculnya perubahan dan perbaikan di Indonesia.
Betapa tidak, keritiknya yang tegas mudah difahami, juga diberi solusi tentang cara mencari penyelesaiannya. Dengan pendekatan filsafat dalam menganalisa berbagai masalah, pemikiran RG selalu bisa diterima oleh banyak kalangan. Pengetahuannya yang luas atas berbagai masalah, RG bisa ikut memberikan sumbangan pemikiran bahkan diskusi intens di dalamnya.
Bidang ekonomi, politik, sosia budaya, hukum bahkan hingga masalah masalah sosial keagamaan. Kehadiran RG dalam ruang diskusi publik semakin menjadi sangat fenomenal dan terkenal, karena berbarengan dengan momentum itu para akademisi dan cendekiawan di kalangan kampus, yang seharusnya peduli terhadap persoalan bangsa dengan kritiknya, tampak pada tiarap dan tutup mata atas berbagai problem yang terjadi di negeri ini.
Tidak segan-segan RG menuduh kampus dan universitas sudah tidak lagi menjadi tempat untuk berpikir karena terkontaminasi oleh kepentingan politik rezim yang tengah berkuasa. Yang menarik dalam berbagai diskusi yang berkaitan dengan kepentingan politik umat Islam, sekalipun dia non muslim, RG selalu membela umat Islam.
Dia melihat ada hak politik umat Islam dalam demokrasi yang diakuinya banyak mendapat hambatan. Atas sikapnya yang seperti itu tidak heran bila RG banyak mendapat undangan berceramah mengisi kajian di berbagai komunitas muslim, pondok pesantren, hingga berbagai universitas seperti di kampus-kampus Universitas Muhammadiyah. Bahkan RG pernah diundang mengisi kajian politik dan demokrasi di Pondok Pesantren Ngruki Solo asuhan Abubakar Baasyir dan sebuah Pondok Pesantren di Madura.
Beberapa waktu lalu RG juga diundang oleh komunitas muslim Aceh di Jakarta untuk mengisi kajian dalam rangkaian Maulid Nabi Muhammad SAW di Aceh. Di forum ini RG mampu memahami risalah nubuwah Muhammad SAW dalam mengajarkan dan mendakwahkan Islam dan dalam menjalankan tugas politik pemerintahannya dengan sukses. Tentang Islam dan politik, pemerintahan dan keadilan, RG menegaskan bahwa ajaran Islam mememiliki konsep yang sempurna dan lengkap tentang masalah keadilan, kemanusiaan dan pemerintahan.
Karena itu dia pernah melontarkan wacana untuk mendirikan negara Islam, karena dia melihat konsep keadilan, kemanusiaan yang lengkap dan sempurna terdapat dalam ajaran Islam. Terkait dinamika politik mutakhir seputar diskursus politik identitas, RG dengan tegas mengatakan banyak yang salah dalam memahami tentang politik identitas.
Menurutnya tudingan yang dialamatkan pada Anies Baswedan bahwa dia pengusung politik identitas adalah tudingan yang salah dan tidak berdasar. Yang sangat disesali lagi, kata dia, ternyata framming politik atas politik identitas itu juga diarahkan kepada gerakan politik Islam. Dalam program acara talk show ILC di TV One beberapa waktu lalu RG dengan terang terangan mengatakan bahwa Presiden Jokowi juga telah terpengaruh oleh bisikan dari orang orang di sekitarnya tentang apa dan bagaimana politik identitas.
Dia menduga ketika Presiden Jokowi mengajak untuk menghindari politik identitas yang terbersit dalam pikirannya bahwa politik identitas itu adalah Islam. Dalam sebuah wawancara di Channel Forum News Network (FNN) asuhan Hersubeno Arief, RG melihat Islam mampu menghadirkan keadilan soisial.
Doktrin teologi yang ada dalam ajaran Islam bisa dijadikan doktrin sosiologi. Bagian vertikal atau bagian aqidah dalam Islam kalau dirambatkan pada bagian muamalah yang horizontal akan bisa melahirkan keadilan. Tetapi rezim, kata dia, menganggap bahwa kekuatan Islam itu berbahaya. Fenomina seperti ini, diakuinya memang sudah muncul sejak awal kemerdekaan, dengan Piagam Jakarta yang dinilai membahayakan.
