Global-News.co.id
Opini Utama

Mabuk Agama, Moderasi, dan Cerdas Beragama

Oleh Masdawi Dahlan

ADA beberapa narasi keagamaan yang belakangan perlu dicermati. Di antaranya ungkapan mabuk beragama, moderasi beragama dan cerdas beragama. Banyak pihak yang menilai tiga istilah itu muncul bersinggungan dengan dinamika politik mutakhir di negeri ini. Sekalipun istilah itu bisa terjadi pada semua agama, namun aroma politiknya sangat kental tertuju pada umat Islam.

Istilah mabuk beragama pernah dilontarkan Jenderal (Purn) HM. Hendropriyono sebagai kritik terhadap sikap keberagamaan sebagian kalangan umat Islam yang dinilai terjebak pada sikap keras beragama. Beragama yang terlalu fanatic, ekstrem berlebihan sehingga cenderung mengaku benar sendiri dan menyalahkan pihak yang berbeda dalam beragama. Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) itu menilai tumbuh sumburnya radikalisme di Indonesia karena masyarakat yang mabuk agama tersebut (tribunnews.com 26/12/2020).

Dalam terminologi Islam istilah yang sangat dekat dengan mabuk beragama adalah ghuluw. Ghuluw adalah sikap berlebihan dan melampaui batas dalam beragama. Ghuluw itu dilarang dalam ajaran Islam. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ” (QS Annisak : 171).

Rasulullah Muhammad SAW juga bersabda, “Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw itu telah memusnahkan orang orang beriman sebelum kalian,” (HR Tabrani).

Ghuluw dalam beragama adalah sikap kaku, keras dan berlebihan. Rasulullah memperingatkan kepada umatnya tentang bahaya sikap ghuluw tersebut. Ghuluw ada dalam banyak bentuk, di antaranya berupa perkataan, keyakinan dan perbuatan. Dan ghuluw itu bisa menjadi sebab seorang beriman menjadi kafir.

Pertanyaannya apakah pada umat Islam Indonesia saat ini sudah ada kelompok yang termasuk melakukan sikap ghuluw? Dalam menjawab pertanyaan ini tergantung dari factor pendukung yang menyertainya. Karena istilah mabuk beragama itu muncul terkait dengan dinamika politik yang berkembang di tanah air, maka tuduhan mabok beragama tampaknya tidak lepas dari nuansa politik.

Banyak umat Islam di Indonesia yang dalam konstalasi politik mutakhir di negeri ini, dengan tegas menjadikan norma dan ajaran Islam sebagai alat ukur utuk menilai dinamika politik, baik berupa kebijakan politik maupun perilaku personal para pemimpin bangsa ini. Sehingga masuk akal jika ada pihak yang menjadi sasaran kritik umat Islam, akan menuduh balik bahwa yang mengritik adalah bagian dari kalangan mabuk beragama.

Artinya tuduhan mabuk beragama itu bisa jadi hanyalah upaya mengejek para pihak yang menjadi sasaran kritik oleh umat Islam. Dengan menuduh balik umat Islam yang mengkritik telah menerapkan sikap mabok beragama. Sedangkan dalam ajaran Islam sendiri mabuk beragama atau ghuluw itu memang termasuk sikap yang dilarang.

Jika dicermati sebenarnya dalil kritik yang digunakan kalangan Islam adalah hal yang wajar, normal atau tidak berlebihan. Mengapa? Karena Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna, semua aspek kehidupan manusia diatur dalam ajaran agama ini. Dan ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin, yaitu ajaran agama yang sangat mengutamakan kemanfaatan dan kebaikan pada seluruh manusia dan alam semesta.

Berseiringan dengan tuduhan mabuk beragama ini, muncul pula sebuah gerakan moderasi beragama. Gerakan yang belakangan cukup intens dilakukan ini arahnya adalah kepada umat Islam. Umat Islam diajak untuk memahami ajaran agamanya secara moderat. Dengan kata lain bisa dimaknai selama ini banyak sikap keagamaan yang dilakukan umat Islam yang dinilai tidak moderat atau bahkan mabuk agama.

Terlepas benartidaknya tuduhan adaya kelompok umat Islam yang mabuk agama, maka tentang sikap moderat beragama itu sendiri sebenarnya telah menjadi esensi Islam. Islam tidak perlu dimoderasi, karena Islam sendiri adalah agama yang moderat. Para ulama bahkan menterjemahkan lagi sikap moderat Islam itu adalah Islam sebagai ajaran yang adil, bijaksana dan seimbang.

