
HIDUP di negara rawan gempa, seperti Jepang, membuat warga Indonesia di negeri Sakura juga harus selalu waspada. Sama seperti dilakukan warga Jepang pada umumnya. Mereka harus memiliki early warning system pada dirinya masing-masing. Kewaspadaan ini antara lain dibangun melalui pendidikan sejak dini terkait kebencanaan. Bagaimana Jepang menanamkan early warning system pada diri warganya?
Laporan: Anggita Prameswari dari Jepang
GEMPA baru saja terjadi di lepas pantai Prefektur Fukushima timur, Jepang, Rabu, 16 Maret 2022. Sebelumnya, wilayah ini, hancur akibat gempa dan tsunami kuat pada 11 tahun lalu yang mengakibatkan kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir di sana. Kali ini, daerah itu diguncang gempa lagi, berkekuatan 7,4 magnitudo dan mengakibatkan sedikitnya empat orang tewas.
Anggita Aninditya Prameswari Prabaningrum (Gita) dan suaminya, Dr Miftakhul Huda MSc, salah satu keluarga WNI di Jepang, memang tidak tinggal di Fukushima, tapi mereka juga merasakan getaran gempa tersebut. Hanya saja dia memiliki patokan soal tingkat kedahsyatan suatu gempa di negera ini dari para tetangganya yang sudah biasa mengalami gempa. Apalagi Miftakhul Huda sendiri pernah menjadi relawan kemanusiaan saat terjadi gempa di Jepang, sehingga cukup memahami masalah bencana tersebut.
“Selagi tetangga, orang Jepang, ndak keluar rumah, ndak teriak-teriak, berarti masih aman,” kata Gita, yang hijrah ke Jepang pada 1 November 2014 silam.
Setelah sempat tinggal di Tokyo, sejak Maret 2021 lalu, Gita dan keluarganya pindah ke Kota Nagoya. Dr Miftakhul Huda MSc, suami Gita yang ahli nanoteknologi dan baru saja terpilih sebagai Ketua ISNU Jepang masa bhakti 2022-2026, kini menjabat Asistant Professor di Nagoya University, Jepang.
Bukan hanya gempa, Jepang selama ini langganan bencana lainnya. Mulai tsunami hingga angin topan. “Tapi, memang ini risiko menurut saya, karena Jepang kan langganan gempa. Kadang tsunami, kadang angin topan. Tapi ya tawakkal aja. Antisipasi biasanya dengan sedia Bag Emergency, Bantal Pelindung Kepala, kalau kejadian bersembunyi di bawah meja dan segera lindungi kepala,” katanya.
Sama dengan warga Jepang pada umumnya, WNI di negeri Matahari Terbit ini pun membekali anak-anak mereka dengan pendidikan dini soal kebencanaan. Bahkan mulai sekolah di Houikuen (Daycare)–semacam PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini bila di Indonesia)–sudah diajarkannya.
“Pelajaran antisipasi bencana ini dari anak kecil sudah diajarkan di Jepang. Anak saya dari Houikuen (Daycare) sudah diajarkan. Itu playgroup. Bukan TK (Taman Kanak-kanak, Red.). Anak usia 0-5 tahun bisa masuk tapi bersyarat dan kuotanya terbatas. Kalau TK namanya Yochuen. Diajarkan juga soal bencana. Mungkin perlu juga di Indonesia mengajarkan soal bencana semacam ini. Sebab kan Indonesia rawan bencana juga ya, seperti gempa, banjir, dan lain-lain,” katanya.
Selain itu, kata Gita, Forum Lingkar Pena (FLP, sebuah komunitas penulis Indonesia yang ada di Jepang, Red.), juga mengadakan edukasi soal pentingnya kewaspadaan terhadap bencana ini. Salah satunya dengan mengedukasi soal pentingnya tahu emergency bag atau tas darurat untuk menghadapi bencana, melalui video.
“Untuk yang ingin mengetahui emergency bag di Jepang, bisa tonton videonya di channel Vidya Gatari, anggota FLP Jepang juga. Ini karya dari teman-teman humas FLP Jepang,” katanya.