Bahkan di awal Orde Baru ada gerakan yang menuduh negatif pada Islam, yang hingga sampai era reformasi ini masih saja terjadi. Setiap warga negara, kata RG, memiliki perspektif, ada Islam, komunisme atau sosialisme dan liberalisme atau kapitalisme. Akan tetapi karena Islam mayoritas maka Islam harus didengarkan suaranya.
Dalam Islam ada ajaran tentang teori keadilan dan kemakmuran yang sangat sempurna. RG mengaku sering berkomunikasi dengan tokoh-tokoh penting Islam, di antaranya Habi Rizieq Sihab dan tokoh agama lain. Di pesantren Ngruki, di Madura, juga berbicara dengan tokoh aktifis Islam lainnya. Bahkan dia mengaku pernah berdialog dengan warga di kaki Gunung Galunggung. Mereka tidak menuntut negara Islam tapi menuntut keadilan. Karena mereka sebagai muslim, mereka ingin agar perspektif Islam tentang keadilan didengarkan oleh negara ini.
Negeri ini, kata RG, dibangun dengan perjuangan oleh sebagian besar pejuang-pejuang Islam. Yang berjuang melawan Belanda kebanyakan memakai identitas dan kekuatan muslim. Negara ini berkedaulatan rakyat bukan berkedaulatan agama, tetapi agama merupakan aspirasi politik. Setiap kali ada sinisme terhadap politik Islam, maka itu akan sangat mengganggu kebersamaan.
Lalu bagaimana pandangannya tentang wacana negara Islam? RG menegaskan sebagai perspektif hal itu tidak boleh dihalangi, biarkan orang berpendapat. Karena mereka ingin sumbangkan pemikiran bagi bangsa ini. Mereka pada akhirnya akan berhadapan dengan masalah teknis, apakah akan berhasil atau tidak, tetapi sebagai gagasan tidak boleh dicegah.
Banyak perspektif untuk didiskusikan, di antaranya Islam yang sangat layak untuk dikemukakan sebagai alternatif memecahkan masalah bangsa. RG menyarankan berikan orang berspektif tentang Islam, berikan orang diskusi tentang kumunisme dan sosialisme, tentang liberalisme, mereka tinggal mengambil mana perspektif yang terbaik.
Terkait dengan pembubaran FPI dan HTI, RG menilai negara telah melakukan kekerasan legislasi. Tidak boleh negara memberangus kelompok tertentu karena pandangan yang berbeda. Itulah alasannya mengapa dia menentang pemberangusan itu. Dia mengaku sering diskusi dengan tokoh FPI dan HTI, banyak hal yang tidak sependapat, tapi biarkanlah mereka berpendapat.
Sekarang umat Islam harus berupaya untuk memperlihatkan bahwa mereka punya perspektif dan harus berlomba untuk memunculkan visi membangun bangsa dan negara, bukan hanya kapitalisme dan komunisme. Karena Islam punya potensi untuk menghadirkan dalil-dalil yang kuat tentang keadilan dan pembangunan.
Berikan kepada umat Islam kesempatan untuk mengajukan konsep kedilan dengan prinsip Islam. Islam memiliki kekuatan besar untuk bersaing dengan dua ideoligi besar dunia yakni kapitalisme dan komunisme. Perspektif Islam tentang politik, kata RG, sangat komprehensif, ada ayat politik, ada ayat-ayat yang mengatur hubungan privat.
Islam itu suatu system, komunisme itu system, liberalime juga system. Tapi mengapa kini kok hanya Islam yang mau disingkirkan dalam percaturan politik di Indonesia? Padahal di kampus-kampus besar luar negeri sudah banyak belajar dan membuka studi tentang Islam dan dinamikanya, khususnya tentang hubungan Islam dan demokrasi. (*)
* Penulis adalah wartawan Global News.