Global-News.co.id
Ekonomi Bisnis Nasional Utama

Harga Menggiurkan, Krisis Batubara Jangan Terulang Lagi

Berkurangnya batubara PLN akibat banyaknya komoditas tersebut diekspor, karena harganya yang menggiurkan

SURABAYA (global-news.co.id) – Krisis pasokan batubara ke PT PLN (Persero) masih menjadi perbincangan berbagai pihak. Terutama para stakeholder. Berkurangnya batubara PLN akibat banyaknya komoditas tersebut diekspor, karena harganya yang menggiurkan, cukup membuat repot “petugas” yang menangani strum.

Kekhawatiran pemadaman di penghujung Desember 2021 hingga awal 2022 cukup membuat repot. Karena itulah, perlunya pengawasan yang ketat terhadap kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Pada Januari 2022 ini, PLN mengantongi kontrak pasokan batubara sebanyak 13,9 juta ton. Pasokan ini untuk memenuhi dari total kebutuhan batu bara sepanjang Januari ini sebanyak 20 juta ton. Pasokan 13,9 juta ton itu terdiri dari 10,7 juta MT kontrak eksisting PLN dan IPP, dan 3,2 juta MT kontrak tambahan. Tambahan pasokan ini akan masuk ke pembangkit PLN secara bertahap. Perseroan pun terus meningkatkan kecepatan dan efektivitas bongkar muat kapal pengangkut batu bara.

PLN juga memaksimalkan batubara yang awalnya akan diekspor bisa dikirim ke pembangkit PLN. Agar kejadian krisis pasokan ini tak terulang, PLN akan melakukan kontrak jangka panjang dan perikatan volume dengan swing 20 persen.

Sementara harga batubara tetap akan mengacu pada regulasi pemerintah dengan skema kirim Cost, Insurance and Freight (CIF/beli batu bara dengan harga sampai di tempat) atau skema Free on Board (FOB/beli batu bara di lokasi tambang).

Dengan kenyataan inilah, PLN memastikan tidak ada pemadaman listrik akibat kritis pasokan energi primer. Sebelumnya Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara melarang seluruh perusahaan batu bara di dalam negeri untuk ekspor. Aturan ini berlaku dari 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022. Hanya saja ekspor dibuka pelan-pelan mulai 12 Janurai 2022 lalu.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, yakni bagaimana krisis pasokan batubara yang terjadi sebelumnya itu tidak terulang lagi? Pemerintah sendiri dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengubah ketentuan wajib Domestic Market Obligation (DMO) batu bara 25% untuk listrik dalam negeri.

Ketentuan DMO batu bara akan diubah dengan skema review tiap bulan. Hal itu disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang menyatakan bahwa dalam rapat bersama dengan Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Kejaksaan Agung dan BPKP disepakati bahwa Menteri ESDM akan mengeluarkan perubahan DMO yang bisa direview per bulan.

Untuk yang tidak menepati sesuai dengan kontrak, kata Menteri Erick, perusahaan pertambangan baik IUP, IUPK dan PKP2B akan di kenakan penalti tinggi bahkan izin perusahaan akan dicabut. Staf Khusus Menteri ESDM, Bidang Percepatan dan Pengelolaan Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif menyampaikan bahwa, ketentuan perubahan DMO itu masih dibahas.

Seperti diketahui, saat ini kewajiban pasokan batu bara DMO tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 139.K/HK.02/MEM.B/2021. Beleid ini mengatur kewajiban pelaku usaha untuk memasok 25% dari total produksi batu baranya untuk kebutuhan dalam negeri.

Sambil menunggu perbaikan DMO, rasanya memang diperlukan “kebijakan” jangka pendek ini. Apa itu? Perlunya diambil tindakan tegas kepada pemasok yang wanprestasi, termasuk kepada anak perusahaannya. Juga perlu mekanisme pemantauan (monitoring) pemenuhan DMO secara berkala (setiap triwulan).

Besaran persentase DMO perlu disesuaikan dengan kebutuhan domestik yang riil dan akurat. Serta, DMO untuk perusahaan yang melebihi kewajibannya dapat dimanfaatkan oleh perusahaan yang masih kurang belum memenuhi kewajibannya (secara cluster/group) tanpa ada biaya transfer. (agk)

baca juga :

Pemkot Surabaya Kembangkan Potensi Wisata Air Kalimas Bersama Pelindo III

Tingkatkan Minat Olahraga, Bank Jatim Serahkan CSR Lapangan Basket ke Pemkab Tuban

Redaksi Global News

Setelah Didesak, Mentan Akhirnya Tambah Pupuk Bersubsidi di Jatim 918.233 ton

Redaksi Global News