Global-News.co.id
Ekonomi Bisnis Nasional Utama

Pemerintah Perlu Hilirisasi Cabai

GUBERNUR Khofifah Indar Parawansa memantau harga komoditas, khususnya cabai, di pasar untuk memastikan stoknya tercukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menghadapi Idul Adha.

SURABAYA (global-news.co.id) – Harga cabai di pasaran terus melonjak tinggi mencapai Rp 100 ribu/kg. Namun sejumlah petani mengeluh tingginya harga cabai tidak dinikmati oleh mereka melainkan dirasakan oleh pedagang.
“Petani banyak yang gagal panen karena masih hujan deras. Lalu ada hama patek (nama latinnya: Antraknosa, Red.),” kata salah seorang petani cabai di Desa Plumpung Kecamatan Plaosan, Kab. Magetan, Yatini.

“Yang paling diuntungkan bukan petani, tapi pedagang. Sebab saat harga cabai mencapai Rp 100 ribu per kilogram, petani harus menanggung kerugian akibat gagal panen. Sekarang tinggal ngasak (mencari) sisa-sisa cabai yang selamat dari hama dan guyuran air hujan,” katanya.

Namun Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PW LPPNU Jatim), Ghufron Ahmad Yani, kurang sependapat dengan pernyataan bahwa melangitnya harga cabai akhir-akhir ini karena ulah spekulan di kalangan pedagang. Hal itu karena cabai tidak bisa ditimbun dalam waktu lama mengingat sifatnya yang cepat membusuk.

Tingginya harga cabai lebih karena hukum ekonomi, supply and demand (permintaan dan penawaran), sebab saat ini petani banyak mengalami gagal panen hingga menyebabkan permintaan tinggi sementara hasil produksi yang ditawarkan berkurang. Selain karena masih tingginya curah hujan, petani mengalami gagal panen juga lantaran hama, yang orang Jawa biasa menyebut sebagai “patek”.

“Gagal panen ini terjadi di Mataraman, Bojonegoro, Madura, tapi Banyuwani sebagai salah satu sentra cabai mau panen. Saat ini pabrik pengolah cabai di Kab. Kediri juga berhenti produksi karena bahannya berkurang dan harganya mahal,” kata Ghufron Ahmad Yani kepada Global News, Rabu (8/6/2022).

Sebenarnya persoalan cabai bukan hanya mencuat saat harga melambung tinggi saja, tapi juga saat harga jatuh di musim panen. Bahkan harga cabai bisa di bawah Rp 10 ribu/kg. “Ini jelas tidak bisa menutup biaya produksi. Ongkos petik saja Rp 5 ribu,” katanya.

Karena itu, kata dia, LPP NU Jatim mengusulkan agar Pemerintah membuat program hilirisasi di bidang cabai yang bisa membuat win win solution bagi semua pihak. Masyarakat konsumen tidak menjerit saat harga melambung tinggi. Begitu juga petani tidak mengeluh saat harga anjlok. “Semua pihak bisa happy dengan program hilirisasi tersebut,” ujarnya.

Hilirisasi cabai ini semacam membuat pabrik pengolah cabai. Hasilnya bisa disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat akan cabai–di luar yang diserap untuk industri kuliner.

Pabrik ini akan menyerap semua cabai hasil petani dengan harga yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah. Saat petani cabai panen, hasilnya memiliki kepastian akan diserah oleh program hilirisasi ini dengan harga yang sudah ditetapkan tersebut. Begitu pula harga jual ke konsumen.

“Sekarang harga yang wajar itu antara Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu. Jadi, tidak akan terjadi harga cabai naik mencapai Rp 100 ribu per kilo seperti sekarang,” katanya.

Untuk mengatasi tingginya harga cabai tersebut, Pemerintah Provinsi Jatim melakukan beberapa upaya konkret supaya produksi cabai terus berjalan, sehingga mampu menstabilkan kembali harga cabai di pasaran.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan koordinasi dengan Asosiasi Petani Cabai Indonesia (APCI) di Kabupaten Kediri, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyampaikan bahwa saat ini terdapat dua penyebab kenaikan harga cabai rawit.

Pertama, karena tingginya curah hujan yang menimbulkan serangan penyakit pada tanaman. Ini kemudian berdampak pada penurunan produksi dan jadwal tanam cabai mengalami kemunduran.

Di daerah dataran rendah, seharusnya penanaman cabai dilakukan April 2022. “Namun karena curah hujan yang masih tinggi, akhirnya menyebabkan berkurangnya luas tanam,” kata Gubernur Khofifah Selasa (7/6/2022).

Tidak hanya ancaman hujan, penyebab kedua ialah serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) terhadap komoditas cabai. Pada periode April di Jawa Timur, kata Khofifah, terdapat empat serangan, yakni hama lalat buah seluas 32,4 hektare, trips seluas 15,55 hektare, dan kutu kebul seluas 2,21 hektare. Sedangkan penambahan serangan penyakit virus kuning seluas 34,03 hektare, Antraknose seluas 12,31 hektare, bercak daun seluas 8,4 hektare, dan layu fusarium 2,5 hektare.

Agar serangan OPT di beberapa lokasi sentra (daerah dataran tinggi) bisa dikendalikan, Khofifah mengatakan bahwa Pemprov Jatim menggunakan Agens Pengendali Hayati. “Sekarang di beberapa lokasi sudah mulai tumbuh tunas baru, sehingga diharapkan dapat membantu ketersediaan cabai rawit jelang Idul Adha,” ujarnya.

Sementara itu, strategi berbeda diterapkan untuk mengatasi permasalahan komoditas cabai di daerah dataran rendah. Gubernur Khofifah meminta untuk segera menanam cabai rawit menggunakan varietas genjah dengan usia panen 70-80 hari, yaitu varietas Bhaskoro dan Dewata.