Anggota FLP sendiri memodifikasi tas bencana ala Jepang dengan tas biasa yang diisi semua keperluan untuk menghadapi bencana. Panduannya didapat dari website Pemerintah Jepang atau selebaran yang ditemukan di berbagai tempat umum. Namun demikian, banyak WNI membeli tas bencana dengan semua kelengkapannya melalui toko online seharga 4.233 Yen atau sekitar Rp 605.000.
“Setiap keluarga di Jepang memiliki emergency bag. Bukan hanya di rumah, tapi juga di tempat-tempat umum, seperti sekolah atau penitipan anak. Pada bagian luar emergency bag terdapat tulisan Tas Bencana (dalam bahasa Jepang) disertai barang-barang apa saja yang ada di dalamnya diberi gambar.
Ada 30-an item barang. Mulai senter, sandal, sarung tangan, tisu, selimut, plastik untuk membalut luka hingga membungkus makanan, alumunium foil untuk memasak dan menajamkan gunting, plastik tempat air 5 liter, satu bungkus paket berisi jas hujan, selimut, cutter dll, selotip, gelas air minum, perlengkapan makam terdiri atas piring, sendok, dll, aluminum sheet untuk alas tidur dan lain-lain,” ujarnya.
Tas darurat ini warnanya dibuat “ngejreng” alias mencolok. Tujuannya bila dilihat dari jauh langsung kelihatan, seperti warna merah, kuning, oranye, dan lain-lain dengan stiker berbentuk plus (+) di bagian depannya yang memantulkan cahaya saat malam hari. Selain itu, ada pengait untuk menggantungkan tas tersebut di atas pintu depan rumah sehingga saat datang bencana langsung bisa dibawa untuk menyelamatkan diri.
Bukan hanya itu, pada tanggal 13 Maret 2022 lalu, Anggita juga ikut webinar soal bencana. Acara ini hasil kerjasama FLP Jepang dan FLP Pusat. Yang menarik, kata Gita, paparan dari penasihat FLP Jepang, Ami Mizuno.
Ami memaparkan soal pentingnya menata perabot rumah tangga di rumah supaya tidak rubuh saat terjadi gempa. Berdasarkan pengalaman gempa besar di Hanshin-Awaji, dan Gempa Chuetsu di Prefektur Niigata, banyak korban tertimpa perabotan rumah tangga.
Ami juga memaparkan pentingnya persiapan menghadapi gempa, seperti makanan minuman selama tiga hari sampai seminggu. Dan harus dipersiapkan sesuai jumlah orang, misalnya air putih tiga liter per hari per orang untuk tiga hari.
“Lalu nasi, mi cup, makanan kaleng, biskuit, cokelat batangan, dan lainya selama tiga hari, juga tisu toilet, korek api, kertas tisu, lilin, kompor, dll. Bak mandi harus selalu penuh. Tas bencana, satu tas untuk setiap orang,” katanya.
Tidak bersifat sporadis, setiap tahun di Jepang diadakan latihan menghadapi bencana baik di universitas atau lembaga penelitian lain, sekolah dan lainnya. Saat kuliah mahasiswa diberi tahu, kemudian mahasiswa dibawa oleh dosen mengikuti jalur evakuasi. Tujuannya agar mahasiswa dan dosen terbiasa tidak panik dan mengetahui jalur evakuasi. “Hal sama dilakukan di SD, SMP, SMA,” katanya.
Beberapa gempa besar di Jepang memberi pelajaran itu, seperti gempa besar Kanto I September 1923 dengan skala 7,9 magnitudo. Lalu, gempa besar Hanshi-Awaji (Kobe) 17 Januari 1995 skala 7,3 magnitudo, gempa Nigata 23 Oktober 2004 skala 6,8 magnitudo, gempa besar dan tsunami Higashi Nihon (Tohoku) 11 Maret 2011 9,0 magnitudo. “Juga gempa Osaka utara 17 Juni 2018 skala 6,1 magnitudo,” katanya. (*)