Global-News.co.id
Politik Utama

Ribut Politik Identitas, Abai Pada Politk Transaksional

Masdawi Dahlan

Oleh Masdawi Dahlan*

DISKURSUS politik identitas terus jadi gorengan media, khususnya media sosial, karena tema ini menguntungkan para pialang politik. Lebih dari itu secara khusus tema yang kini sering dituduhkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan calon presiden Partai Nasdem itu, juga menguntungkan penguasa yang diprediksi secara politik berhadap- hadapan dengan Anies Baswedan pada Pemilu 2024 mendatang.

Berbagai statemen para pendukung rezim telah saling bersautan menyalahkan dan menggaungkan kritik tentang politik identitas. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, saat menyampaikan sambutan dalam penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia beberapa hari lalu, juga mempersoalkan tentang politik identitas dan ramai mendapat tanggapan pengamat politik, di antaranya Ubadillah Badrun pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang menantang Moeldoko untuk berdebat tentang politik identitas.

Ketua Umum DPP Partai Golkar Erlangga Hartarto dalam sebuah video yang viral juga ikutan mempersoalkan politik identitas. Ketua Umum PB NU KH Yahya Cholil Staquf juga menolak politik aliran ini. Bahkan dengan tegas dia akan melawannya, lebih-lebih jika Nahdlatul Ulama (NU) organisasi yang dipimpinnya dijadikan sebagai objek politik identitas oleh kelompok atau partai politik tertentu.

Politik identitas adalah sebuah gerakan politik dari satu kelompok atau komunitas tertentu seperti etnis, suku, budaya, atau agama yang bertujuan untuk memperjuangkan aspirasi, menunjukkan jati diri atau sebagai alat untuk melakukan perlawanan politik jika ada ketidakadilan atau penyimpangan dalam demokrasi.

Dalam perspektif ini politik identitas sebenarnya hal yang lumrah, selama kepentingan yang diperjuangkan dilakukan dengan menggunakan saluran atau mekanisme perundang- undangan yang berlaku. Politik identitas itu adalah watak atau elemen dasar demokrasi.

Pihak yang mempersoalkan politik identitas tidak sadar bahwa selain isu politik identitas ada masalah urgen yang terjadi dan telah membudaya di Indonesia, yakni politik transaksional, politik jual beli suara atau politik uang. Politik transaksional ini telah menjadi kebiasaan yang dianggap wajar, padahal sangat bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dan peradaban bangsa. Politik transaksional merugikan dan membahayakan peradaban bangsa.

Kini politik transaksional ini tidak hanya dilakukan oleh petinggi partai politik dengan penguasa dan pengusaha yang lebih dikenal dengan oligarki, namun juga telah melibatkan masyarakat umum. Sudah menjadi kebiasaan tiap pesta pemilu, pemilihan presiden, gubernur, bupati, DPR pusat hingga DPR daerah hingga pemilihan Kepala Desa, selalu diwarnai dengan uang.

Menko Polhukam Prof Dr Mahfud MD pernah mengatakan, dari data yang dimilikinya lebih dari 90 persen Pilkada dibiayai oleh cukong. Ironisnya praktik politik suap ini dianggap sebagai hal wajar dan lumrah.

Antara politik identitas dengan politik transaksional jelas sangat jauh berbeda. Dalam ajaran Islam politik identitas mendekati pada kewajiban, karena kaum muslimin diperintahkan untuk menunjukkan jati diri atau identitasnya dimana maupun dalam bentuk situasi apapun. Dalam ajaran Islam ada perintah ‘’isyhadu binna muslimun’’, tunjukkan bahwa anda muslim. Rasulullah merintahkan agar kaum muslimin menunjukkan jati dirinya sebagai muslim, dalam segala demensi ruang dan waktu termasuk dalam soal berpolitik.

Namun sekalipun dalam Islam diperintahkan untuk tegas menunjukkan identitasnya, dalam Islam juga diajarkan tentang kewajiban penghormatan kepada pemilik keyakinan maupun kerangka berfikir maupun pilihan politik lain yang berbeda dengan Islam. Islam memberikan manusia kebebasan untuk memilih keyakinan, apalagi hanya dalam soal politik.

‘’Lakum dinukum waliyadin’’, bagimu agamamu bagiku agamaku”. Dalam ayat lain menegaskan ‘‘La ikraha fiddin” tidak ada paksaan dalam agama’’. Rasululah Muhammad juga melarang umat Islam mengganggu dan menghina keyakinan dan pilihan politik orang lain, karena penghinaan itu sama dengan menghina Rasulullah.