“Ini diharapkan dapat mendukung ketersediaan cabai pada Juli utamanya menjelang Idul Adha,” tuturnya.

Meski begitu, Khofifah tetap optimistis bahwa upaya menurunkan harga cabai rawit dan harga cabai besar di Jatim dapat dilakukan. Secara umum, kontribusi hortikultura strategis Jawa Timur terhadap nasional untuk komoditas cabai besar senilai 9,4% atau menduduki urutan empat nasional. Sedangkan komoditas cabai rawit menyumbang sebesar 41,8% atau yang tertinggi secara nasional.

“Apalagi, potensi luas tanam komoditi cabai besar di Jawa Timur pada tahun 2021 mencapai 15.398 hektare dengan produksi mencapai 127.429 ton,” imbuhnya.

Lima kabupaten produsen cabai besar tertinggi tahun 2021 di Jawa Timur antara lain, Kabupaten Malang, Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Probolinggo.

Menurutnya, perkembangan komoditas cabai besar pada Januari-Maret 2022 yaitu luas tanam mencapai 2.525 hektare dengan produksi mencapai 33.350 ton dan konsumsi sebesar 17.082 ton/kapita/tahun.

Melihat angka tersebut, maka produksi cabai besar masih surplus 16.268 ton. Selanjutnya, pada bulan April sebesar 63% dan prognosa pada Mei menunjukkan luas tanam cabai besar sebesar 1.285 hektare dengan sasaran produksi sebesar 11.892 ton sehingga diperkirakan mendapatkan surplus sebesar 503 ton.

“Jadi, kebutuhan cabai besar di Jawa timur terbagi untuk memenuhi kebutuhan industri kurang lebih sebesar 80% dan untuk rumah tangga sebesar 20% dari total produksi,” jelas Khofifah.

Sementara itu, potensi luas tanam komoditi cabai rawit di Jawa Timur pada 2021 mencapai 70.892 hektare dengan produksi mencapai 578.883 ton. Ada lima kabupaten produksi cabai rawit tertinggi tahun 2021 di Jawa Timur, yakni Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Tuban.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jatim Hadi Sulistyo menambahkan, perkembangan komoditas cabai rawit pada Januari–Maret tahun 2022 yaitu luas tanam mencapai 14.562 hektare dengan hasil panen mencapai 164.806 ton dan konsumsi sebesar 218.273 ton/kapita/tahun. Dengan demikian, produksi cabai rawit masih surplus 146.533 ton.

Dilanjutkan April sebesar 63% dan prognosa pada Mei menunjukkan bahwa luas tanam cabai rawit yaitu sebesar 6.274 ha dengan sasaran produksi sebesar 104.007 ton sehingga diperkirakan mendapatkan surplus sebesar 91.825 ton.

“Kebutuhan cabai rawit untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kurang lebih sebesar 85%-90% dan kebutuhan industri sebesar 10%-15% dari total produksi. Secara umum masih terpenuhi,” tandas Hadi.

Data Siskaperbapo menunjukkan harga cabai di Jawa Timur mengalami kenaikan, harga rata-rata Jawa Timur untuk komoditas Cabai Rawit Merah per tanggal 7 Juni 2022 sebesar Rp. 84.823, meningkat 241,48% (Rp. 59.983) dibandingkan harga tanggal 10 Mei 2022 sebesar Rp. 24.840, sedangkan harga rata-rata Jawa Timur untuk komoditas Cabai Merah Besar per tanggal 7 Juni 2022 sebesar Rp. 62.144, meningkat 78,58% (Rp. 27.346) dibandingkan harga tanggal 10 Mei 2022 sebesar Rp. 34.798.

Pasokan Berkurang

Selain petani cabai Magetan, kondisi cuaca yang tidak menentu juga menjadi salah satu penyebab tingginya harga cabai rawit di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di sejumlah pasar tradisional, harganya terus meroket hingga Rp85 ribu per kilogram.

Sedangkan harga cabai rawit di pedagang sayur keliling di kawasan perumahan di sejumlah tempat di Jember, harganya bisa mencapai Rp100 ribu per kilogram.

“Harga cabai terus merangkak naik karena pasokan dari petani juga berkurang,” kata salah seorang pedagang Saiful di Pasar Tanjung Jember, Selasa (7/6/2022), seperti dikutip dari Antara.

Menurutnya, pasokan cabai rawit ke pedagang juga terbatas dan sedikit sehingga mengakibatkan harga terus merangkak naik. Pedagang juga terpaksa menyesuaikan harga jual ke konsumen agar tidak merugi.

“Pedagang juga mengurangi pembelian dari pengepul karena masyarakat juga mengurangi pembelian. Komoditas cabai tidak bisa tahan lama juga karena mudah busuk,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jember Bambang Saputro mengatakan ada beberapa faktor penyebab kenaikan harga cabai rawit di pasaran.

“Cuaca dan curah hujan tinggi menyebabkan tanaman cabai petani gagal panen, sehingga pasokan cabai berkurang di pasaran,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, belum panen raya dan tingginya biaya jasa transportasi juga menjadi salah satu penyebab harga cabai rawit merangkak naik. (gas, wis, ant)

 

baca juga :

Satreskrim Polresta Sidoarjo Ungkap Truk Modifikasi Angkut BBM Bersubsidi

Redaksi Global News

Kakor Sabhara Baharkam Polri Cek Kesiapan Personel Ops Mantap Brata

Redaksi Global News

Anies Baswedan Minta Karantina Wilayah, Tito Karnavian Sebut Masih Dipertimbangkan Pusat

Redaksi Global News