Allah SWT berfirman: “Dan demikian kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat penengah (adil) dan pilihan agar menjadi saksi atas manusia, agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatanmu (QS. Albaqarah 143).

Juga ditemukan dalam Quran Surat Almaidah ayat 8, yang berbunyi: “Jangan sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil,”.

Dua ayat di atas mempertegas bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang moderat, wasathan, yang adil dan bijaksana dan mengutamakan kemanfaatan kepada semua manusia. Bukan hanya bagi umat Islam sendiri namun juga bagi umat manusia secara umum. Nilai-nilai ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi segenap isi alam. Jangankan manusia, hewan dan makhluk lain juga termasuk mendapat rahmah.

Karena ajaran Islam adalah agama yang moderat, adil dan mengutamakan kebaikan dan kemanfaatan kepada semua pihak, rakyat maupun penguasa. Maka pertanyaannya adalah gerakan moderasi itu untuk siapa? Akhirnya muncul penilaian bahwa gerakan ini tidak lain sebagai upaya memperlemah daya kritik umat Islam atas kesalahan kebijakan politik yang dilakuan oleh para penguasa.

Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi itu semua? Jawabannya sangat mudah sekalipun sangat sulit untuk merealisasikannya, yakni semua pihak umat uslam baik yang menjadi penguasa dan yang menjadi oposisi, serta umat Islam secara keseluruhan untuk cerdas dalam beragama. Cerdas memahami agama maknanya adalah memanfaatkan kemampuan akal untuk memahami agama secara tepat berdasarkan dalil dan analisa rasional dan ilmu pengetahuan.

Rasulullah Muhammad SAW memerintahkan umat Islam agar memahami agama dengan baik memanfaatkan kemampuan akalnya secara baik. Rasulullah mengajarkan agar umat Islam mempelajari ajaram agamanya dengan baik. Islam mengajarkan penganutnya untut menunut ilmu sebanyak banyaknya agar bisa memahami ajaran agama dengan baik. Agama Islam hanya dapat difahami dengan baik oleh orang yang belajar berilmu, berfikir serta mengunakan akal. Dan tentu saja ruhani serta spiritualitasnya.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang yang bertaqwa kepada Allah adalah orang orang yang berilmu.”. Rasulullah Muhammad SAW juga mengatakan: “Tidak akan bisa memahami agama dengan baik orang yang tidak menggunakan akalnya.” Firman Allah lainnya: “Orang orang yang menerima banyak ilmu dan mengambil yang terbaik dari yang diterimanya, itulah orang yang mendapat petunjuk dari Allah SWT dan merekalah orang yang intelek.”

Kalau memang di negeri ini ada elemen umat Islam yang memiliki sikap ghuluw atau mabok agama, maka dengan cerdas beragama, mereka tidak akan bersikap ghuluw, karena mereka memahami ajaran agama dengan utuh dan didukung dengan rasionalisasi pemahamn yang bijaksana. Dia juga akan sadar bahwa Islam melarang tegas sikap mabok agama tersebut.

Begitu juga bagi kalangan para pemimpin di negeri ini yang mayoritas beragama Islam, dengan pemahaman yang cerdas terhadap agama, mereka akan memahami adanya dinamika pemahaman keagamaan dalam ajaran Islam, yang antara satu kelompok dengan lainnya cenderung berbeda. Perbedaan pemahaman itu selalu berhubungan dengan sikap atau kritiknya terhadap dinamika sosial yang melingkupinya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi, Rasulullah Muhammad SAW suatu ketika pernah berdoa kepada Allah SWT untuk meminta agar para umatnya dihindarkan dari perbedaan pendapat dan perpecahan akibat berkelompok-kelompok, namun doa itu ternyata tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Artinya perbedaan umat Islam itu sesuatu yang pasti dan sunnatullah. (*)

baca juga :

Berpenonton atau Tidak di PON Papua Diputuskan Pekan Depan

Redaksi Global News

Insiden Wawan Hendrawan vs Willian Pacheco Mestinya Tak Perlu Terjadi

Redaksi Global News

Kampanye Gemarikan, Arumi Berharap Tingkat Konsumsi Ikan di Jatim Terus Meningkat

Redaksi Global News