Global-News.co.id
Mancanegara Teknologi Utama

Gus Oding, Santri Jombang Berprestasi di Jerman

Muhammad Rodlin Billah (Gus Oding) bersama tim peneliti Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman.

BANYAK pemuda Indonesia menempuh pendidikan di luar negeri dengan prestasi gemilang. Bukan hanya Ainun Najib di Singapura, tapi ada pula nama Muhammad Rodlin Billah (Gus Oding) yang sekarang sedang menyelesaikan studi S3 di bidang Optik dan Fotonik pada Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman.

Oleh Gatot Susanto

GUS ODING–panggilan akrabnya–merupakan lulusan S 1 Teknik Fisika Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya tahun 2004-2009. Pria yang merupakan cicit dari salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Bisri Syansuri, Denanyar, Jombang, ini mengambil jurusan… Setelah itu tahun 2010, Gus Oding melanjutkan S2 mengambil bidang studi Optik dan Fotonik pada Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman.

“Selanjutnya, tahun 2013 saya menjadi mahasiswa S3 di KIT, sekarang sedang menyelesaikan disertasi. Mohon doanya agar bisa segera menyelesaikan dan berhasil lolos dari tim penguji,” kata Gus Oding kepada Global News.

Gus Oding mengatakan, dirinya tertarik menggeluti bidang optik dan fotonik karena mendapat motivasi dari para dosen saat S1 di ITS dulu sebab diproyeksikan hal itu sebagai bidang yang “destruktif”, khususnya dalam bidang komunikasi, di mana pada dasarnya ilmu komunikasi, khususnya komunikasi serat optik, sangat dibutuhkan industri telekomunikasi dan masyarakat para internet.

“Salah satu manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat, tidak hanya di Indonesia, khususnya dalam mengakses internet, kecepatan internet bisa ditingkatkan, tentu saja sesuai beragam variasi kecepatan, sesuai masing-masing provider, baik di Indonesia maupun di Jerman atau negara lain, semuanya sudah beralih pelan-pelan, tapi ada juga yang cepat, menggunakan saluran memakai serat optik, menggantikan saluran konvesional, pakai kabel tembaga, sinyal elektronik,” katanya.

Istilah optik biasa digunakan dalam ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku cahaya, khususnya cahaya tampak, bisa diartikan pula gelombang elektromagnetik.
“Sedang fotonik (photonics dalam bahasa Inggris), bidang studi yang mempelajari bagaimana cahaya itu dalam panjang gelombang tertentu bisa dimodifikasi, bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, khususnya di bidang kami komunikasi tadi,” ujarnya.

Meraih Penghargaan

Gus Oding masuk tim peneliti bernama “DELPHI”, singkatan dari 3DLaser Lithography for Photonic Integration. Tim yang berasal dari Karlsruhe Institute of Technology (KIT), Jerman, ini dianugerahi penghargaan terbaik kedua dari Berthold-Leibinger Innovation Prize. Gus Oding merupakan satu dari delapan orang peneliti yang tergabung dalam tim DELPHI.

Pemuda yang lahir 32 tahun lalu di Jombang ini merupakan satu-satunya peneliti asli Indonesia, sedangkan tujuh orang lainnya berasal dari Jerman. Berthold Leibinger Innovation Prize merupakan sebuah penghargaan yang diberikan oleh yayasan nirlaba Berthold Leibinger kepada mereka yang berhasil membuat terobosan besar dalam bidang laser dan aplikasinya. Penghargaan berbentuk sayembara yang dianugerahkan setiap dua tahun sekali sejak tahun 2000 ini dibuka untuk peniliti-peneliti dari seluruh dunia.

Tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. Christian Koos ini mendapatkan penghargaan terbaik kedua disebabkan keberhasilan mereka dalam memanfaatkan teknologi laser femtosecond untuk membuat struktur tiga dimensi berupa pandu gelombang (waveguide) dan komponen-komponen optik dalam skala nanometer hingga mikrometer.

Struktur-struktur yang diameternya jauh lebih kecil dari rambut manusia tersebut juga telah dibuktikan manfaatnya dalam berbagai macam aplikasi. Di antaranya yaitu mempercepat aliran transportasi data, baik di dalam sebuah pusat data maupun antar pusat data, sehingga internet dapat diakses dengan lebih cepat serta lebih murah. Tak hanya itu, mereka juga telah berhasil mengadopsi teknologi ini sedemikian rupa agar dapat digunakan dalam dunia industri.