Sementara politik transaksional jelas hukumnya haram, karena bermuatan suap menyuap. Dalam ajaran Islam yang meyuap dan menerima suap sama sama haram dan berdosa, dan penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan dengan suap menyuap itu pasti juga haram. “Laknatullah ‘ala rasi walmurtasi ”, Allah melaknat bagi yang memberi dan menerima suap.

Dalam perspektif teori demokrasi dan politik modern, pengamat politik Rocky Gerung mengatakan politik identitas itu adalah realitas antropologis yang masuk dalam dunia politik nyata. Karena itu cara memahaminya harus secara akademis, bukan secara sentiment politik yang irrasional. Dia menilai politik identitas tidak layak dipersoalkan, selama aspirasi itu disalurkan dengan tetap mengacu pada mikanisme demokrasai yang berlaku.

Bahkan Rocky Gerung memastikan bahwa tiap partai politik dalam perspektif politik modern membawa identitas atau ideologi tertentu. Ada partai yang mengusung ideologi nasional, nasional democrat, nasionalis religius. Ada yang mengusung identitas kekaryaan dan kebangsaan dan bahkan ada yang mengusung ideologi agama atau partai yang berbasis agama.

Politik identitas merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Justru keragaman identitas itulah yang melahirkan metode rekrutmen kepeminpinan negara yang kemudian melahirkan system demokrasi. Semakin plural identitas masyarakat dalam sebuah negeri, selama konsisten mengikuti aturan main yang disepakati bersama, maka semakin dewasa demokrasi dalam negeri tersebut.

Sementara politik transaksional adalah penyakit demokrasi dan perusak peradaban bangsa. Dengan maraknya politik transaksional bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermental penjudi. Karena itu jika dibiarkan maka para pemimpin yang berhasil terpilih dalam kultur politik uang ini, tidak akan menjadi negarawan.

Mereka hanya akan memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya. Mereka akan bekerja sesuai hawa nafsunya dan akan membuang jauh dan hanya sedikit saja memikirkan kepentingan rakyatnya. Karena mereka merasa telah selesai hubungan dengan pemilih setelah mereka membeli suara rakyat saat pemilu.

Dalam ajaran Islam politik transaksional jelas dilarang. Rasulullah Muhammad SAW mengatakan jika pemimpin sebuah negeri terpilih tidak sesuai dengan keridaan Allah dan rasul Nya, maka pemimpin itu akan dibiarkan memimpin dengan hawa nafsunya dan tidak mendapat hidayah dari Allah SWT dalam melaksanakan tugasnya. Pemimpin yang seperti ini akan banyak melakukan kebohongan atau mengkhianati rakyatnya.

Ternyata Indonesia saat ini tampaknya lebih memilih mempersoalkan politik identitas ketimbang mengatasi politik transaksional. Padahal jelas politik transaksional itu bertentangan dengan hukum perundangan, dengan teori politik dan demokrasi, apalagi dengan ajaran agama.

Jika kondisi ini dibiarkan maka bangsa Indonesia akan terjual kepada para pemilik kapital. Demokrasi akan diborong oleh mereka dan Indonesia tinggal menunggu waktunya akan dikuasai sepenuhnya oleh oligarki bukan oleh negarawan.

Para pemimpin mulai dari Presiden, Gubernur, Bupati hingga Kepala Desa, para wakil rakyat mulai DPR RI, DPRD propinsi hingga DPRD kabupaten dan kota akan dikuasai oleh para pemilik uang atau paling tidak oleh kroni kroni pemilik uang. Jika ini yang terjadi maka program pembangunan yang disusun oleh pemimpin dan wakil rakyat pasti akan dibuat yang menguntungkan bagi mereka.

Kebutuhan rakyat tidak akan maksimal diperjuangkan, namun kebutuhan para pemilik modal yang akan mewarnai kebijakan pemerintah. Kewajiban para peminpin dan para wakil rakyat pada rakyat pemilihnya sudah selesai pada saat mereka menggelontorkan dana membeli suara rakyat. Ironisnya para cendekiawan, ulama, tokoh masyarakat dan para akademisi tidak kompak dan massif bersuara tentang fenomena ini. (*)

*Penulis adalah wartawan Global News .

baca juga :

Liga 1: PSS Catat Kemenangan Kandang Perdana

Redaksi Global News

Jangan Mudik Ya…!

gas

6 Orang OTT Basuki Cs Tiba di Gedung KPK