Gus Oding bersyukur saat hadir dalam malam penghargaan yang dihadiri sekitar 600 orang yang mayoritasnya adalah peneliti-peneliti dari berbagai bidang dan dari berbagai penjuru dunia beserta keluarganya, pejabat kota Ditzingen, hingga pemenang hadiah Nobel tahun 2014 dalam bidang kimia, Prof. Dr. Stefan W. Hell. Oding yang masih berstatus sebagai mahasiswa S3 di KIT bersama timnya didudukkan di deretan paling depan. Hal ini membuat alumni Teknik Fisika ITS itu sangat gugup mengingat ia menempati deretan yang sama dengan peneliti-peneliti besar seperti Prof. Karl Deisseroth dari Universitas Stanford.

Dia mengaku sangat terharu saat menerima penghargaan tersebut. Dia pun merasa bahwa pencapaian ini tidak mungkin diraihnya melalui usahanya semata, melainkan lantaran doa-doa dari para sesepuh, keluarga besar, guru-guru, sahabat-sahabat, dan tentu saja kedua orang tuanya.

Saat ditanya bagaimana dampak penghargaan tersebut untuknya, Ketua Tanfidziyah PCINU Jerman ini hanya berharap agar hal ini bisa menjadi indikasi bila ilmu yang dipelajarinya bermanfaat dunia-akhirat serta dapat mempermudahnya untuk meraih gelar Doktoringeniur (Dr.-Ing) untuk kemudian mengabdi di Indonesia. Hal ini membuatnya bahagia sebab para santri yang biasanya belajar pondok pesantren juga belajar sains seperti dianjurkan para ulama.

“Kita bisa melihat para ulama kita bisa menyeimbangkan antara agama dan sains dan teknologi,” ujarnya seperti dikutip dari uninus.ac.id.

Menurut Gus Oding, hal tersebut menunjukkan paradigma sains sebagai produk Barat, sekular, ataupun ateis, sudah bergeser. Meskipun dalam konteks yang sama, dia menegaskan bahwa kita tetap harus berakar kepada tradisi ke-NU-an, sebagaimana disebut dalam sebuah kaidah, melestarikan tradisi lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik.

Lebih lanjut, Peneliti Institut Teknologi Karlsruhe itu mengungkapkan bahwa sejatinya mendalami sains dan teknologi merupakan wujud upaya meneruskan tradisi para ulama terdahulu. Pasalnya, kemajuan teknologi di Jerman sekalipun atau Barat secara umum itu diperoleh melalui tangan para ulama Baitul Hikmah. “Ini tidak lebih dari meneruskan tradisi para ulama kita,” katanya.

Oleh karena itu, dia menyebutkan bahwa hal itu juga bisa menjadi motivasi internal sebagai modal santri untuk serius mendalami bidang sains dan teknologi. Sebab, menurutnya, motivasi internal inilah modal paling kuat agar dapat menguasai apapun sehingga apapun tantangannya, baik bahasa maupun budaya akan mampu dilaluinya. “Selama motivasi internal terjaga insyaallah tantangan apa pun bisa terjaga,” ujarnya.

Banyaknya santri yang memperdalam sains dan teknologi diprediksi bakal menempati posisi strategis pada sektor penelitian di Indonesia beberapa tahun mendatang. Potensi ini sangat besar mengingat bonus demografi Indonesia juga dapat dipastikan akan dialami juga oleh NU. Ia mempercayai bahwa akan ada santri yang ahli dalam bidang nanoteknologi, autonomous driving, hingga robotika. Hal ini juga berarti kontribusi santri untuk NU dan Indonesia akan lebih besar dan signifikan lagi.

Menurutnya, sudah saatnya banyak santri yang memperdalam pengetahuannya di bidang sains dan teknologi mengingat telah banyak pula yang menjadi mubaligh dan mubalighah. “Bukan berarti kita menjauh dari apa yang disampaikan atau diajarkan masyayikh kita di pondok pesantren, tetapi justru mendekatkan tradisi masyayikh kita yang dulunya sangat giat berkecimpung dalam bidang sains dan teknologi,” pungkasnya. (*)

baca juga :

Tren Pertumbuhan Berlanjut, BNI Optimis Kredit Ekspansif

Redaksi Global News

Sebanyak 125 Anggota Ling Tien Kung Ikuti Pelatihan Instruktur

gas

Perbaikan IPAM Karang Pilang 3, PDAM Imbau Warga Tampung Air

Redaksi Global News